• Cerita 25 Nabi
  • Aku dan Kamu
  • You did great, Little Bro..
  • Satu Hari Di Pulau Pribadi
  • Pak Ustad & Jembatan Ajaib
  • Ketika Hati Menjadi Rapuh
  • Dua Malaikat Maut Datang Untuk Menagih Janji
  • Menapaki Jejak Sang Maut
  • Save Our Life By Save Theirs Habitat
  • Budaya Copy-Paste

Translate This Page

Bermakmum shalat menggunakan media streaming


Dizaman yang semakin berkembang ini muncul berbagai teknologi gadget yang memudah kita untuk berkomunikasi atau bersosial secara streaming, seperti media internet, televise ataupun radio. Terkait dengan hal itu pula, banyak diantara kita mulai terbuai dan terbiasa menggunakan teknologi tersebut dalam aktivitas keseharian kita, bahkan hingga aktifitas yang terkait dengan ibadah, nah..?
Lalu bagaimana hukumnya jika ibadah dipadukan dengan penggunaan teknologi, dalam hal ini penulis mengambil masalah tentang jamaah shalat sunnah (tarawih, Jum’at, atau ied) yang bermakmum shalat melalui media televisi, radio atau internet..? Apakah ada diantara kita yang mempraktikan hal tersebut? Darimana dasar acuan yang digunakan oleh mereka yang mempraktikan hal ini?
Ahmad bin Muhammad ash-Shiddiq pada tahun 1475 menulis sebuah buku berjudul ‘al-Iqna bi ash-Shihhah Shalah al-Jumu’ah fi al-Manzil khalfa al-Mizya’ yang berbicara tentang sahnya salat jum’at di rumah melalui radio dengan 3 syarat :
1.       Waktu pelaksanaanya bersamaan (secara streaming) atau tidak dilakukan oleh mereka yang mengikuti diluar waktu shalat tersebut.
2.       Daerah tempat shalat makmum harus berada di belakang daerah tempat shalat imam (lebih timur), karena salah satu syarat sahnya shalat berjamaah adalah imam berada di depan makmum.
3.       Makmum harus berada dalam satu shaf bersama orang lain (dalam buku tersebut tidak dijelaskan alasan tentang hal ini)
Namun, pendapat diatas ditolak oleh banyak ulama. Salah satu alasannya adalah akan mengosongkan masjid, serta mengakibatkan terputusnya silaturahmi dan pertemuan antar jamaah. Dan hal diatas sangat tidak dianjurkan untuk kita lakukan. Apalagi hampir semua ulama mensyaratkan kesatuan tempat antara imam dan makmumnya.
Bahkan mahzab Syafi’I mensyaratkan bahwa makmum yang sedang menunaikan shalat harus mampu menuju tempat imam tanpa ada satupun yang menghalanginya. Dan bagi anda yang berpegang pada mahzab ini pastinya tidak akan setuju dengan pelaksanaan shalat berjamaah secara streaming karena syarat ini tidak akan dapat terpenuhi jika jamaah bermakmum pada imam yang bertempat diwilayah yang berbeda, atau bahkan hingga antar benua (seperti banyak masyarakat Indonesia yg menjalankan shalat ied melalui siaran langsung dari masjid al-Haram menggunakan media streaming). Semoga tulisan ini bermanfaat.
(Dikutip dari : ‘1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI karya M. Quraish Shihab’)

Naah, setelah membaca artikel diatas, apa pendapat anda terhadap bermakmum shalat menggunakan media streaming ini ? Silahkan tinggalkan komentar, atau anda dapat membaca artikel terkait : Menyisipkan doa dalam shalat
Baca Selengkapnya

Menyisipkan doa disaat melaksanakan shalat

       Hidup ini dipenuhi oleh berbagai masalah, PASTINYA..! Dan islam menyariatkan agar kita menggantungkan semua beban masalah kita hanya kepada Allah, salah satunya adalah melalui doa. Berdoa merupakan sebuah kebutuhan di berbagai aspek kehidupan kita. Banyak ulama mensyariatkan kepada kita mengenai perkara doa ini, bahkan hingga waktu-waktu yang baik untuk berdoa agar di ijabah oleh Allah SWT. Dan kita pun seringkali memilah-milah waktu untuk berdoa agar cepat di ijabah, hingga menyisipkan doa ketika kita melaksanakan shalat. Lalu apa hukumnya berdoa (doa diluar bacaan shalat) disaat kita melaksanakan shalat  ?
             
Rasulullah saw. Bersabda “Shalatlah, sebagaimana kalian melihatku shalat”. 

Semua orang muslim tahu bahwa beliau mengerjakan shalat dengan cara-cara tertentu. Para ulama memilah-milah cara beliau mengerjakan shalat menjadi beberapa katagori, seperti rukun, syarat, dan sunnah. Selain itu jika kita melakukan sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah dalam shalat, boleh jadi hal itu haram untuk dilakukan atau dapat membatalkan shalat kita, atau mungkin makruh, atau bias jadi mubah (boleh-boleh saja untuk dilakukan). Contohnya, memperlama shalat (baik sujud atau yang lainnya) tidak dianjurkan bagi seorang imam, karna hal itu bias saja memberatkan bagi makmumnya yang memiliki keterbatasan atau kepentingan mendesak.
Lalu muncul sebuah pertanyaan: Bolehkan kita membaca kalimat-kalimat (doa) yang tidak Rasulullah saw. ajarkan  dalam shalat? 

Dalam sebuah hadist,  Rasulullah saw. bersabda: 
 “Aku dilarang membaca ayat al-Quran sewaktu ruku dan sujud. Disaat kalian ruku, agungkanlah Allah. Dan disaat kalian sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, sebab diwaktu itulah doamu amat wajar dikabulkan”. (HR. Muslim) 

Dalam hadist lain dikatakan :              
          “Sedekat-dekat manusia kepada Tuhannya adalah diwaktu dia sujud” 

Dalam kitab Subul as-Salam disebutkan bahwa hadist ini menunjukkan disyariatkannya berdoa dalam sujud dengan doa apa saja. Dan alangkah baiknya, makna dari doa yang kita panjatkan dapat kita pahami agar lebih khidmat.Jika tidak bias berdoa dalam bahasa arab, maka boleh dalam bahasa yang kita kuasai. Insya’Allah, Allah Maha Mendengar.
(Sebagian dari artikel ini diambil dari buku karangan M. Quraish Shihab – 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui)

Naah, setelah membaca artikel diatas, apa pendapat anda terhadap doa dalam shalat ini ? Silahkan tinggalkan komentar, atau anda dapat pula membaca artikel terkait tentang Bermakmum shalat melalui media streaming
Baca Selengkapnya

Rasulullah & Shalat Berjamaah


       Bagi umat Islam Rasulullah saw. merupakan figur penting terutama jika dikaitkan dengan masalah ibadah. Sandarah hukum masalah ibadah harus jelas. Sumber-sumber pengambilan dasar hukummya harus diambil dari apa yang ada dalam al-Qur’an dan yang disampaikan Rasulullah saw. dalam hadisnya. Khusus masalah ibadah shalat, Rasulullah saw. menegaskan salatlah kamu semua sebagaimana kamu melihat aku salat.        
       Artikel ini akan membahas tentang tuntunan Rasulullah saw. tentang shalat berjamaah dengan disertai penilaian atas hadis-hadis yang dijadikan hujjah. Tujuan tidak lain adalah kemantapan dalam beribadah karena sandaran hukummnya jelas dan tidak dipermasalahkan lagi.

1. Anjuran Shalat Berjamaah dan Hal lain yang Terkait

Berusahalah kamu mengerjakan shalat-shalat fardhu dengan berjamaah di masjid, di musholla atau lainnya. Dan jangan tergesa-gesa mendatangi shalat jamaah hingga selesai keperluanmu. Dan apabila shalat telah diqomatkan, maka pergilah mendatanginya dengan tenang. Hal tersebut didasarkan dengan dalil:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku. (QS. al-Baqarah [2]: 43).

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu. (QS. al-Nisa' [4]: 102).

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Rasulullah saw bersabda, "Shalat Jamaah itu melebihi keutamaan shalat sendirian, dengan duapuluh tujuh derajat". (Hadis Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, lbn Majah, Ahmad ibn Hanbal dan Malik dari 'Abdullah ibn 'Umar dengan lafal riwayat Bukhari).
Sanad hadis ini berkualitas sahih, dan dapat dipakai sebagai hujjah.

Ingin rasanya Rasulullah membakar rumah orang yang tidak ikut jamaah shalat Subuh dan 'lsya'.
Rasulullah saw bersabda, "Shalat yang terberat bagi orang-orang munafik ialah shalat 'lsyak dan shalat fajar. Padahal apabila mereka mengerti akan keutamaan kedua shalat tersebut, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Mau aku rasanya menyuruh orang qomat untuk shalat lalu aku menyuruh seorang menjadi imam bersama-sama shalat dengan orang banyak. Kemudian aku pergi bersama-sama dengan beberapa orang yang membawa beberapa ikat kayu bakar, untuk mendatangi mereka yang tidak ikut shalat dan membakar rumah-rumah mereka". (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim dan Abu Hurairah, lafal riwayat Muslim). Sanad hadis ini berkualitas sahih dan dapat digunakan sebagai hujjah.

Rasulullah saw bersabda,:
 "Tiap-tiap ada tiga orang di suatu kampung yang tidak mau adzan dan tidak mau mengadakan shalat (jamaah), tentulah ketiganya dikuasai oleh syaitan". (Hadis Riwayat Ahmad ibn Hanbal, Nasaiy dan Abu dawud dari Abu Darda'). Hadis ini berkualitas sahih dan dapat dipergunakan sebagai hujjah.

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, :
 “Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi saw sambil berkata, “Ya Rasulullah, Tidak ada orang yang menuntunku untuk pergi ke masjid. Dia meminta kepada Rasulullah saw agar memberi keringanan kepadanya,  agar ia diperbolehkan untuk shalat di rumahnya, maka Rasulullah memberi keringan kepadanya. Akan tetapi setelah orang tersebut pergi, tiba-tiba Rasulullah memanggilnya seraya bertanya, “Adakah kamu mendengar panggilan (adzan)?”. Orang itu menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Penuhilah panggilan itu”. Hadis ini diriwayatkan oleh imam Muslim dan al-Nasaiy.  Hadis ini berkualitas sahih dan sah digunakan sebagai hujjah.

Para wanita juga ikut shalat berjamaah di masjid Nabi
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِي تَسْلِيمَهُ وَيَمْكُثُ هُوَ فِي مَقَامِهِ يَسِيرًا قَبْلَ أَنْ يَقُومَ قَالَ نَرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَيْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنْ الرِّجَالِ
Dari Ummu Salamah ra, ia berkata, “Rasulullah saw jika telah selesai salam, para wanita segera berdiri (meninggalkan masjid) setelah menyelesaikan salamnya, sedangkan beliau tetap tinggal di tempat duduknya sebentar sebelum beliau berdiri”. (Ibn Syihab al-Zuhri) berkata, kami berpendapat (Hanya Allah yang mengetahui) bahwa Rasulullah tetap di tempatnya adalah agar para wanita pulang terlebih dahulu sebelum dijumpai oleh orang laki-laki”. 
Dari Ummu Salamah, ia berkata, “Adalah Rasulullah saw apabila telah salam, tetap di tempatnya sebentar. Kami berpendapat (Hanya Allah yang mengetahui) bahwa Rasulullah tetap di tempatnya itu agar para wanita pulang lebih dahulu, jangan sampai tersusul oleh orang-orang lelaki”. Hadis ini berkualitas sahih dan sah dipakai sebagai hujjah. Para wanita juga diperbolehkan untuk sholat berjamaah di mushalla khusus untuk wanita. Hal ini berdasar pada keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam kitab “Beberapa Masalah” tentang sahnya wakaf masjid yang khusus bagi orang-orang perempuan, dan bahwa wakaf itu tidak dinamakan masjid tetapi dinamakan mushalla”.  

Bila tengah makan, jangan tergesa-gesa mendatangi shalat jamaah, tetapi selesaikan dahulu makannya.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ فَلَا يَعْجَلْ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ وَإِنْ أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ
Ibn ‘Umar ra berkata, bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila salah seorang dari kamu tengah makan, maka janganlah tergesa-gesa hingga selesai makan, meskipun shalat sudah diqamatkan”. Hadis ini berkualitsa sahih dan sah dipakai sebagai hujjah.

Jangan shalat ketika telah dihidangkan makanan, dan jangan shalat dengan menahan hasrat berhadas.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, Aku mendengar Nabi saw bersabda, “jangan shalat ketika dihidangkan makanan, dan jangan shalat dengan menahan hasrat berhadas” Hadis ini sahih dan dapat dipakai sebagai hujjah.

Bila telah mendengar iqamat, datangilah shalat jamaah dengan tenang

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila kamu telah mendengar qamat, maka berjalanlah mendatangi shalat jama’ah, dan hendaknya engkau berjalan dengan tenang dan tenteram, dan janganlah terburu-buru. Apabila kamu dapat menyusul, shalatlah mengikuti imam, sedang yang sudah tertinggal, maka sempurnakanlah”.
Hadis ini berkualitas sahih dan dapat dipakai sebagai hujjah.

2. Mengangkat Imam

 Tuntunan Rasulullah saw. dalam hal mengangkat imam adalah sebagai berikut:
       
Dan hendaklah salah seorang dari kamu menjadi imam
       
Bila ada tiga orang, hendaklah salah satu menjadi imam


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ
Dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila genap tiga orang hendaklah salah seorang di antara mereka menjadi imam, dan yang lebih berhak menjadi imam adalah yang lebih ahli membaca Qur’an”. Hadis ini berkualitas sahih dan dapat dipakai sebagai hujjah.

Hendaklah yang menjadi imam adalah orang yang paling ahli membaca Al-Qur’an
Dari Abi Mas’ud al-Anshariy berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah menjadi imam pada suatu kaum, orang yang lebih ahli membaca Qur’an; jika dalam hal ini mereka bersamaan, maka yang lebih mahir dalam hal sunnah (hadis); Apabila dalam hal inipun mereka bersamaan juga, maka yang lebih dahulu mengikuti hijrah, kalau dalam hal itu mereka bersamaan juga, maka yang lebih dahulu islamnya” Hadis ini berkualitas sahih.

Boleh juga kamu mengangkat imam seorang buta atau hamba sahaya.
Nabi pernah dua kali menguasakan kota Madinah kepada Ibn Ummi Maktum yang buta, dan mengimami penduduk Madinah
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَلَى الْمَدِينَةِ مَرَّتَيْنِ يُصَلِّي بِهِمْ وَهُوَ أَعْمَى
Dari Anas, bahwa Nabi saw menguasakan kepada Ibn Ummi Maktum atas Madinah dua kali, mengimami mereka (pemduduk Madinah) padahal ia buta.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan Ahmad ibn Hanbal. Para rawi dalam jalur sanad Ahmad adalah: Anas ibn Malik – Qatadah – ‘Imran ibn Dawar Abu al-‘Awwam al-Qaththan – Bahz ibn Asad – Ahmad ibn Hanbal. Mereka adalah orang siqah dan sanadnya bersambung. Hadis ini berkualitas sahih dan dapat dipakai sebagai hujjah.
       Ketika orang Muhajirin sampai di Quba sebelum kedatangan Nabi, yang mengimami mereka adalah Salim hamba sahaya Abu Hudzaifah
Dari Ibn ‘Umar, ia berkata, “Ketika orang-orang Muhajirin yang pertama-tama sampai di ‘Ushbah  (yaitu suatu tempat di Quba), sebelum kedatangan Nabi saw, yang mengimami mereka adalah Salim hamba sahaya Abu Hudzaifah, karena dialah yang lebih banyak pengertiannya tentang Qur’an”. Al-Haitsam (salah seorang rawi hadis ini) menambahkan, “padahal di tengah-tengah mereka terdapat juga Umar ibn al-Khaththab dan Abu Salamah ibn ‘Abdul Asad” (Lafal Abu Dawud). Kualitas hadis ini adalah sahih dan sah sebagai hujjah.

3. Posisi Makmum Dalam Sholat Berjamaah

Makmum yang hanya seorang saja supaya berdiri di sebelah kanan imamnya, sedang apabila dua orang atau lebih supaya di belakang imam. Hal ini berdasar pada hadis nabi:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَامَ ي فَصَفَفْنَا خَلْفَهُالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْمَغْرِبَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَنْ يَسَارِهِ فَنَهَانِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَجَاءَ صَاحِبٌ لِ
Jabir ibn Abdullah berkata, "Pada suatu ketika Nabi saw shalat Maghrib, saya datang lalu  berdiri di sebelah kirinya, maka beliau mencegah aku dan menjadikan aku di sebelah kanannya; kemudian datang temanku, maka kami berbaris di belakangnya".
Ibn Khuzaimah memasukkan hadis ini dalam kumpulan hadis-hadis sahih. Akan tetapi bukan berarti bahwa hadis ini telah disepakati kesahihannya. Dalam sanad hadis ini, baik dalam jalur Ahmad, Ibn Majah maupun ibn Khuzaimah, terdapat Syurahbil ibn Sa'ad. Syurahbil ini dinilai dengan penilaian yang berbeda oleh para ulama. Ibn Hibban menganggapnya sebagai rawi yang siqqah, sedangkan ibn Ma'in, Nasai dan Daruqutniy menilainya sebagai rawi yang da’if. Malik ibn Anas menilainya sebagai rawi yang tidak siqqah. Abu Zur'ah menilainya sebagai rawi yang lembek. Ibn Sa'ad menilainya sebagai rawi yang riwayatnya tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Abdullah ibn 'Adi al-Jurjani setelah menganalisis kemudian menyimpulkan bahwa Syurahbil ini lebih dekat sebagai rawi yang da’if . Pendapat ibn 'Adi ini juga dipakai sebagai kesimpulan oleh adz-Dzahabi. 
Penulis lebih cenderung mengatakan bahwa hadis ini da’if, mengingat bahwa Ibn Khuzaimah dikenal sebagai rawi yang tasahul (longgar) dalam mensahihkan hadis.

Meskipun hadis ini da’if, bukan berarti makmum yang hanya seorang kemudian tidak berdiri di sebelah kanannya, mengingat ada hadis lain yang diriwayatkan dari Abdullah ibn 'Abbas berikut ini:

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَائِشَةُ خَلْفَنَا تُصَلِّي مَعَنَا وَأَنَا إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُصَلِّي مَعَهُ
Ibn 'Abbas ra berkata, "Saya shalat di samping Nabi saw, sedang 'Aisyah bersama kami, dia shalat di belakang kami dan aku di sisi Nabi saw". Hadis ini berkualitas sahih dan dapat dipakai sebagai hujjah.

Dan hadis lainnya, yaitu:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَأْسِي مِنْ وَرَائِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ
Ibn 'Abbas berkata, "Pada suatu malam, aku shalat beserta Nabi. Aku berdiri di sebelah kirinya, kemudian Rasulullah saw memegang kepalaku dari belakangku dan menempatkanku di sebelah kanannya". (lafal Tirmidzi). Hadis ini berkualitas sahih dan dapat dipakai sebagai hujjah.

Dan hendaklah kamu meluruskan barisanmu serta merapatkan diri. Imam supaya menganjurkan kepada para makmum untuk meluruskan barisan dan merapatkannya. Ada dua hadis yang dipakai sebagai dalil:
a. Hadis dari Anas ibn Malik:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ
Dari Anas  ibn Malik, bahwa Nabi saw bersabda, "Ratakanlah shafmu karena meratakan shaf itu termasuk sebagian dari kesempurnaan shalat".
Kualitas hadis ini adalah sahih sehingga dapat dipergunakan sebagai dalil.

b. Hadis juga dari Anas ibn Malik:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ فَيَقُولُ تَرَاصُّوا وَاعْتَدِلُوا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
Anas berkata, "Rasulullah saw menghadapkan mukanya kepada kami sebelum bertakbir seraya bersabda, "Rapatkan dan luruskanlah shafmu, karena sesungguhnya aku melihatmu sekalian lewat belakang pungungku" ". (lafal Ahmad).  Kualitas hadis ini sahih dan sah dipakai sebagai hujjah.

Penuhilah shaf yang pertama lebih dahulu, kemudian shaf berikutnya.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتِمُّوا الصَّفَّ الْأَوَّلَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ وَإِنْ كَانَ نَقْصٌ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ
Dari Anas, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Penuhilah lebih dahulu shaf yang pertama, kemudian shaf yang berikutnya. Hendaklah shaf yang tidak penuh itu shaf yang di belakang”. Kualitas hadis ini adalah sahih dan sah dipakai sebagai hujjah.

Dan isilah shaf yang terluang.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ وَحَاذُوا بَيْنَ مَنَاكِبِكُمْ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَسُدُّوا الْخَلَلَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ بَيْنَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْحَذَفِ يَعْنِي أَوْلَادَ الضَّأْنِ الصِّغَارَ
Dari  Abu Umamah,  bahwa  Rasulullah saw bersabda,  "Ratakanlah shafmu, luruskanlah di antara bahumu dan berlunak-lunaklah di samping saudaramu. Dan penuhilah tempat yang terluang, sebab syetan itu masuk di antaramu sebagaimana halnya anak kambing".
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal. Hadis ini berkualitas da’if karena dalam sanadnya melawati Farj ibn Fadhalah ibn al-Nu'man. la dijarh banyak ulama hadis. Yahya ibn Ma'in menyatakannya sebagai da’if. Aliy ibn al-Madiniy mengomentarinya sebagai tidak kokoh.  Bukhari  dan Muslim menyatakannya sebagai munkar al-hadis. Sedangkan Abu hatim al-Razi menyatakan bahwa riwayatnya tidak bisa dipakai sebagai hujjah.

Perhatian : Posting di halaman ini hanyalah  kutipan dari http://10108602.blog.unikom.ac.id/cara-shalat.va , tanpa bermaksud untuk plagiat, hanya sekedar berbagi syiar agama dalam jalan dakwah !

Baca Selengkapnya

Bolehkah bermakmum pada orang yang salat sunnah?



Sebenarnya boleh berma’mum pada orang yang shalat sunnat. Ini didasarkan pada riwayat Jâbir ra bahwa:

أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْعِشَاءَ الآخِرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ فَيُصَلِّى بِهِمْ تِلْكَ الصَّلاَةَ
“Sesungguhnya Mu’âdz bin Jabal shalat ‘Isyâ’ yang akhir bersama Nabi saw, kemudian kembali ke kaumnya lalu shalat bersama mereka dengan shalat itu juga.” (HSR. Muslim, 2/42: 1070; al-Tirmidzi, al-Nasâ’i)

Melihat redaksi di atas, tampaknya Mu’âdz kembali ke kaumnya untuk memimpin shalat jamaah di kaumnya setelah shalat berjamaah dengan Rasulullah saw. Itulah sebabnya hadis ini dijadikan oleh sebagian ulama sebagai dalil bolehnya berma’mum pada orang yang shalat sunnat. Hadis di atas juga mengajarkan kita supaya senantiasa mengupayakan shalat berjamaah, dan --yang penting-- upayakan tidak membangun jamaah baru, apalagi shalat sendirian, bila ada jamaah yang sedang shalat.

     Sebagian riwayat menjelaskan bahwa Nabi saw memegang kepala Ibn ‘Abbâs, sebagiannya lagi menyebutkan memegang telinga kanannya lalu ditarik lewat belakang pindah ke sebelah kanannya, dan ada juga yang menyebutkan Nabi saw memegang lengan atasnya lalu memindahkan ke kanannya.
         Jâbir ra menceritakan bahwa ia pernah berma’mum pada Rasulullahsaw sendirian dan berdiri di sebelah kiri beliau. Saat itu Rasulullah saw menariknya pindah ke sebelah kanan beliau. Lalu datang Jabbâr bin Shakhr berdiri di kiri beliau:

 فَأَخَذَ رسولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتىَّ أَقَامَنَا خَلْفَهُ :
“maka Rasulullah saw memegang tangan kami lalu mendorong kami sehingga kami berdiri di belakang beliau.” (HSR. Muslim,)

Hadis sahih gharîb riwayat Ahmad menilai hadis ini sahih sesuai syarat al-Syaykhâni (yakni: al-Bukhari & Muslim), meskipun tidak disepakati keduanyaMemang para periwayat tersebut secara perseorangan digunakan oleh al-Bukhâri & Muslim, namun tidak dengan rangkaian periwayat (sanad) tersebut. 
Hâtim bin Abi Shaghîrah --meskipun kritikus pada umumnya menilainya kuat--, namun Abu Hâtim al-Râzi memberikan catatan tambahan bahwa hadisnya hanya shâlih/cukup baik (peringkat ta‘dîl ke-6)Al-Hâkim, 3/615: 6279, juga meriwayatkan hadis ini tapi melalui Abi Kurayb dari Ibn ‘Abbâs, padahal ‘Amr bin Dînâr (w. 184 H) mustahil meriwayatkan dari Abu Kurâyb yang wafat 248 H.

Ketika ‘Abdullah bin ‘Utbah berma’mum di belakang ‘Umar bin al-Khaththâb, maka ‘Umar menariknya ke sebelah kanannya. Tatkala Yarfâ datang, iapun mundur lalu berbaris di belakangnya (فَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ. HR. Malik, 1/154: 360). 


Baca Selengkapnya

Salat Jamaah Berantai ???


Perhah anda mendengar sebuah istilah  tentang Salat Jamaah Berantai ? apa sih Maksudnya? Dari mana dalilnya?
      Entah kapan atau dimana saya pernah mendengar anjuran atau petuah dari guru/ ustad (lupa..hehe).  Intinya beliau menganjurkan bahwa ketika sedang shalat berjamaan setelah imam mengucap salam maka kita kelompok makmum masbuk (terlambat rakaat) memilih imam baru dari makmum yang telah menyelesaikan rakaat terbanyak. Dan itu di lakukan ditempat saya dahulu. Ada yang pernah menndengar anjuran serupa?
    Seiring berjalannya waktu, saya lupa akan hal itu, dan kebetulan di lingkungan jamaah ketika saya kuliah tidak diketemukan hal seperti itu. Hingga beberapa waktu lalu saya berkunjung ke sebuah daerah pedesaan, dan saya melihat kejadian shalat jamaah bersambung, saya jadi teringat kembali petuah-petuah yang saya dengar dahulu.
Saya pun menjadi penasaran, dan bertanya pada Ustad Google, dan ini jawaban yang saya dapatkan :

Adakah Tuntunan Shalat Jama’ah Berantai/Bersambung setelah Imam Salam?

     Jika ada beberapa ma’mum masbûq setelah imam salam, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal mengangkat salah seorang imam di antara sesama ma’mum masbuq untuk membangun jamaah baru sehingga menjadi jamaah berantai. 
       
Menurut ulama Hanafiyyah: tidak sah mengangkat imam untuk menyempurnakan sisa rakaat shalatnya. 
Malikiyyah juga demikian jika yang masbuq masih mendapat rakaat bersama imam. Namun jika tidak mendapat rakaat, maka boleh mengangkat imam. 
Adapun Syâfi’iyyah dan Hanâbilah menyatakan boleh mengangkat imam baru untuk menyelesaikan kekurangan rakaatnya, dan boleh juga shalat sendiri-sendiri, asal bukan masbuq dalam shalat Jum’at.

 Hanya saja, dari berbagai pendapat ulama tersebut, penulis belum menemukan hadis yang secara khusus membicarakan adanya kasus mengangkat imam baru dari sesama ma’mum masbuq. Yang ada hadisnya adalah:
            وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا : 
“dan apa yang terlewatkan olehmu, maka tinggal kamu sempurnakan” (Muttafaq ‘alayh)
tanpa menyebutkan anjuran untuk menyambung jama’ah lagi.
 Oleh karena ini termasuk bagian ibadah mahdlah yang aturannya menunggu perintah/tuntunan, maka jika sesama ma’mum masbuq tersebut masih mendapatkan rakaat/ruku’ bersama imam sebelumnya, maka sebaiknya ia menyempurnakan sisa rakaat yang terlewatkan secara sendiri-sendiri tanpa perlu mengangkat imam baru di antara sesama merekaTetapi jika ada ma’mum masbuq yang benar-benar terlambat dan sama sekali tidak mendapatkan satu rakaat pun bersama imam sebelumnya (penulis menyebutnya: masbuq murni), maka hendaknya tetap mengupayakan berjamaah, baik dengan mengangkat seorang imam dari salah satu jamaah masbuq sebelumnya, ataupun membangun jamaah baru dengan sesama jamaah yang sama sekali tidak mendapatkan jamaah. Hal ini karena Nabi saw ketika telah selesai shalat jamaah bersama para sahabat, beliau melihat ada seorang yang masuk masjid dan tidak lagi mendapatkan jamaah shalat. Mengetahui hal ini, maka Nabi saw menawarkan pada para sahabat yang mau sedekah jamaah pada orang yang ketinggalan jamaah:
مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ ؟ فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَصَلَّى مَعَهُ.
“Siapa yang mau bersedekah jamaah dengan orang ini? Maka seseorang dari kaumnya berdiri lalu shalat berjamaah dengannya.” (HSR. Ahmad, 3/45: 11428; Abu Dâwud, 1/157: 574; al-Bayhaqi & Ibn Hibbân, dari Abu Sa’îd al-Khudri ra.)

       Penawaran untuk melakukan sedekah jama’ah karena mengingat perbedaan derajat pahala jamaah sangat siginifikan (yakni antara 25 s.d 27 derajat) dari pada shalat sendirian. Maka Nabi saw menunjukkan empatinya pada sahabat yang sudah bersusah payah mendatangi jamaah, namun ternyata jamaah shalat sudah selesai, tidak ada lagi yang tersisa. Tetapi kalau masih menemukan jamaah shalat yang masbuq, maka Nabi saw tidak menawarkan untuk sedekah jamaah sehingga cukup berma’mum pada salah seorang jama’ah tersebut dan berdiri di sebelah kanannya bila ia berma’mum sendirian. 


Baca Selengkapnya