Pendakian, menghayati jejak sang maut..
By
Unknown
Cerpen Petualangan
2
komentar
Bagi mereka, pengalaman bukanlah
sekedar kejadian yang memiliki arti..
Bagi mereka, sebuah perjalanan tak hanya dilihat dari seberapa banyak jejak yang mereka pijak, atau seberapa jauh yang mampu mereka tuju..
Tantangan dan rintangan yang mereka hadapi hanyalah sekedar kelakar dalam kisah yang mereka tulis..
Bagi mereka, sebuah perjalanan tak hanya dilihat dari seberapa banyak jejak yang mereka pijak, atau seberapa jauh yang mampu mereka tuju..
Tantangan dan rintangan yang mereka hadapi hanyalah sekedar kelakar dalam kisah yang mereka tulis..
Rama, Anto,
Tomo dan Oo, empat serangkai yang tergabung dalam sebuah kelompok yang dengan
bangga mereka sebut sebagai “The Game Bells”. Sebuah nama yang diambil dari
hobi yang sama-sama mereka geluti, yaitu berpetualang. Yuups, The Game bells
(baca: de gembel) yang merepresentasikan kerjaan mereka yang suka “menyusahkan
diri” dalam setiap petualangan yang mereka jalani. Banyak hutan telah mereka
telusuri, banyak gunung yang telah mereka daki, walau hanya dalam angan-angan
mereka. Yaah maklum, keterbatasan mereka dalam urusan finansial harus memaksa
mereka untuk memendam hasrat bertualang dalam jiwa mereka. Low skills & knowledge
serta Underdog experience yang mereka miliki semakin memantapkan nama yang
disandang oleh kelompok itu.Orang-orang yang juga tergabung dalam sebuah
organisasi MAPALA ini memang tak memiliki jam terbang yang tinggi, namun sudah
cukup untuk dijadikan sebagai pengalaman bagi mereka. Beberapa puncak tertinggi
di pulau jawa pun berhasil mereka tapaki sebagai trophy, walau harus dijalani
dengan susah payah serta tantangan dan rintangan yang ‘tak lazim’ dihadapi oleh
pendaki berpengalaman pada umumnya.
Suatu hari
Rama mendapat issue bahwa beberapa waktu yang lalu
ditemukan tujuh orang anggota SMAPALA
yang ditemukan tewas keracunan gas vulkanik didekat kawah sebuah gunung.
Mendengar informasi tersebut, ia pun mengajak kawan-kawannya untuk melakukan
pendakian ke gunung itu. “Ayolah, dah lama juga kita gak naek, itung-itung
refreshing”, bujuk Rama pada kawannya. Gunung yang satu ini sebenarnya sudah
tak asing bagi mereka,sudah berkali-kali mereka menjelajahi bagian dari gunung
ini. Gelar ‘Taman Nasional’ yang disandang gunung ini pun seolah menjadi
indikasi bahwa gunung ini ‘aman’ untuk di daki, sehingga mereka pun memutuskan untuk kembali
melakukan petualangan di gunung itu. Anto yang saat itu berhalangan, memutuskan
untuk tidak ikut dalam pendakian itu. Namun kawan mereka yang lain, yaitu Abdi
dan Wawan berminat untuk bergabung. Jadilah mereka berlima melakukan ekspedisi
ke gunung itu.
Perlengkapan
standar, serta perbekalan seadanya tak mengurangi gairah dan semangat mereka
untuk melakukan perjalanan kali ini. Satu kebiasaan buruk yang selalu mereka
lakukan dalam pendakian adalah menghindari pos pengamatan. Pos pengamatan
merupakan tempat yang seharusnya ‘kudu’ disinggahi para pendaki agar mendapat
ijin untuk melakukan pendakian resmi, tujuannya tak lain untuk menginformasikan
kegiatan pendakian yang kita lakukan di gunung itu, sehingga petugas pengawas
dapat lebih tanggap jika ada insiden tak terduga yang dialami oleh para
pendaki. Namun biaya registerasi yang dikenakan di pos pendakian tersebut
menjadi rintangan tersendiri bagi kelompok The Game bells itu. Mereka pun
mengambil resiko untuk melakukan pendakian tanpa ijin dan tanpa sepengetahuan
petugas pos. Mereka lebih memilih untuk menerobos hutan rimba agar dapat
melewati pos pengawasan. Selain lebih berasa kesan ‘petualangan’nya, tindakan
ini juga lebih irit biaya.
Matahari tepat
berada diatas kepala ketika mereka tiba di rest point, sebuah area yang cukup
terbuka di bagian lereng gunung itu. Jarak kawah hanya tinggal dua jam
perjalanan dari titik itu. Merasa masih memiliki banyak waktu, mereka pun melakukan
‘bongkar-muat’ perbekalan. Disela-sela waktu istirahat, Oo mulai membuka
obrolan “Kok bisa ya kmarin ada pendaki yang tewas keracunan disini, padahal
nie gunung cukup bersahabat”. Rama pun menjawab sambil berkelakar, “Ah,
judulnya juga anak SMAPALA, low skills brow, gak cocok main kesini, cocoknya
main di BuPer..!”. Yang lain pun tertawa mendengar jawaban Rama. Mereka memang
suka berkelakar dengan meng-”under-estimate”-kan orang-orang yang hanya berani
main ke ‘BuPer’ alias ‘Bumi Perkemahan’, sebuah sindiran yang mereka tujukan
untuk anak-anak pramuka.
Setelah
selesai mengganjal perut dan mengisi kembali persediaan air minum, mereka pun
melanjutkan perjalanan. Karena sudah untuk kesekian kalinya melakukan pendakian
di jalur ini, Tomo pun mengusulkan agar kali ini mereka melakukan “belah
gunung”, sebuah istilah yang mereka pakai untuk mendaki sebuah jalur hingga ke puncak,
lalu menuruni kawah, dan turun melewati jalur lain pada sisi yang berbeda dari
lereng gunung tersebut. Dan mendengar usulan Tomo itu, yang lain pun sepakat.
Sore hampir
menjelang, ketika mereka tiba di bibir kawah. Asap belerang cukup pekat disitu.
Awan mendung menutupi puncak saat itu.
Lanskap kawah yang berubah karena letusan beberapa waktu lalu membuat mereka
merasa asing dengan tempat yang sebenarnya biasa mereka kunjungi. Jalur yang
biasa dilewati pendaki untuk menuruni disisi seberang kawah pun terputus dan hilang tanpa
jejak. Mulut kawah yang menjadi lebih luas dari yang mereka ingat, letupan kubangan lumpur vulkanik di beberapa sudut kawah, serta adanya aliran sungai kecil didasar
kawah, membuat mereka berniat untuk mengurungkan rencana ‘belah gunung’ yang
telah direncanakan. Beberapa pertimbangan dan perdebatan kecil menghiasi
perjalanan mereka.
Oo : ”yakin nie mo belah gunung?”
Tomo : “Tau dah, tapi gw yakin jalurnya
disono (sambil menunjuk salah satu bukit di sebrang bibir kawah)”
Abdi : “Terserah lu si brow, gw ngikut
aja. Yang penting kita cepet ambil keputusan, dah mulai gerimis nie, asap dah mulai ngendap, gak
bagus kita lama-lama disini”
Wawan : “apa kita balik aja ke
bawah?”
Tomo : “Terserah sih, kalo emang
ragu, ya udah balik aja”
Rama : “Set..daah, harga diri
brow, sama aja kita ma anak BuPer kalo balik lagi”
Beberapa pertimbangan pun mereka
ambil, dan sesuai motto yang mereka usung “Makin ancur, makin asik”, akhirnya
mereka pun memutuskan untuk tetap menuruni kawah. Suasana ternyata lebih terasa mencekam bahkan saat
mereka berada dipertengahan lereng kawah. Hujan turun lebih lebat, asap
belerang mulai mengendap dan menyebar mendatar. Sungai yang terlihat kecil dari
atas kawah, ternyata alirannya lebih besar dari yang mereka perkirakan. Namun
mereka pantang untuk mundur, dan tetap nekat melintasi dasar kawah.
Tiba didasar
kawah, mereka semakin mempercepat langkah. Satu hal yang sangat mengkhawatirkan
mereka adalah asap belerang yang tak mampu lepas ke udara akibat terikat oleh
butiran hujan dan mengendap. Mereka jadi teringat kejadian meninggalnya anak
SMAPALA yang keracunan gas vulkanik. Pikiran mereka dihantui oleh kejadian itu,
mungkin waktu itu anak-anak SMAPALA tersebut mengalami hal yang sama persis
seperti yang mereka alami saat ini. Pikiran itu memaksa mereka untuk
mempercepat langkah, bahkan tak ada lagi ekspresi riang diwajah mereka yang
kini sudah dihiasi raut kecemasan.
Tomo berjalan
paling depan, di ikuti oleh Abdi, Wawan, Oo dan Rama. Mereka mulai menyebrangi
sungai yang kini semakin membesar karna hujan yang tak kunjung reda, malah
semakin deras. Rama yang berbadan ringan sedikit phobia ketika harus
menyebrangi sungai didasar kawah itu. Dia pun menjaga jarak sedekat mungkin
dengan Oo yang berada didepannya, sambil mendorong Oo untuk mempercepat langkah
karna ia tak nyaman berlama-lama didalam aliran sungai. Sungai itu sendiri tak
terlalu dalam, hanya setinggi paha, namun arusnya semakin deras.
Tomo, Abdi,
dan Wawan berhasil menyebrangi sungai. Musibah menimpa Oo yang tiba-tiba
menghentikan langkah ditengah sungai, ia berteriak kesakitan karena kakinya
tiba-tiba keram. Rama pun semakin cemas dan mulai panik. Ia tak mungkin
meninggalkan Oo ditengah sungai, namun ia pun tak mau berlama-lama terjebak
disitu. Dengan panik, Rama mendorong Oo dan memaksanya untuk tetap melangkah
walau dengan terseok-seok. Setelah menyebrangi sungai, Oo pun hanya bisa
terbaring sambil meluruskan kakinya. Sementara yang lain berusaha mencari jalan yang mudah dilalui untuk keluar dari dalam kawah.
Hari mulai
gelap, dan lereng kawah terpecah-pecah akibat aliran air yang muncul akibat hujan
yang bertambah deras, hal ini semakin menyulitkan mereka untuk mencari jalan
keluar. Beberapa tebing terlalu curam untuk didaki,
beberapa bukit terlalu pekat dengan belukar untuk dilalui. Mereka terjebak
dikawah itu dengan dihantui kejadian tewasnya anak-anak SMAPALA yang sempat
mereka jadikan bahan kelakar. Untungnya alam masih berbelaskasih pada mereka. Angin menjauhkan mereka dari pekatnya asap
belerang disudut kawah itu. Mereka tak henti memperhatikan arah angin sambil
mencari jalan keluar, dan hanya bisa berharap semoga asap belerang itu tak
mengarah tepat ke mereka. Dibawah kepanikan, tak ada pilihan selain menerobos
belukar yang curam agar mereka dapat segera keluar dari kawah itu sebelum
gelap. Salah satu dari mereka menerobos belukar curam yang merupakan bagian
dari dinding kawah. Setelah merasa bisa dilalui, yang lain pun mengikuti,
termasuk Oo yang memaksakan kakinya untuk melangkah.
Siang telah
berganti malam ketika mereka sudah berhasil keluar dari dalam kawah. Hujan
tetap deras dan menggenangi jalan setapak yang kami lalui hingga setinggi
lutut. Mereka seperti berjalan didalam aliran sungai. Mereka berjalan hanya
diterangi lampu yang berasal dari LED yang terpasang pada sebuah korek gas,
mereka memang tak berencana untuk melakukan perjalanan malam.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, hujan telah reda ketika mereka tiba di rest point, sebuah area terbuka yang luas namun telah tergenang air setinggi mata kaki. Disinilah lokasi ditemukannya tujuh orang anggota SMAPALA itu. Mereka pun duduk sejenak mengistirahatkan tubuh yang sangat kelelahan, asap belerang yang terbawa angin memang sangat terasa di tempat itu. Pikiran mereka pun melayang, membayangkan apa yang dialami anak-anak SMAPALA itu. Setelah apa yang baru saja mereka lalui, mereka berpikir bahwa mungkin seperti inilah kejadian yang dialami anak-anak itu. Sebuah keteledoran yang terdorong oleh hasrat bertualang.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, hujan telah reda ketika mereka tiba di rest point, sebuah area terbuka yang luas namun telah tergenang air setinggi mata kaki. Disinilah lokasi ditemukannya tujuh orang anggota SMAPALA itu. Mereka pun duduk sejenak mengistirahatkan tubuh yang sangat kelelahan, asap belerang yang terbawa angin memang sangat terasa di tempat itu. Pikiran mereka pun melayang, membayangkan apa yang dialami anak-anak SMAPALA itu. Setelah apa yang baru saja mereka lalui, mereka berpikir bahwa mungkin seperti inilah kejadian yang dialami anak-anak itu. Sebuah keteledoran yang terdorong oleh hasrat bertualang.
Tak lama
mereka istirahat ditempat itu. Kisah yang terjadi beberapa waktu lalu ditempat
itu, ditambah aroma belerang yang tak mau menghilang, memaksa mereka untuk
terus melanjutkan perjalanan walau dengan kondisi badan yang masih letih dan
tanpa lampu penerang jalan.
Waktu menunjukkan pukul dua dinihari ketika akhirnya mereka tiba di kaki gunung. Tak ada jalan lain, mereka pun beristirahat di area pos pengamatan yang sekaligus berfungsi sebagai Bumi Perkemahan.
Waktu menunjukkan pukul dua dinihari ketika akhirnya mereka tiba di kaki gunung. Tak ada jalan lain, mereka pun beristirahat di area pos pengamatan yang sekaligus berfungsi sebagai Bumi Perkemahan.
Pagi menjelang
ketika beberapa orang penjaga pos menghampiri tenda mereka. Mungkin penjaga pos
itu keheranan dengan adanya tenda tambahan yang berdiri di area yang mereka
jaga. Penjaga pos pun sempat menanyakan soal berkas perijinan keberadaan mereka
disitu. Namun, pengalam akan kondisi tersebut membuat para The Game Bells mampu berkelit perihal
keberadaan mereka.
Takut
dicurigai lebih lanjut, mereka pun langsung cabut dari bumi perkemahan itu.
Ditengah perjalanan pulang, mereka pun tertawa lepas, mengenang petualangan
konyol yang baru saja mereka alami……..
Makin Ancur … Makin Asik
..semakin berat
rintangan yang kita hadapi..
..semakin manis pula
kisah itu untuk kita kenang..
(terinspirasi dari sebuah petualangan nyata)
Description: Pendakian, menghayati jejak sang maut..
Rating: 4.5
Reviewer: Unknown -
ItemReviewed: Pendakian, menghayati jejak sang maut..
TUHAN BERSAMA ORANG-ORANG YANG BERANI
BalasHapusSeseorang dari pasembahan gunung Ciremai nie kayaknya..
Hapus