Iman & Logika : Pertanyaan seorang pemuda tentang wujud tuhannya
By
Unknown
Kisah Motivasi dan Pelajaran Hidup
3
komentar
Alkisah ada seorang pemuda yang
merantau jauh ke negri orang untuk menuntut ilmu. Selama perantauannya, ia
telah menelan banyak sekali ilmu yang ia gali di kampus tempatnya belajar.
Otaknya sudah dijejali dengan banyak pengetahuan tentang dunia. Hingga ia pun
terlena dan pandangannya hanya terfokus pada ilmu dunia. Pola pikirnya hanya
bekerja pada perkara yang dapat dijamah dengan logika dan diterjemahkan dalam bahasa
yang ia kenal dengan istilah “sains”. Ia
tak kenal lagi dengan kata iman, karna iman tak mampu dideskripsikan dalam
logika sains yang ia miliki.
Selesai menelan ilmu pengetahuan di
negeri sebrang, si pemuda pun kembali ke tanah air. Ilmu pengetahuan yang ia
dapatkan selama perantauan ia aplikasikan dalam hidupnya. Banyak hal didunia
yang mampu ia pecahkan dengan logikanya. Si pemuda pun diakui dalam hal
keilmuannya, ia dipercaya untuk menjadi “Tokoh Sains” di lingkungan sekitarnya.
Ilmu sains dan logika yang ia miliki mampu ia terapkan dengan baik, sehingga ia
mampu menjalani kehidupannya dengan sukses. Hingga suatu hari, si pemuda
mendapati benturan logika dalam hatinya.
Suatu hari si pemuda teringat dengan
masa kecilnya, masa-masa ketika ia belajar tentang agamanya. Masa dimana ia
mengaji bersama teman-temannya. Ia masih mengingat tentang bagaimana ia belajar
untuk mengenali tuhannya, mengetahui keberadaanNYA dari tanda-tanda ciptaanNYA.
Tapi kini hal itu seakan menjadi tabu dari sudut pandangnya. Imannya kini
terbentur dengan logika yang menguasai akalnya. Bukannya ia tak percaya dengan
keberadaan tuhan, tapi ia tak bisa meyakini sesuatu yang tak mampu dipecahkan
oleh logika. Logika menuntun akalnya pada sebuah pemikiran, jika semua
ciptaanNYA yang berwujud dapat diterjemahkan dengan mata dan akal, lalu mengapa
wujudNYA tak mampu untuk ia telusuri dengan logikanya?
Untuk menghilangkan dilema pemikiran
dalam hatinya, si pemuda pun mencari jawaban yang mampu ia pahami dengan
logikanya. Ia mendatangi seorang ulama, dan kepada ulama itu si pemuda
bertanya:
Pemuda: “Pak Ustadz,
tolong jelaskan pada saya tentang wujud Allah!”
Pak ustadz pun menjelaskan tentang Ma’rifat Allah, sifat-sifatNYA,
Kebesaran dan keagunganNYA, tapi penjelasan pak ustadz tersebut tak mampu
memuaskan logika si pemuda. Tak tahu cara untuk menjelaskan ke si pemuda, Pak
Ustadz pun akhirnya menyerah dan berkata:
Pak Ustadz: “Wahai
pemuda, berilah saya waktu untuk kembali mendalami ilmu agama, agar saya bisa
memberi penjelasan yang lebih baik padamu!”
Logika si pemuda yang haus akan
jawaban membuatnya tak sabar untuk menunggu. Ia pun pergi dari tempat tersebut
dan mencari ulama lain yang bisa menghilangkan dahaga logika atas
pertanyaannya. Hingga si pemuda pun sampai pada ulama yang kedua, dan ia
kembali bertanya:
Pemuda: “Pak Ustadz,
tolong jelaskan pada saya tentang wujud Allah!”
Tapi Ulama kedua yang ia datangi pun memberi jawaban
yang tak jauh berbeda dengan ulama pertama dan akhirnya hanya berkata:
Pak Ustadz: “Wahai
pemuda, berilah saya waktu untuk kembali mendalami ilmu agama, agar saya bisa
memberi penjelasan yang lebih baik padamu!”
Belum menyerah untuk mencari
jawaban, si pemuda pun mencari ulama yang bisa memberikan jawaban yang ia
inginkan. Sampailah ia kepada ulama yang ketiga. Dan si pemuda pun memberi
pertanyaan yang sama:
Pemuda: “Pak Ustadz,
tolong jelaskan pada saya tentang wujud Allah!”
Tapi dari ulama yang ketiga ini, si pemuda mendapat
jawaban yang tak ia duga. Segera setelah si pemuda menyampaikan pertanyaannya,
serta merta ia ditampar oleh sang ulama. Sambil mengerang kesakitan, si pemuda
pun berkata:
Pemuda: “Wahai
Pak Ustadz, jika bapak tidak bisa memberi jawaban atas pertanyaan saya, cukup
bapak bilang saja tidak tahu, tapi tak perlu bapak menampar saya.”
Pak Ustadz: “Wahai
pemuda, apakah tamparan saya itu terasa sakit bagimu?”
Pemuda: “Tentu
saja.”
Pak Ustadz: “Lalu
bisa kah kamu tunjukkan padaku dengan
logikamu tentang wujud dari rasa sakit itu?”
Mendengar pertanyaan tersebut,
logika si pemuda pun berputar. Ia tahu bahwa sakit yang ia rasa itu adalah
nyata, tapi ia tak mampu untuk menggambarkan wujud dari sakit yang ia rasa. Si
pemuda tersebut tahu tentang bagaimana sakit itu terasa, tapi ia tak mampu
untuk menunjukkan wujud dari rasa sakit tersebut. Hingga Akhirnya si pemuda pun
hanya bisa terdiam.
Melihat si pemuda yang terdiam dalam kemelut logikanya
sendiri, Pak Ustadz pun kembali berkata:
Pak Ustad: ”Wahai
pemuda, sesungguhnya semua ilmu yang mampu kau telan dengan logikamu itu
hanyalah setitik saja dari ilmu yang Allah curahkan. Logikamu itu takkan
sanggup menerima semua ilmu yang Allah beri. Wahai pemuda, janganlah kau
bermimpi tuk dapat menjabarkan wujud Allah dengan logikamu jika untuk menerima
tanda-tanda kebesaranNYA di hatimu saja tak mampu kau lakukan. Wahai pemuda, tahukah
kamu tentang kisah Musa a.s yang meminta untuk bisa melihat wujud Allah di
bukit sinai? Sesungguhnya hanya dengan diperlihatkan tanda-tanda kebesaranNYA
saja, beliau a.s sudah tak mampu menerimanya hingga beliau a.s jatuh pingsan!”
Mendengar kata-kata Pak Ustadz
tersebut, pikiran si pemuda pun terbuka,
logikanya berkata: “Allah memberiku Akal
pikiran dan hati nurani tak lain adalah agar aku mempergunakan keduanya”.
**catatanpudar**
mantap artikelnya bung..
BalasHapusSiip, tengkyu bwt apresiasinya
HapusMantap jiwa
BalasHapus