Kisah Nabi Ismail a.s
By
Unknown
Kisah Para Nabi
0
komentar
Ismail berusia belia ketika memulai
perjalanannya menuju Allah SWT. Ibunya membawanya dan menidurkannya di atas
tanah, yaitu tempat yang sekarang kita kenal dengan nama sumur zamzam dalam
Ka'bah. Saat itu tempat yang dihuninya sangat tandus dan belum terdapat sumur
yang memancar dari bawah kakinya. Tidak ada di sana setetes air pun. Nabi
Ibrahim meninggalkan istrinya, Hajar, bersama anaknya yang kecil. "Wahai
Ibrahim kemana engkau hendak pergi dan membiarkan kami di lembah yang kering
ini?" Kata Hajar. "Wahai Ibrahim di mana engkau akan pergi dan
membiarkan kami? Wahai Ibrahim ke mana engkau akan pergi?" Si ibu
mengulang-ulang apa yang dikatakannya. Sedangkan Nabi Ibrahim diam dan tidak
menjawab. Kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana perasaan Nabi Ibrahim
saat meninggalkan mereka berdua di suatu lembah yang tidak ada di alamnya
tumbuh-tumbuhan dan minuman. Namun Allah SWT telah memerintahkannya untuk
tinggal di lembah itu. Dengan lapang dada Nabi Ibrahim melaksanakan perintah
Allah SWT.
Dalam
kisah-kisah israiliyat (kisah-kisah palsu yang dibuat oleh Bani Israil)
disebutkan bahwa istri pertamanya, Sarah, tampak cemburu pada Hajar, istri
keduanya, sehingga karenanya Nabi Ibrahim harus menjauhkannya beserta anaknya.
Kami percaya bahwa kisah ini palsu dan penuh dengan kebohongan. Jika kita
mengamati kepribadian Nabi Ibrahim, maka kita mengetahui bahwa beliau tidak
akan mendapat perintah dari seorang pun selain Allah SWT.
Kami
tidak meyakini bahwa beliau terperangkap dalam perasaan kecemburuan feminisme
dan kami juga tidak percaya bahwa beliau sengaja membangkitkan perasaan ini.
Kami tidak mengira bahwa pribadi Sarah yang mulia akan terpedaya dengan sikap
egoisme. Bukankah ia sendiri yang menikahkan Nabi Ibrahim dengan Hajar, pembantunya
agar ia mendapatkan keturunan? Ia menyadari bahwa dirinya wanita tua dan
mandul. Ia sendiri yang menikahkannya dan membantu pelaksanaannya. Ia telah
memberikan dan mengabdikan dirinya kepada seorang lelaki yang hatinya tiada
dipenuhi dengan cinta kepada siapa pun kecuali cinta kepada Penciptanya.
Allah SWT berfirman tentang Sarah dan
Hajar:
"Rahmat Allah dan
keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha
Terpuji lagi Maha Pemurah”. (QS. Hud: 73)
Jadi,
masalahnya adalah bukan masalah kecemburuan antara sesama wanita, namun ia
adalah tugas yang diperintahkan oleh Allah SWT yang di dalamnya tersembunyi
hikmah-Nya. Barangkali Sarah lebih heran daripada Hajar ketika Nabi Ibrahim
memerintahkannya untuk membawa anaknya Ismail dan mengikutinya. "Ke mana
engkau hai Ibrahim pergi?" Mungkin pertama-tama Hajar yang bertanya
kepadanya dan mungkin juga Sarah yang bertanya. Nabi Ibrahim hanya terdiam dan
akhirnya kedua wanita itu pun juga terdiam.
Di
sana terdapat hikmah yang tersembunyi di mana Nabi Ibrahim tidak mengetahuinya
dan Allah SWT tidak menjelaskan kepadanya. la tidak mengetahui hai itu
sebagaimana mereka berdua juga tidak mengetahuinya. Jadi kedua-duanya hanya
terdiam sebagai bentuk akhlak dari istri-istri nabi. Inilah Hajar yang
sendirian bersama anaknya di lembah yang terasing dan tandus, di mana ia tidak
mengetahui rahasia di balik tempat itu. Inilah Ismail yang memulai
perjalanannya menuju Allah SWT saat masih menyusui. Ia mengalami ujian saat
masih kecil dan juga ujian bagi ayahnya, di mana ia mendapatkan seorang anak
saat sudah tua. Nabi Ibrahim menyadari bahwa manusia tidak memiliki sesuatu pun
dalam dirinya. Dan seseorang yang cinta kepada Allah SWT akan memberikan
dirinya kepada Allah SWT dan akan memberikan apa yang disukai oleh dirinya
kepada Allah SWT tanpa harus diminta. Itu adalah hukum cinta yang dalam. Kami
tidak percaya bahwa Nabi Ibrahim mengetahui mengapa ia harus meninggalkan
Ismail dan ibunya di tempat itu. Kami tidak mengira bahwa Allah SWT telah
memberitahunya. Allah SWT hanya menurunkan perintah dan Ibrahim hanya
menaatinya. Di sinilah tampak kerasnya ujian dan kesulitannya. Di sinilah cinta
yang paling dalam diungkapkan, dan di sinilah cinta yang murni dituangkan.
Allah
SWT menguji kekasih-Nya Ibrahim dengan suatu ujian yang sangat keras, di mana
umumnya para orang tua berat sekali melakukannya. Bukan berarti bahwa cinta
Allah SWT kepada Ibrahim dan cinta Ibrahim kepada-Nya menjadikan Ibrahim tidak
memiliki perasaan kemanusiaan. Kekuatan cintanya pada Allah SWT justru
menjadikan sebagai lautan dari perasaan kemanusiaan, bahkan lautan yang tidak
bertepi. Perasaan beliau terhadap Ismail lebih besar, lebih lembut, dan lebih
sayang dari perasaan ayah mana pun terhadap anaknya. Meskipun demikian, beliau
rela meninggalkannya di tempat yang tandus karena Allah SWT memerintahkan hal
tersebut. Terjadilah pergulatan dalam dirinya namun ia mampu melewati ujiannya
dan beliau memilih cinta Allah SWT daripada cinta anaknya.
Ketika
Nabi Ibrahim menampakkan kecintaan yang luar biasa dari yang seharusnya kepada
anaknya, maka Allah SWT memerintahkannya untuk menyembelihnya. Allah SWT agar
hanya Dia yang menjadi pusat cinta para nabi-Nya. Barangsiapa yang mencintai
Allah SWT, maka ia pun harus mencintai kebenaran dan orang yang mencintai
kebenaran adalah orang memenuhi hatinya dengan cinta kepada Penciptanya semata.
Ismail mewarisi kesabaran ayahnya. Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah SWT
sebelumnya:
"Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang
saleh" (QS. ash-Shaffat: 100)
Allah SWT menjawab: "Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang
anak yang amat sabar." (QS. ash-Shaffat: 101)
Kesabaran
yang sama yang terdapat pada ayahnya, kebaikan yang sama, ketakwaan yang sama,
dan adab kenabian yang sama pula. Ismail mendapatkan ujian yang pertama saat
beliau kecil dan ujian itu berakhir saat Allah SWT memancarkan zamzam dari
kedua kakinya sehingga darinya ibunya minum dan menyusuinya. Kemudian Ismail
mendapatkan ujian yang kedua dalam hidupnya saat ia menginjak masa muda:
"Maka tatkala anak
itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu: Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar.'" (QS. ash-Shaffat: 102)
Apa yang Anda kira terhadap jawaban si
anak? Ia tidak bertanya tentang sifat dari mimpi itu, dan ia tidak berdebat
dengan ayahnya tentang kebenaran mimpi itu, tetapi yang dikatakannya:
"Wahai ayahku laksanakanlah apa yang diperintahkan. "Janganlah engkau
gelisah karena aku dan janganlah engkau menampakkan kesedihan dan keluh-kesah.
"Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."
Demikianlah jawaban seorang anak yang saleh terhadap ayahnya yang saleh.
Itulah puncak dari kesabaran dari seorang anak dan tentu orang tuanya lebih
harus bersabar. Itu bagaikan perlombaan di antara keduanya untuk menguji siapa
di antara mereka yang paling sabar. Perlombaan yang tujuannya adalah meraih
cinta Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan ceritakanlah
(hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur'an.
Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang
rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk bersembahyang dan menunaikan
zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya." (QS. Maryam: 54-55)
Ismail
hidup di semenanjung Arab sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ismail memelihara
kuda dan terhibur dengannya serta memanfaatkannya untuk keperluannya. Sedangkan
air zamzam sangat membantu orang-orang yang tinggal di daerah itu. Kemudian
sebagian kafilah menetap di situ dan sebagian kabilah tinggal di tempat itu.
Nabi Ismail tumbuh menjadi dewasa dan menikah. Lalu ayahnya, Nabi Ibrahim,
mengunjunginya dan tidak menemukannya dalam rumah namun ia hanya mendapati
istrinya. Nabi Ibrahim bertanya kepadanya tentang kehidupan mereka dan keadaan
mereka. Istrinya mengadukan padanya tentang kesempitan hidup dan kesulitannya.
Nabi Ibrahim berkata padanya: "Jika datang suamimu, maka perintahkan
padanya untuk mengubah gerbang pintunya."
Ketika
Nabi Ismail datang, dan istrinya menceritakan padanya perihal kedatangan
seorang lelaki, Ismail berkata: "Itu adalah ayahku dan ia memerintahkan
aku untuk meninggalkanmu, maka kembalilah engkau pada keluargamu."
Kemudian
Nabi Ismail menikahi wanita yang kedua. Nabi Ibrahim mengunjungi istri keduanya
dan bertanya kepadanya tentang keadaannya. Lalu ia menceritakan padanya bahwa
mereka dalam keadaan baik-baik dan dikaruniai nikmat. Nabi Ibrahim puas
terhadap istri ini dan memang ia cocok dengan anaknya. Barangkali Nabi Ibrahim
menggunakan kemampuan spiritualnya dan cahaya yang mampu menyingkap kegaiban
yang dimilikinya. Nabi Ibrahim menyiapkan Ismail untuk mengemban tugas yang
besar. Yaitu tugas yang membutuhkan kerja keras kemanusiaan seluruhnya dan
waktunya seluruhnya serta kenyamanannya seluruhnya. Tak lama dari itu, turunlah
perintah Allah kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail untuk membangun Baitullah.
0 komentar:
NO SPAM, SPAMER'S AKAN SECARA OTOMATIS TERHAPUS DARI FORM KOMENTAR, TERIMAKASIH !