Kisah Nabi Musa a.s
By
Unknown
Kisah Para Nabi
0
komentar
Ketika Nabi Yusuf meninggal, Mesir
mengubah sistem tauhid ke sistem multi tuhan untuk kedua kalinya. Menurut
dugaan kuat bahwa hal ini terwujud dengan adanya campur tangan
kelompok-kelompok elit yang berkuasa. Kelompok-kelompok elit ini— ketika di
bawah agama tauhid—mereka tidak mendapatkan suatu perlakukan istimewa atau
dibedakan dengan masyarakat umum, sehingga karenanya mereka mempunyai
kepentingan untuk mengembalikan sistem penyembahan multi tuhan. Kemudian
masyarakat mengikuti sistem penyembahan Fir'aun. Dan akhirnya, Mesir dipimpin
keluarga-keluarga Fir'aun dan mereka mengklaim bahwa mereka adalah tuhan atau
wakil-wakil tuhan atau orang-orang yang berbicara atas nama tuhan.
Pada
dasarnya, masyarakat Mesir adalah masyarakat yang beradab. Mereka disibukkan
dengan pembangunan peradaban. Mereka memiliki kecenderungan keagamaan yang
kuat. Dan barangkali kelompok-kelompok dari masyarakat Mesir meyakini bahwa
Fir'aun bukan tuhan namun karena mereka mendapat tantangan keras dari Fir'aun
dan Fir'aun tidak ingin dari kaurnnya kecuali agar mereka menaatinya sehingga
mereka pun terpaksa menyembunyikan keimanan dalam diri mereka. Jadi,
tuhan-tuhan berhala banyak sekali di Mesir. Hal yang bisa dipahami adalah,
bahwa Fir'aun menguasai semua macam tuhan dan ia mengisyaratkan dengannya dan
berbicara atas namanya. Yang demikian ini adalah sangat jelas di Mesir. Ketika
terdapat sistem multi tuhan di Mesir—meskipun masyarakatnya meyakini tuhan
utama, yaitu Fir'aun—kelompok elit yang berkuasa membatasi untuk hanya menyembah
Fir'aun dan melaksanakan perintah-perintahnya serta membenarkan tindakan
semena-menanya. Kita akan mengetahui dan kita akan membuka lembaran-lembaran
Nabi Musa as bagaimana masyarakat Mesir hidup di zamannya. Mayoritas masyarakat
saat itu mendapatkan kehinaan yang luar biasa dan diperlakukan secara lalim.
Mereka harus taat sepenuhnya kepada Fir'aun. Mereka selalu diancam oleh
algojo-algojo Fir'aun dan para tentaranya.
Allah SWT menceritakan Fir'aun yang
hidup di zaman Nabi Musa dalam firman-Nya:
"Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu
berseru memanggil kaumnya (seraya berkata): 'Akulah Tuhanmu yang paling
tinggi.'" (QS. an-Nazi'at: 23-24)
Manusia
saat itu benar-benar tunduk terhadap pernyataan orang-orang kafir. Mereka
menaati—barangkali itu karena terpak-sa—perkataan Fir'aun. Mesir kembali
menggunakan sistem multi tuhan setelah sebelumnya disinari oleh tauhid yang
disuarakan oleh Nabi Yusuf. Sementara itu, anak-anak Yakub atau anak-anak
Israil mereka telah menyimpang dari tauhid. Mereka mengikuti orang-orang Mesir.
Sedikit sekali dari keluarga mereka yang masih mempertahankan agama tauhid
secara tersembunyi.
Datanglah
suatu masa atas Bani Israil di mana mereka semakin banyak dan semakin menyebar.
Mereka mengerjakan berbagai macam pekerjaan, dan mereka memenuhi pasar-pasar
Mesir. Berlalulah hari demi hari. Mesir diperintah oleh seorang raja yang
bengis di mana orang-orang Mesir menyembahnya. Raja yang jahat ini melihat Bani
Israil semakin banyak dan semakin berkembang serta mengambil posisi-posisi
penting. Raja mendengar pembicaraan Bani Israil tentang berita yang samar di
mana dalam berita itu dikatakan bahwa salah seorang anak Bani Israil akan
menjatuhkan Fir'aun Mesir dari singgasananya. Barangkali berita itu berasal
dari suatu mimpi dari mimipi-mimpi hidup atau mimpi nyata yang mengelilingi
hati kelompok minoritas yang tertindas, dan mungkin itu merupakan berita
gembira yang tersebut dalam kitab-kitab mereka. Apa pun halnya, berita ini
telah sampai di telinga Fir'aun.
Kemudian
Fir'aun mengeluarkan perintah, yaitu jangan sampai seorang pun dari Bani Israil
yang melahirkan anak. Maksud dari perintah ini adalah, hendaklah setiap anak
yang lahir dari jenis laki-laki dibunuh. Aturan ini mulai diterapkan. Tapi para
pakar ekonomi berkata kepada Fir'aun: Orang-orang tua dari Bani Israil akan
mati sesuai dengan ajal mereka, sedangkan anak-anak kecilnya disembelih maka
ini akan berakhir pada hancurnya dan binasanya Bani Israil namun Fir'aun akan
kehilangan kekayaan dan aset manusia yang dapat bekerja untuknya atau menjadi
budak-budaknya dan wanita-wanita tidak dapat lagi dimilikinya. Maka yang
terbaik adalah, hendaklah dilakukan suatu proses sebagai berikut: Anak
laki-laki disembelih pada tahun yang pertama dan hendaklah mereka dibiarkan
pada tahun berikutnya. Fir'aun sependapat dengan pikiran ini karena itu
dianggap lebih menguntungkan dari sisi ekonomi.
Ibu
Musa mengandung Harun pada tahun di mana anak-anak kecil tidak dibunuh maka ia
melahirkannya secara terang-terangan. Ketika datang tahun yang ditetapkan di
dalamnya bahwa anak-anak kecil harus dibunuh, ia melahirkan Musa. Saat
melahirkan Musa, sang ibu merasakan ketakutan yang luar biasa. la mencemaskan
bahwa jangan-jangan anaknya akan dibunuh. Maka si ibu menyusuinya secara
sembunyi-sembunyi. Kemudian datanglah suatu malam yang penuh berkah di mana
Allah SWT mewahyukan kepadanya:
"Dam Kami ilhamkan kepada ibu Musa: 'Susuilah dia dan
apabila khawatir terhadapnya maka jatuhkalah ia ke dalam sungai (Nil). Dan
janganlah kamu khawatir danjanganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya
Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari
para rasul.'" (QS. al-Qashash: 7)
Mendengar
wahyu Allah SWT itu dan mendengar panggilan yang penuh kasih sayang dan suci
ini, ibu Musa langsung menaatinya. Ia diperintahkan untuk membuat peti kecil
bagi Musa. Setelah menyusuinya, ia meletakkannya di peti itu. Kemudian ia pergi
ke tepi sungai Nil dan membuangnya di atas air. Hati sang ibu adalah hati yang
paling pengasih di dunia. Hatinya dipenuhi penderitaan saat ia melemparkan
anaknya di sungai Nil, tetapi ia menyadari bahwa Allah SWT lebih Pengasih
terhadap Musa dibandingkan dengan dirinya. Allah SWT lebih mencintainya
dibandingkan dengan dirinya. Allah SWT adalah Tuhannya dan Tuhan sungai Nil.
Belum
lama peti itu menyentuh sungai Nil sehingga sang Pencipta mengeluarkan perintah
kepada arus sungai agar menjadi tenang dan bersikap lembut terhadap bayi yang
dibawanya yang pada suatu hari akan menjadi Nabi. Sebagaimana Allah SWT
memerintahkan kepada api agar menjadi dingin dan membawa keselamatan bagi Nabi
Ibrahim, begitu juga Allah SWT memerintahkan kepada sungai Nil agar membawa
Musa dengan tenang dan penuh kelembutan sehingga menyerahkannya ke istana
Fir'aun. Air sungai nil membawa peti yang mulia ini ke istana Fir'aun. Di sana
ombak menyerahkannya kepada tepi pantai kemudian ia mewasiatkan kepada tepi
pantai itu. Dan angin berkata kepada rumput yang tidur di sisi peti: Jangan
engkau banyak bergerak karena Musa sedang tidur. Rumput itu pun menaati perintah
angin dan Musa tetap tidur.
Pada
hari itu, matahari menyinari istana Fir'aun. Istri Fir'aun keluar berjalanjalan
di kebun istana sebagaimana biasanya. Kita tidak mengetahui apa gerangan yang
menjadikannya berjalan-jalan dan menempuh jarak yang lebih jauh dari yang biasa
di tempuhnya.
Istri
Fir'aun berbeda sekali dengan Fir'aun. Fir'aun adalah seorang kafir sementara
istrinya adalah seorang yang beriman. Fir'aun adalah seorang yang keras kepala
sementara istrinya adalah seorang yang penyayang. Fir'aun adalah seorang
penjahat sementara istrinya adalah seorang yang lembut dan penuh cinta. Di
samping itu, istrinya merasakan kesedihan yang dalam karena ia belum mampu
melahirkan anak. Ia merindukan untuk mendapatkan anak. Istri Fir'aun berhenti
di sisi kebun kemudian bau harum yang datang dari pohon itu menyebarkan
perasaan sedih akan rasa kesendirian. Pada saat yang sama, wanita-wanita yang
membantunya sudah memenuhi tempat-tempat air yang diambil dari sungai.
Tiba-tiba mereka mendapati peti di sisi kaki mereka. Mereka membawa peti itu
seperti semula ke istri Fir'aun. Ia memerintahkan untuk membukanya lalu mereka
pun membukanya. Betapa terkejutnya istri Fir'aun ketika melihat Musa di
dalamnya. Maka ia pun merasakan bahwa ia mencintainya seperti anaknya sendiri.
Allah SWT menaruh dalam hatinya rasa cinta kepada Musa sehingga air matanya
berlinang.
Kemudian
ia membawa peti mati itu. Istri Fir'aun membolak-balikkan Musa sambil menangis.
Musa terbangun dan ia pun menangis. Musa tampak lapar ia membutuhkan air susu
pagi dan tetap menangis. Fir'aun duduk di atas meja makan. Ia menantikan
istrinya namun yang ditunggu belum hadir. Fir'aun mulai marah dan mencarinya.
Tiba-tiba ia dikagetkan dengan kedatangan istrinya dengan membawa Musa. Istri
Fir'aun tampak sangat menyayanginya. Ia terus menciuminya dan air matanya
berlinangan. Fir'aun bertanya, "dari mana datangnya anak kecil ini?"
Kemudian mereka menceritakan kepadanya bahwa mereka menemukannya di sebuah peti
di tepi sungai. Fir'aun berkata: "Ini adalah salah satu anak Bani Israil.
Sesuai dengan peraturan, anak-anak yang lahir tahun ini harus dibunuh."
Mendengar keputusan Fir'aun itu, istri Fir'aun berteriak dan ia mendekap Musa
lebih keras:
"Dan berkatalah istri Fir'aun: '(Ia) adalah penyejuk
mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia
bermanfaat hepada kita atau kita ambil iajadi anak.'" (QS. al-Qashash: 9)
Fir'aun
tampak keheranan sekali melihat aksi istrinya yang mendekap anak kecil yang
mereka temukan di tepi sungai. Fir'aun tampak tercengang karena istrinya
menangis dengan gembira di mana Fir'aun tidak pernah mendapati istrinya
menangis karena gembira seperti ini. Fir'aun mulai mengetahui bahwa istrinya
menyayangi anak ini seperti anaknya sendiri. Fir'aun berkata dalam dirinya: Barangkali
ia ingat bahwa ia tidak mampu melahirkan anak dan menginginkan anak ini.
Akhirnya, Fir'aun sepakat atas apa yang dikatakan oleh istrinya. Fir'aun
memenuhi keinginannya dan menyetujuinya untuk mendidik anak ini di istananya.
Ketika
mendengar persetujuan Fir'aun, tampaklah keceriaan yang luar biasa pada wajah
istrinya. Fir'aun belum pernah menyaksikan keceriaan seperti ini. Fir'aun telah
menghadirkan berbagai macam hadiah kepadanya, juga perhiasan dan budak tetapi
ia belum pernah tersenyum meskipun sekali. Fir'aun menyangka bahwa istrinya
tidak mengerti arti sebuah senyuman. Dan sekarang, Fir'aun melihat sendiri
wajahnya dipenuhi dengan senyum keceriaan. Sementara itu, Musa mulai menangis
karena lapar. Istri Fir'aun mengetahui bahwa Musa sedang lapar. Ia berkata
kepada Fir'aun: "Anakku yang kecil sedang lapar." Fir'aun berkata:
"Datangkanlah kepadanya para wanita yang menyusui." Kemudian
didatangkanlah kepadanya seorang wanita yang menyusui dari istana. Wanita itu
mencoba untuk menyusui Musa tetapi apa yang terjadi? Musa menolaknya. Lalu
didatangkan wanita yang kedua sampai ketiga dan sampai kesepuluh tetapi Musa
tetap menangis dan tidak ingin menyusu kepada seorang pun di antara mereka.
Melihat kenyataan itu, istri Fir'aun menangis karena tidak tahan melihat
penderitaan anak kecil itu. Ia tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya.
Bukan
hanya istri Fir'aun satu-satunya yang merasa sedih dan menangis, ibu Musa
adalah wanita lain yang merasa sedih dan menangis. Ketika ia melemparkan Musa
ke sungai Nil, ia merasa bahwa ia sedang melemparkan buah hatinya di sungai.
Lalu peti yang dilemparkan itu hilang dibawa oleh air sungai dan beritanya pun
tersembunyi. Dan ketika datang waktu pagi, ibu Musa merasakan kesedihan yang
selalu menghantuinya. Hampir saja ia pergi ke istana Fir'aun untuk mendapatkan
berita tentang anaknya kalau bukan karena Allah SWT menarah kedamaian dalam
hatinya sehingga ia menyerahkan urusan anaknya kepada Allah SWT. Alhasil, ia
berkata kepada saudara perempuan Musa: "Pergilah dengan tenang ke istana
Fir'aun dan berusahalah untuk mendapatkan berita tentang Musa dan hendaklah
engkau hati-hati agar jangan sampai mereka mengetahuimu." Kemudian saudara
perempuan Musa pergi dengan tenang. Akhirnya, ia mendengarkan kisah tentang
Musa secara sempurna. Ia melihat Musa dari kejauhan dan mendengarkan suara
tangisannya. Ia melihat mereka dalam keadaan kebingungan di mana mereka tidak
mengetahui bagaimana menyusuinya. Ia mendengar bahwa Musa menolak setiap wanita
yang mencoba menyusuinya.
Saudara
perempuan Musa berkata kepada para pengawal Fir'aun: "Apakah kalian mau
aku tunjukkan suatu keluarga yang dapat menyusuinya dan dapat
mengasuhnya." Istri Fir'aun menjawab: "Seandainya engkau dapat
membawa kepada kami wanita yang dapat menyusuinya dan dapat mengasuhnya niscaya
kami akan memberimu hadiah yang besar. Yakni sesuatu yang engkau inginkan akan
kami penuhi." Lalu saudara perempuan Musa itu kembali dan menghadirkan
ibunya. Si ibu menyusuinya dan Musa pun menyusu dengan tenang. Melihat hal itu,
istri Fir'aun sangat gembira dan berkata: "Bawalah dia sehingga masa
penyusuannya selesai, lalu kembalikanlah dia kepada kami dan kami akan
memberimu suatu balasan yang besar atas penyusuan dan pendidikan yang engkau
berikan."
Demikianlah
Allah SWT mengembalikan Musa kepada ibunya agar ia merasa gembira dan hatinya
menjadi tenang dan tidak bersedih serta agar ia mengetahui bahwa janji Allah
SWT benar dan bahwa perintah-Nya dan ketentuan-Nya pasti terlaksana meskipun
banyak rintangan dan tantangan. Allah SWT berfirman:
"Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya
hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan
hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). Dan
berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: 'Ikutilah dia.' Maka
helihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya, dam
Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya)
sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: 'Maukah kamu ahu tunjukkan kepadamu
ahlubait yang akan memeliharanya untukmu dan mereha dapat berlaku baik
kepadanya?'. Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan
tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." (QS. al-Qashash: 10-13)
Ibu Musa menyempurnakan penyusuan lalu
menyerahkannya ke rumah Fir'aun. Saat itu Musa disenangi dan disukai semua
orang. Allah SWT berfirman:
“Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang
datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku." (QS.Thaha: 39)
Tiada
seorang pun yang melihat Musa kecuali ia akan mencintainya. Musa dididik di
istana terbesar di bawah bimbingan dan penjagaan Allah SWT. Pendidikan Musa
dimulai di rumah Fir'aun di mana di dalamnya terdapat ahli pendidikan dan para
pengajar. Mesir saat itu merupakan negara yang besar di dunia dan Fir'aun
sebagai raja yang paling kuat. Karena itu, secara sederhana Fir'aun rnampu
mengumpulkan para pakar pendidikan dan para cendekiawan. Demikianlah hikmah
Allah SWT berkehendak agar Musa terdidik di bawah pendidikan yang besar dan
ditangani pakar-pakar pendidikan yang terlatih. Ironisnya, hal ini terjadi di
rumah musuhnya yang pada suatu hari nanti akan hancur di tangannya, sebagai bentuk
pelaksanaan dari perintah Allah SWT.
Musa
tumbuh di rumah Fir'aun. Beliau mempelajari ilmu hisab, ilmu bangunan, ilmu
kimia, dan bahasa. Beliau tidur di bawah bimbingan agama. Oleh karena itu, Musa
tidak mendengar omongan kosong yang dikatakan oleh pendidik tentang ketuhanan
Fir'aun. Jarang sekali ia mendengar bahwa Fir'aun adalah tuhan. Beliau pun
menepis pernyataan dan anggapan ini. Beliau tinggal bersama Fir'aun di satu
rumah. Beliau mengetahui lebih daripada orang lain bahwa Fir'aun hanya sekadar
manusia biasa tetapi ia orang yang lalim. Musa mengetahui bahwa ia bukanlah
anak dari Fir'aun. Beliau adalah salah seorang dari Bani Israil. Beliau
menyaksikan bagaimana pengawal-pengawal Fir'aun dan para pengikutnya menindas
Bani Israil. Akhirnya, Musa tumbuh besar dan mencapai kekuatannya.
Ketika
para pengawal lalai darinya, Musa memasuki kota. Musa berjalan-jalan di sekitar
kota. Kemudian Musa mendapati seorang lelaki dari pengikut Fir'aun yang sedang
berkelahi dengan seseorang dari Bani Israil. Lalu seseorang yang lemah dari
kedua orang itu meminta tolong kepadanya. Musa pun turut campur dalam urusan
itu. Musa mendorong dengan tangannya seorang lelaki yang berbuat aniaya itu.
Ternyata Musa membunuhnya. Saat itu Musa memang terkenal sebagai orang yang
kuat sampai pada batas di mana dengan sekali pukul saja untuk melerai musuhnya,
ia justru membunuhnya. Tentu Musa tidak sengaja untuk membunuh orang laki-laki
itu. Tetapi apa yang terjadi? Lelaki itu tersungkur dan kemudian mati. Musa
berkata kepada dirinya: Ini adalah perbuatan setan. Sesungguhnya ia adalah
musuh yang menyesatkan dan nyata. Kemudian Musa berdoa kepada Tuhannya dan
berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku maka
ampunilah aku." Allah SWT pun mengampuninya. Dia Maha Pengampun dan Maha
Penyayang. Allah SWT berfirman:
"Dan setelah Musa sudah cukup umur dan sempurna
akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah kenabian dan pengetahuan. Dan
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Musa
masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lemah, maka didapatinya di
dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari
golongannya (Bani Israil) dan seorang lagi dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka
orang yang dari golongannya meminta pertolongan darinya, untuk mengalahkan
orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa
berkata: 'Ini adalah perbuatan setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang
menyesatkan lagi nyata (permusuhannya). Musa berdoa: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.' Maka Allah
mengampuninya, sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Musa berkata: 'Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku,
aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang
berdosa.'" (QS. al-Qashash: 14-17)
Kemudian
Nabi Musa menjadi takut di tengah-tengah kota dan merasa terancam. Dalam ayat
itu digambarkan bagaimana Nabi Musa merasakan ketakutan di mana ia
mengkhawatirkan kejahatan akan datang padanya pada setiap langkahnya, dan ia
begitu sensitif melihat gerak-gerik di sekitarnya. Nabi Musa saat itu
menampakkan kegoncangan jiwa yang dahsyat. Sebenarnya Nabi Musa hanya ingin
mempertahankan dirinya saat menolong seseorang dari Bani Israil. Ketika itu
Nabi Musa mendorong dengan tangannya dan bertujuan meIblisahkan orang Mesir
dari orang Israil tetapi ia justru membunuhnya.
Dalam
undang-undang positif dinyatakan bahwa pembunuhan semacam ini dianggap sebagai
pembunuhan karena keteledoran atau karena kesalahan bukan karena faktor
kesengajaan sehingga karenannya yang bersangkutan tidak akan mendapatkan suatu
hukuman yang berat. Biasanya orang yang melakukan pembunuhan tanpa sengaja akan
mendapatkan keputusan yang meringankannya karena ia membunuh tanpa kesengajaan.
Tentu kejadian semacam ini tidak dapat dianggap sebagai pembunuhan dengan
sengaja karena yang bersangkutan tidak ingin mencelakakan orang lain. Nabi Musa
tidak memukul orang itu. Yang ia lakukan hanya mendorongnya. Atau dengan kata
lain, Nabi Musa hanya sekadar menyingkirkan orang tersebut. Kita akan
mengetahui bahwa Nabi Musa adalah cermin lain dari Nabi Ibrahim. Kedua-duanya
dari kalangan ulul azmi, tetapi Nabi Ibrahim adalah cermin kesabaran dan
kelembutan sementara Nabi Musa adalah cermin dari kekuatan dan keperkasaan.
Musa
menjadi takut dan terancam di tengah-tengah kota. Beliau berjanji di kemudian
hari bahwa beliau tidak akan lagi menjadi sahabat orang-orang yang berbuat
jahat. Beliau tidak akan lagi terlibat dalam pertengkaran dan permusuhan antara
sesama penjahat. Di tengah-tengah perjalanannya, Musa dikagetkan ketika melihat
orang yang ditolongnya kemarin saat ini lagi-lagi memanggilnya dan minta tolong
padanya. Lagi-lagi orang itu terlibat permusuhan dan pertengkaran dengan
seorang Mesir. Musa mengetahui bahwa orang Israil ini berbuat aniaya. Musa
mengetahui bahwa ia termasuk salah seorang preman di situ. Akhirnya, Musa
berteriak di depan wajah orang Israil itu sambil berkata: "Sungguh
ternyata engkau adalah orang yang jahat."
Musa
mengatakan demikian sambil mendorong keduanya dan ia melerai pertengkaran itu.
Orang Israil itu mengira bahwa Musa akan mencelakakannya maka ia diliputi rasa
takut. Sambil meminta kasih sayang kepada Musa, ia berkata: "Wahai Musa
apakah engkau akan membunuhku sebagaimana engkau membunuh orang yang kemarin.
Apakah engkau ingin menjadi seorang penguasa di muka bumi dan tidak ingin
menjadi orang yang memperbaiki bumi." Ketika mendengar orang Israil yang
mengatakan demikian, Musa berhenti dan amarahnya mereda. Musa mengingat apa
yang dilakukannya kemarin dan bagaimana ia meminta ampun dan bertaubat serta
berjanji untuk tidak menjadi pembantu orang-orang yang berbuat jahat. Musa
kemudian kembali dan meminta ampun kepada Tuhannya.
Orang
Mesir yang berkelahi dengan orang Israil itu mengetahui bahwa Musa adalah
pembunuh orang Mesir yang mayatnya mereka temukan kemarin. Petugas keamanan
Mesir tidak berhasil menyingkap kasus pembunuhan itu. Akhirnya, rahasia Musa
tersingkap lalu seorang lelaki Mesir yang beriman datang dari penjuru kota. Ia
membisikkan kepada Musa bahwa ada suatu rencana untuk membunuhnya. Ia
menasehati Musa agar meninggalkan Mesir secepatnya.
Allah SWT berfirman:
"Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut
menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), maka tiba-tiba orang
yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa
berkata kepadanya: 'Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang sesat yang nyata
(kesesatannya). Maka tat-kala Musa memegang dengan keras orang yang menjadi
musuh keduanya, musuhnya berkata: 'Hai Musa apakah kamu bermaksud untuk
membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tida
bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri
(ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang
mengadakan perdamaian.' Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota
tergesa-gesa seraya berkata: 'Hai Musa, sesungguhnya pembesar sedang berunding
tentang kamu. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat
kepadamu.'" (QS.
al-Qashash: 18-20)
Allah
menyembunyikan kepada kita nama laki-laki yang datang mengingatkan Musa itu.
Tetapi menurut hemat kami, ia adalah seorang lelaki Mesir yang tentu meiliki
jabatan penting. Sesuai dengan ayat tersebut, ia mengetahui adanya
persengkongkolan untuk menyingkirkan Musa dari kedudukan yang tinggi.
Seandainya ia orang yang biasa-biasa saja maka orang itu tidak mengenalnya.
Orang itu mengetahui bahwa Musa tidak berhak untuk mendapatkan hukum bunuh atas
dosanya. Musa membunuh karena faktor kesalahan, bukan karena faktor
kesengajaan. Kesalahan semacam itu menurut undang-undang Mesir yang dahulu
dihukum dengan penjara. Lalu, mengapa timbul keinginan untuk membunuh Musa?
Kalau kita memperhatikan nasihat orang Mesir itu ter-hadap Musa maka kita akan
menemukan jawabannya. Yaitu perkataannya: "Para pembesar merencanakan
persekongkolan untuk menyingkirkanmu."
Al-Mala'
adalah para penguasa atau para pembesar yang bertanggung jawab pada keamanan.
Mereka menyiapkan persekongkolan untuk menyingkirkan Musa. Apa yang dilakukan
oleh Musa— kalau memang dianggap sebagai suatu kesalahan—adalah kejahatan biasa
yang hanya dituntut dengan hukuman penjara. Lalu siapakah yang membuat rencana
yang demikian, dan siapakah yang mendorong untuk melakukan persekongkolan untuk
membunuhnya? Kami kira bahwa kepala keamanan Mesir tidak menyukai Musa. Ia
mengetahui bahwa Musa adalah anggota Bani Israil. Ia mengetahui bahwa sampainya
peti di istana Fir'aun merupakan suatu rekayasa yang dirancang oleh
musuh-musuhnya yang menginginkan kedudukannya. Ini berarti karena
keteledorannya dan ketelodaran anak-anak buahnya. Berapa kali orang itu
menasihati dan menganjurkan agar Musa dibunuh tetapi Fir'aun justru menampik
pikiran itu. Dan ketika datang saat yang ditentukan untuk membunuh Musa,
Fir'aun justru tunduk terhadap istrinya yang sangat mencintai Musa.
Akhirnya,
kesempatan emas ada di depannya. Para pembantunya mengatakan kepadanya bahwa
Musalah yang membunuh orang Mesir yang mereka temukan jasadnya kemarin.
Selesailah urusan ini. Kemudian datanglah perintah dan kesempatan untuk
membunuh Musa. Orang-orang yang membenci Musa mulai mendapatkan angin
kegembiraan di mana mereka akan melihat Musa terbunuh, tetapi Allah SWT mengirim
seorang Mesir yang baik untuk mengingatkan Musa agar berlari dari kejaran
orang-orang yang lalim.
Allah SWT berfirman:
"Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut
menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: 'Ya Tuhanku, selamatkanlah aku
dari orang-orang yang lalim itu.'" (QS. al-Qashash: 21)
Musa
meninggalkan kota dan menjadi orang yang terusir. Musa segera keluar dalam
keadaan takut dan sambil waspada Musa selalu berdoa dalam hatinya: "Ya
Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang lalim." Kaum itu memang
benar-benar orang-orang yang lalim. Mereka ingin menerapkan hukuman bagi
pembunuh dengan sengaja atas Musa, padahal Musa tidak melakukan selain berusaha
meIblisahkan orang yang berkelahi tetapi dengan tidak sengaja ia membunuhnya.
Musa segera keluar dari Mesir. Beliau tidak lagi pergi ke istana Fir'aun dan
tidak mengganti pakaiannya, dan beliau tidak membawa makanan untuk perjalanan.
Beliau tidak membawa binatang tunggangan yang dapat mengantarkannya. Beliau
tidak pergi bersama suatu kafilah. Beliau langsung pergi ketika mendapatkan
kabar dari seorang mukmin yang mengingatkannya dari ancaman Fir'aun.
Musa
melalui jalan yang tidak lazim dilalui orang biasa. Musa memasuki gurun dan ia
menuju ke suatu tempat yang di situ Allah SWT membimbingnya. Ini adalah pertama
kalinya beliau keluar dan mengarungi gurun pasir sendirian. Kemudian sampailah
Musa di suatu tempat yang bernama Madyan. Musa istirahat dan duduk-duduk di
dekat sumur yang besar di mana di situ orang-orang mengambil air untuk memberi minum
kepada binatang-binatang tunggangan mereka dan binatang-binatang gembalaan
mereka. Musa tidak membawa makanan selain daun-daun pohon. Musa minum dari
sumur-sumur yang ditemukannya di tengah jalan. Sepanjang peijalanan Musa
merasakan ketakutan; jangan-jangan Fir'aun mengirim orang untuk menangkapnya.
Ketika Musa sampai di kota Madyan Musa berbaring di sisi pohon dan istirahat.
Musa merasa lapar dan keletihan. Sandal yang dipakainya tampak mulai rusak.
Beliau tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli sandal baru, dan beliau
juga tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli makanan dan minuman.
Nabi
Musa memperhatikan kumpulan pengembala yang sedang mengambil air untuk
kambing-kambing mereka. Musa ingat bahwa ia sedang lapar dan haus. Ia berkata
dalam dirinya: Aku tidak dapat memenuhi perutku dengan air selama aku tidak
memiliki uang yang cukup untuk membeli makanan. Musa berjalan menuju tempat
air. Sebelum sampai, ia mendapati dua orang perempuan yang sedang menyendirikan
kambing-kambingnya agar jangan sampai tercampur dengan kambing orang lain.
Melalui ilham, Musa merasa bahwa kedua wanita itu membutuhkan pertolongan. Musa
lupa terhadap rasa hausnya, lalu beliau menuju ke arah mereka dan bertanya,
apakah ia dapat membantu mereka? Lalu seorang gadis yang paling tua berkata:
"Kami menunggu sampai selesainya para gembala itu mengambil air untuk
binatang gembalaan mereka." Musa bertanya: "Mengapa kalian tidak
mengambil air sekarang?" Gadis yang paling kecil berkata: "Kami tidak
mampu untuk berdesak-desakan dengan kaum pria." Nabi Musa keheranan karena
mengetahui kedua gadis itu menggembala kambing. Seharusnya yang mengembala
kambing adalah kaum pria. Ini adalah tugas yang berat dan sangat melelahkan.
Musa bertanya: "Mengapa kalian mengembala kambing?" Masih kata gadis
yang paling kecil: "Orang tua kami sudah tua di mana kesehatannya tidak
dapat membantunya untuk keluar dari rumah dan mengembala kambing setiap
hari." Musa berkata: "Kalau begitu, aku akan membantu kalian untuk
mengambil air tersebut."
Musa
berjalan menuju tempat air. Musa mengetahui bahwa para pengembala meletakkan di
atas bibir air suatu batu besar yang tidak bisa digerakkan kecuali oleh sepuluh
orang. Musa merangkul dan mengangkatnya dari bibir sumur. Otot-otot Musa tampak
menonjol saat memindahkan batu itu. Musa adalah seorang lelaki yang kuat.
Akhirnya, Musa berhasil mengambilkan air bagi remaja putri itu, dan kemudian ia
mengembalikan batu itu ke tempatnya. Musa kembali duduk di bawah naungan pohon.
Saat itu Musa lupa untuk minum. Perut Musa menempel ke punggungnnya karena
saking laparnya. Musa mengingat Allah SWT dan memanggil-Nya dalam hatinya:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu
kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (QS. al-Qashash: 24)
"Dan tatkala ia menghadap ke jurusan negeri Madyan ia
berdoa (lagi): 'Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar.' Dan
tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan
orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak
itu, dua orang wanita yang sedang menambat (ternaknya) Musa berkata: 'Apakah
maksudmu (dengan berbuat begitu)?' Kedua wanita itu menjawab: 'Kami tidak dapat
meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan
(ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.'
Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia
kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat
memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.'"
(QS. al-Qashash: 22-24)
Marilah
kita tinggakan sejenak Nabi Musa yang sedang duduk di bawah naungan pohon untuk
kemudian kita melihat apa yang terjadi pada kedua gadis itu. Kedua gadis itu
kembali ke rumah ayahnya. Si ayah bertanya: "Hari ini kalian kembali lebih
cepat dari biasanya?"
Gadis yang paling tua berkata:
"Sungguh hari ini kami sangat beruntung. Wahai ayah, kami bertemu dengan
seorang lelaki yang mulia yang mengambilkan air bagi hewan kami sebelum
orang-orang lain mengambilnya."
Si ayah berkata:
"Alhamdulilah."
Gadis yang paling kecil berkata:
"Saya kira wahai ayahku dia datang dari tempat yang jauh dan tampak ia
sedang lapar. Saya melihat dia dalam keadaan kecapaian meskipun ia seorang
lelaki yang kuat."
Si ayah berkata kepada anak perempuannya:
“Pergilah engkau padanya dan katakan, sesungguhnya ayahku memanggilmu untuk
memberimu upah atas jasamu mengambilkan air untukku.”
Kemudian
anak perempuan itu pergi menemui Musa dalam keadaan hatinya berdebar-debar.
Perempuan itu berdiri di depan Musa dan menyampaikan surat dari ayahnya. Musa
bangkit dari tempat duduknya dan pandangannya tertuju ke bawah. Musa tidak
bermaksud mengambilkan air untuk mereka dengan tujuan mengharapkan upah dari
mereka. Beliau membantu mereka hanya semata-mata karena Allah SWT. Beliau
merasakan dalam dirinya bahwa Allah SWT-lah yang mengarahkan beliau untuk
membantu mereka.
Gadis
itu berjalan di depan Musa kemudian bertiuplah angin dan menyentuh pakaiannya
sehingga Musa menundukkan pandangan matanya karena merasa malu. Musa berkata
kepadanya: "Saya akan berjalan di depanmu dan tunjukkanlah jalan
kepadaku." Mereka pun sampai di kediaman si ayah. Sebagian ahli tafsir
mengatakan bahwa si ayah ini adalah Nabi Syu'aib. Beliau memperoleh usia yang
panjang setelah kematian kaumnya. Ada juga yang mengatakan bahwa si ayah adalah
putra dari saudara Syu'aib. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah anak dari
pamannya, dan ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah seorang lelaki mukmin
dari kaumnya. Yang jelas, ia adalah seorang tua yang saleh. Orang tua itu
menghidangkan kepada Nabi Musa makanan siang dan bertanya kepadanya dari mana
ia datang dan kemudian ke mana ia akan pergi.
Musa
mengungkapkan ceritanya. Orang tua itu berkata kepadanya, jangan khawatir dan
jangan takut. Engkau akan selamat dari orang-orang yang lalim. Negeri ini tidak
tunduk pada Mesir dan mereka tidak akan sampai di sini. Mendengar ucapan itu,
Musa
menjadi tenang dan bangkit untuk pergi. Salah seorang anak perempuan itu
berkata kepada ayahnya dengan berbisik: "Wahai ayahku, berilah dia upah,
Sesungguhnya engkau akan memberikan upah kepada seorang yang kuat dan jujur.”
Si ayah bertanya kepadanya:
"Bagaimana engkau mengetahui dia seorang lelaki yang kuat?"
Anak perempuannya menjawab: "Saya
lihat sendiri ia mengangkat batu yang tidak mampu diangkat oleh sepuluh orang
lelaki."
Si ayah bertanya lagi: "Bagaimana
engkau mengetahui bahwa dia seseorang yang jujur."
Perempuan itu menjawab: "Ia
menolak untuk berjalan di belakangku dan ia berjalan di depanku sehingga ia
tidak melihatku saat aku berjalan, dan selama perjalanan saat aku
berbincang-bincang padanya, dia selalu menundukkan matanya ke tanah sebagai
rasa malu dan adab yang baik darinya."
Kemudian
orang tua itu memandangi Musa dan berkata padanya: "Wahai Musa, aku ingin
menikahkanmu dengan salah satu putriku. Dengan syarat, hendaklah engkau bekerja
mengembala kambing bersamaku selama delapan tahun. Seandainya engkau
menyempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah kemurahan darimu. Aku tidak ingin
menyusahkannmu. Sungguh insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang saleh." Musa berkata: "Ini adalah kesepakatan antar
aku dan engkau dan Allah SWT sebagai saksi atas kesepakatan kita, baik aku
melaksanakan pekerjaan selama delapan tahun maupun sepuluh tahun. Setelah itu,
aku bebas untuk pergi kemana saja."
Allah SWT berfirman:
"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari
kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: 'Sesungguhnya bapakku
memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan) mu memberi minum
(ternak) kami.' Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan
menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: 'Janganlah
kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang lalim itu.' Salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: 'Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.
Berkatalah dia (Syu'aib): 'Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan
salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku
delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu
kebaikkan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.' Dia (Musa) berkata: 'Itulah
(perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan
itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan
Allah adalah saksi atas apa yang aku ucapkan.'"
(QS. al-Qashash: 25-28)
Ketika
sampai pada kisah ini, banyak pena bertebaran untuk mendapatkan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang mencoba menerobos kesamaran. Mereka bertanya tentang
anak perempuan yang menikahi Musa: apakah anak perempuan yang paling besar
ataukah anak perempuan yang paling kecil, dan Musa memilih masa bekerja delapan
tahun atau sepuluh tahun. Bahkan mereka menyampaikan berbagai macam riwayat dan
kisah yang mereka yakini kebenarannya. Kami sendiri meyakini bahwa Musa menikah
dengan salah satu anak perempuan dari orang tua itu tetapi kita tidak
mengetahui siapa dia dan siapa namanya. Kami meyakini bahwa beliau menikah
dengan gadis yang memanggilnya untuk menemui ayahnya. Kemudian gadis itulah
yang menganjurkan ayahnya agar memberikan upah padanya.
Al-Qur'an
al-Karim melalui konteks ayatnya menyingkap bentuk kekaguman yang tersembunyi
di balik gadis itu terhadap Musa. Barangkali orang tuanya mengetahui bahwa anak
perempuannya menaruh rasa cinta kepada Musa, dan boleh jadi ketika berbicara
tentang pernikahan kepada Musa, ia menyerahkan sepenuhnya kebebasan Musa untuk
memilih. Mungkin Musa memilih sendiri gadis mana yang diminatinya. Tetapi,
siapa gadis yang dipilih oleh Musa: apakah gadis yang paling tua atau gadis
yang paling kecil? Yang jelas Al-Qur'an tidak menyebutkan hal tersebut,
meskipun ia hanya memberikan isyarat kepadanya dalam firman-Nya:
"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari
kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan." (QS. al-Qashash: 25)
Begitu juga Al-Qur'an al-Karim tidak
menyebutkan waktu yang dihabiskan oleh Musa saat ia bekerja: apakah sepuluh
tahun atau beliau merasa cukup dengan delapan tahun. Kami sendiri meyakini
sesuai dengan kebiasaan Musa dan kemurahannya serta kenabiannya serta
kedudukannya sebagai salah satu nabi ulul azmi bahwa beliau memilih masa yang
paling lama, yaitu sepuluh tahun. Pendapat itu juga didukung oleh hadis Ibnu
Abas.
Demikianlah
Nabi Musa mengabdi kepada orang tua itu selama sepuluh tahun penuh. Pekerjaan
Nabi Musa terbatas pada keluar dari rumah di waktu pagi untuk mengembala
kambing. Kami kira bahwa sepuluh tahun masa yang dihabiskan oleh Nabi Musa di
Madyan merupakan suatu ketentuan yang dirancang oleh Allah SWT. Musa
berdasarkan agama Yakub. Kakek beliau adalah Yakub dan Yakub sendiri adalah
cucu dari Ibrahim. Dengan demikian, Musa adalah cucu dari Ibrahim dan setiap
nabi yang datang setelah Ibrahim berasal dari sulbinya. Maka dari sini kita
memahami bahwa Musa berada di atas agama ayah-ayahnya dan kakek-kakeknya.
Nabi
Musa berdasarkan Islam dan agama tauhid. Nabi Musa menghabiskan masa sepuluh
tahun itu dalam keadaan jauh dari kaumnya dan keluarganya. Masa sepuluh tahun
ini adalah masa yang paling penting dalam kehidupannya. Ia merupakan masa
persiapan yang besar. Pada setiap malam Musa merenungkan bintang-bintang. Musa
mengikuti terbitnya matahari dan tenggelamnya. Pada setiap siang Musa
memikirkan tumbuh-tumbuhan: bagaimana ia membelah tanah dan mekar. Musa
memperhatikan air: bagaimana ia menghidupkan bumi setelah bumi itu mati, lalu
bumi itu menjadi tempat yang indah dan subur. Musa memperhatikan alam vang luas
dan ia tampak tercengang dan kagum dengan ciptaan Allah SWT.
Sebenarnya
pemikiran-pemikiran dan perenungan-perenungan tersebut jauh-jauh hari sudah
tersembunyi di dalam dirinya dan menetap di dalam jiwanya. Bukankah Musa telah
terdidik di istana Fir'aun. Ini berarti bahwa beliau menjadi seorang Mesir yang
mempunyai wawasan yang luas; orang Mesir yang menunjukkan kekuatan fisiknya;
orang Mesir dengan segala makanannya dan minumannya. Jadi, segala hal yang ada
pada Musa berbau Mesir. Musa siap-siap untuk menerima wahyu Ilahi dari bentuk
yang baru. Yaitu wahyu Ilahi yang langsung datang tanpa perantara seorang
malaikat di mana Allah SWT akan berbicara dengannya tanpa perantara.
Oleh
karena itu, sebelum datangnya wahyu itu perlu adanya persiapan mental dan
moral, sedangkan persiapan fisik telah selesai dilaluinya di Mesir. Musa tumbuh
di istana yang paling besar vang dimiliki penguasa di bumi dan di suatu
pemerintahan yang paling kaya di bumi. Musa menjadi seorang pemuda yang kuat di
mana hanya sekadar meIblisahkan seseorang yang berkelahi, ia justru
membunuhnya. Setelah persiapan fisik yang sangat kuat, kini Musa harus melewati
persiapan mental yang seimbang. Yaitu persiapan yang dilakukan melalui
pengasingan yang sempurna di mana beliau hidup di tengah-tengah gurun dan
tempat pengembalaan yang beliau belum pernah menginjakkan kakinya di sana.
Beliau hidup di tengah-tengah orang asing yang belum pernah beliau lihat
sebelumnya.
Sering
kali Musa mendapatkan kesunyian dan keheningan di balik pengasingan itu. Allah
SWT mempersiapkan hal tersebut kepada nabi-Nya agar setelah itu beliau mampu
memegang amanat yang besar dari Allah SWT. Datanglah suatu hari atas Musa.
Selesailah masa yang ditentukan. Kemudian Musa merasakan kerinduan untuk
kembali ke Mesir. Dengan berlalunya waktu, hukuman yang harus dijalaninya
dengan sendirinya gugur. Musa mengetahui hal itu, tetapi beliau juga mengetahui
bahwa undang-undang di Mesir sebenarnya terletak pada kekuatan penguasa; jika
penguasa berkehendak maka Musa dapat menerima hukuman dan jika tidak
berkehendak maka dia akan memaafkannya, meskipun yang bersangkutan berhak
mendapatkan hukuman. Alhasil, Musa menyadari hal itu, Musa tidak sepenuhnya
yakin ia akan selamat ketika beliau menginjakkan kakinya di Mesir seperti
keyakinannya bahwa beliau selamat di tempatnya sekarang. Meskipun demikian,
rasa rindunya untuk melakukan perjalanan kembali ke tempatnya mendorong Musa
segera menuju ke Mesir. Musa tepat mengambil keputusan.
Musa
berkata kepada istrinya: "Besok kita akan memulai perjalanan ke
Mesir." Istrinya berkata dalam dirinya: "Di dalam perjalanan terdapat
seribu macam bahaya tetapi ketenangan tetap menghiasai wajah Musa." Istri Musa
tetap taat kepada Musa. Nabi Musa sendiri tidak mengetahui rahasia tentang
keputusannya yang cepat untuk kembali ke Mesir setelah sepuluh tahun beliau
pergi melarikan diri, lalu mengapa sekarang ia kembali ke sana? Apakah beliau
rindu kepada ibunya dan saudaranya? Apakah beliau berpikir untuk mengunjungi
istri Fir'aun yang telah mendidiknya layaknya ibunya dan sangat mencintainya
layaknya ibunya sendiri? Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang
terlintas dalam diri Musa saat beliau berkeinginan untuk kembali ke Mesir.
Hanya saja, yang kita ketahui bahwa Nabi Musa terbimbing dengan
ketetapan-ketetapan Ilahi sehingga beliau tidak melangkahkan kakinya kecuali
berdasarkan ketetapan tersebut.
Musa
keluar bersama keluarganya dan melakukan perjalanan. Bulan bersembunyi di balik
gumpalan awan yang tebal, dan kegelapan rnenyelimuti sana-sini. Sementara itu,
petir menyambar sangat keras dan langit menurunkan hujan. Cuaca tampak tidak
bersahabat. Di tengah-tengah perjalanannya, Musa tersesat. Musa mendapatkan dua
potongan batu kemudian beliau memukulkan kedua-nya dan menggesek-gesekan
keduanya agar mendapatkan api darinya sehingga beliau dapat berjalan. Tetapi
sayang, beliau tidak mampu melakukan hal itu. Angin yang bertiup kencang
memadamkan api kecil itu.
Nabi
Musa berdiri dalam keadaaan bingung dan tubuhnya tampak menggigil di
tengah-tengah keluarganya. Kemudian Nabi Musa mengangkat kepalanya dan
menyaksikan sesuatu dari jauh. Sesuatu yang beliau saksikan adalah api yang
sangat besar yang menyala-nyala dari kejauhan. Maka hati Musa dipenuhi dengan
rasa gembira. Ia berkata kepada keluarganya: "Aku melihat api di
sana." Lalu beliau memerintahkan kepada mereka untuk tinggal di tempatnya
sehingga beliau pergi ke api itu. Barangkali di sana beliau mendapatkan suatu
berita atau akan menemukan seseorang yang dapat memberinya petunjuk sehingga
beliau tidak tersesat, atau beliau dapat membawa sebagian api yang menyala
sehingga tubuh mereka menjadi hangat.
Keluarganya
melihat api yang diisyaratkan oleh Musa tetapi sebenarnya mereka tidak melihat
sesuatu pun. Mereka tetap menaatinya dan duduk sambil menunggu kedatangan Musa.
Musa bergerak menuju ke tempat api. Musa segera berjalan untuk menghangatkan
tubuhnya, sementara tangan kanannya memegang tongkatnya dan tubuhnya tampak
basah kuyup karena hujan. Nabi Musa tetap berjalan sampai ia mencapai suatu
lembah yang bernama Thua'. Beliau menyaksikan sesuatu yang unik di lembah ini.
Di lembah itu tidak ada rasa dingin dan tidak ada angin yang bertiup. Yang ada
hanya keheningan. Nabi Musa mendekati api. Belum lama beliau mendekatinya
sehingga beliau mendengar suara panggilan:
"Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah
dia: 'Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dekat api itu, dan
orang-orang yang berada di sekitarnya. Dan Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam." (QS. an-Naml: 8)
Tiba-tiba
Nabi Musa berhenti dan badannya menggigil. Suara itu tampak terdengar dan
datang dari segala tempat dan ddak berasal dari tempat tertentu. Musa melihat
api dan beliau kembali merasa menggigil. Beliau mendapati suatu pohon hijau
dari duri dan setiap kali pohon itu terbakar dan berkobar api darinya maka
pohon itu justru semakin hijau. Seharusnya pohon itu berubah warnanya menjadi
hitam saat terbakar, tetapi anehnya api justru meningkatkan warna hijaunya.
Musa tetap menggigil meskipun beliau merasakan kehangatan dan tampak mulai
berkeringat.
Lembah
yang di situ Musa berdiri adalah lembah Thua'. Musa meletakkan kedua tangannya
di atas kedua matanya karena saking dahsyatnya cahaya. Beliau melakukan yang
demikian itu sebagai usaha untuk melindungi kedua matanya. Kemudian Musa
bertanya dalam dirinya: Ini cahaya atau api? Tiba-tiba beliau tersungkur ke
tanah sebagai wujud rasa takut, lalu Allah SWT memanggil:
"Wahai Musa." (QS. Thaha: 11)
Musa mengangkat kepalanya dan berkata:
"Ya."
Allah berkata:
"Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu."
(QS. Thaha: 12)
Musa semakin menggigil dan berkata:
"Benar wahai Tuhanku."
Allah SWT berkata: "Maka
lepaskanlah kedua sandalmu sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci yang
bernama Thua'." Musa tertunduk dan rukuk sementara tubuhnya tampak gemetar
dan beliau mulai melepas sandalnya, Allah SWT berkata: “Maka tinggalkanlah kedua
terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa'. " (QS. Thaha: 12)
Musa rukuk dan melepas kedua sandalnya.
Kemudian Allah SWT kembali berkata:
"Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa
yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada
Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk
mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan
(waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang diusahahan.
Maka sehali-kali janganlah kamu dipalingkan darinya oleh orangyang tidak beriman
kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu
binasa." (QS. Thaha: 13-16)
Musa semakin gemetar saat beliau
menerima wahyu Ilahi dan saat berdialog dengan Allah SWT. Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang berkata:
"Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai
Musa?" (QS. Thaha: 17)
Bertambahlah keheranan Nabi Musa. Allah
SWT adalah Zat yang mengajaknya berbicara dan tentu Dia lebih mengetahui
daripada Musa tentang apa yang dipegangnya, lalu mengapa Allah SWT bertanya
kepadanya jika memang Dia lebih mengetahui darinya. Tak ragu lagi bahwa di sana
ada hikmah yang tinggi. Musa menjawab pertanyaan itu dengan suaranya yang
tampak mengigigil:
"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku
pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain
padanya." (QS. Thaha: 18)
Allah berfirman:
"Lemparkanlah ia, hai Musa!"
(QS. Thaha: 19)
Musa melemparkan tongkatnya dari
tangannya dan rasa herannya semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba Musa dikagetkan
ketika melihat tongkat itu menjadi ular yang besar. Ular itu bergerak dengan
cepat. Musa tidak mampu lagi menahan rasa takutnya. Musa merasa tubuhnya
bergetar karena rasa takut. Musa membalikkan tubuhnya karena takut dan ia mulai
lari. Belum lama ia lari, belum sampai dua langkah, Allah SWT memanggilnya:
"Hai Musa, janganlah kamu takut, sesungguhnya orang
yang menjadikan rasul, tidak takut di hadapanku. " (QS. an-Naml: 10)
"Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu
takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman. " (QS. al-Qashash: 31)
Musa kembali memutar badannya dan
berdiri. Tongkat itu tampak bergerak dan ular itu pun tetap bergerak. Allah SWT
berkata kepada Musa:
"Peganglah ia dan janganlah takut, Kami akan
mengembalikannya kepada keadaannya semula. " (QS. Thaha: 21)
Musa mengulurkan tangannya ke ular itu
dalam keadaan menggigil. Musa belum sempat menyentuhnya sehingga ular itu
menjadi tongkat. Demikianlah perintah Allah SWT terjadi dengan cepat. Kemudian
Allah SWT memerintahkan kepadanya:
"Masukanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia
keluar putih tidak bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua
tanganmu (ke dada)mu bila ketakutan. " (QS. al-Qashash: 32)
Musa meletakkan tangannya di kantongnya
lalu ia mengeluarkannya dan tiba-tiba tangan itu bersinar bagaikan bulan.
Kembali rasa kagum Musa bertambah. Lalu ia meletakkan tangannya di dadanya
sebagaimana diperintahkan Allah SWT padanya sehingga rasa takutnya benar-benar
hilang.
Musa
merasa tenang dan terdiam. Kemudian Allah SWT memerintahkan kepadanya—setelah
beliau melihat kedua mukjizat ini, yaitu mukjizat tangan dan mukjizat
tongkat—untuk pergi menemui Fir'aun dan berdakwah kepadanya dengan penuh
kelembutan dan kasih sayang dan Allah SWT memerintahkan kepadanya untuk
mengeluarkan Bani Israil dari Mesir. Musa menampakkan rasa takutnya kepada
Fir'aun. Musa berkata bahwa ia telah membunuh seseorang di antara mereka dan
beliau khawatir mereka akan membunuhnya dan membalasnya. Musa meminta kepada
Allah SWT dan memohon kepada-Nya agar mengirim saudaranya Harun bersamanya.
Allah SWT menenangkan Musa dengan mengatakan bahwa Dia akan selalu bersama
mereka berdua. Dia mendengar dan menyaksikan gerak-gerik dan perbuatan mereka.
Meskipun Fir'aun terkenal dengan kejahatannya dan kekuatannya, namun kali ini
Fir'aun tidak akan mampu mengganggu atau menyakiti mereka. Allah SWT
memberitahu Musa bahwa Dia-lah yang akan menang. Musa berdoa dan memohon kepada
Allah SWT agar melapangkan hatinya dan memudahkan urusannya serta memberinya
kekuatan dalam berdakwah di jalan-Nya.
Allah SWT berfirman:
"Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa ? Ketika ia
melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: 'Tinggallah kamu (di sini),
sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit darinya
kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu. Maka ketika ia
datang ke tempat api itu ia dipanggil: Hai Musa, sesungguhnya Aku adalah
Tuhanmu. Maka tinggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di
lembah yang suci, Thuwa'. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa
yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada
Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk
mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan
(waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang diusahakan.
Maka sekali-kali janganlah kamu kamu dipalingkan darinya oleh orang yang tidak
beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan
kamu binasa. Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musaf'Ini adalah
tongkatku, aku bertelehan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk
kambinghu, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.' Allah berfirman:
Lemparkanlah ia, hai Musa!' Lalu dilemparkanlah tongkat itu, maka tiba-tiba ia
menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Peganglah ia dan janganlah
takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, dan kepitkanlah
tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacat,
sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian
dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar. Pergilah kepada Fir'aun;
sesungguhnya ia telah melam-paui batas. Berkata Musa: 'Ya Tuhanku, lapangkanlah
untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari
lidahhu, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang
pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia
kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak
bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau
adalah Maha Melihat (keadaan) kami.' Allah berfirman: 'Sesungguhnya telah
diperkenankan permintanmu, hai Musa.' Dan sesungguhnya Kami telah memberi
nikmat kepadamu pada kali yang lain, yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada
ibumu suatu yang diilhamkan, yaitu: Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti,
kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke
tepi, supaya diambil oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya.' Dan Aku telah
melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh
di bawah pengawasan-Ku. (Yaitu) ketika saudammu yang perempuan berjalan, lalu
ia berkata kepada (keluarga Fir'aun): 'Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang
yang akan memeliharanya?' Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang
hatinya dan tidak berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu
Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa
cobaan; maka kamu tinggal beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian
kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa, dan Aku telah memilihmu
untuk diri-Ku. " (QS. Thaha: 9-41)
Kita
tidak mengetahui apa yang kita akan katakan dan apa yang kita komentari berkaitan
dengan firman Allah SWT kepada salah seorang hamba-Nya: "Dan Aku telah
memilihmu untuk diri-Ku." Allah SWT telah memilih Musa. Itu adalah salah
satu puncak kemuliaaan di mana tidak ada seseorang pun di zaman itu yang mampu
mencapainya selain Musa. Nabi Musa kembali untuk menemui keluarganya setelah
Allah SWT memilihnya sebagai Rasul atau utusan untuk berdakwah ke Fir'aun.
Akhirnya, Nabi Musa beserta kaluarganya berjalan menuju ke Mesir. Hanya Allah
SWT yang mengetahui pikiran-pikiran apa yang terlintas di dalam diri Musa saat
beliau mengayunkan langkahnya menuju ke Mesir.
Selesailah
masa-masa perenungan dan dimulailah hari-hari kedamaian dan kebahagiaan, dan
akhirnya datanglah hari-hari yang sulit. Demikianlah Nabi Musa memikul amanat
kebenaran dan pergi untuk menyampaikannya kepada salah satu penguasa yang
paling bengis dan paling kejam dan paling jahat di zamannya. Nabi Musa
mengetahui bahwa Fir'aun adalah orang yang jahat. Fir'aun akan berusaha
memberhentikan langkah dakwahnya dan Fir'aun akan menentangnya tetapi Allah SWT
memerintahkannya untuk pergi ke Fir'aun dan berdakwah kepadanya dengan
kelembutan dan kasih sayang. Allah SWT mewahyukan kepada Musa bahwa Fir'aun
tidak akan beriman tetapi Nabi Musa tidak peduli dengan hal itu. Beliau
diperintahkan untuk melepaskan Bani Israil yang sedang disiksa oleh Fir'aun.
Allah SWT berkata kepada Musa dan
Harun:
"Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dan
katakanlah: 'Sesungguhnya kdmi berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah
Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka." (QS. Thaha: 47)
Inilah
tugas yang ditentukan, yaitu tugas yang akan berbenturan dengan ribuan
tantangan. Fir'aun menyiksa Bani Israil dan menjadikan mereka budak-budak dan
memaksa mereka untuk bekerja di luar kemampuan mereka. Fir'aun juga menodai
kehormatan wanita-wanita mereka dan menyembelih anak laki-laki mereka. Nabi
Musa mengetahui bahwa rezim Mesir berusaha untuk memperbudak Bani Israil dan
mengeksploitasi mereka di luar kemampuan mereka demi kepentingan penguasa.
Tetapi Nabi Musa tetap memperlakukan dan menghadapi Fir'aun dengan penuh
kelembutan dan kasih sayang sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT
padanya:
"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia
telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (QS. Thaha: 43-44)
Musa
bercerita kepada Fir'aun tentang siapa sebenarnya Allah SWT, tentang
rahmat-Nya, tentang surga-Nya, dan tentang kewajiban mengesakan-Nya dan
menyembah-Nya. Beliau berusaha mem-bangkitkan aspek-aspek kemanusiaan Fir'aun
melalui pembicaraan tersebut. Fir'aun mendengarkan apa yang dikatakan oleh Musa
dengan penuh kebosanan. Fir'aun membayangkan bahwa seseorang yang di hadapannya
adalah orang gila yang nekad untuk menentang dan menggoyang kedudukannya.
Kemudian Fir'aun mengangkat tangannya dan berbicara: "Apa yang engkau
inginkan, hai Musa?" Musa menjawab: "Aku ingin agar engkau
membebaskan Bani Israil." Fir'aun bertanya: "Mengapa aku harus membebaskan
mereka bersamamu sementara mereka adalah budak-budakku?" Musa menjawab:
"Mereka adalah hamba-hamba Allah SWT, Tuhan Pengatur alam semesta."
Dengan nada mengejek Fir'aun bertanya: "Bukankkah engkau mengatakan bahwa
namamu Musa?" Musa menjawab: "Benar." Fir'aun berkata:
"Bukankkah engkau yang kami temukan di sungai Nil saat engkau masih kecil
yang tidak mempunyai daya dan kekuatan? Bukankkah engkau Musa yang aku didik di
istana ini, lalu engkau memakan makanan kami dan meminum air kami, dan engkau
menikmati kebaikan-kebaikan dari kami? Bukankah engkau yang membunuh seseorang
lalu setelah itu engkau lari? Tidakkah engkau ingat semua itu? Bukankah mereka
mengatakan bahwa pembunuhan merupakan suatu kekufuran? Kalau begitu, engkau
seorang kafir dan engkau seorang pembunuh. Jadi engkau adalah Musa yang lari
dari hukum Mesir. Engkau adalah seseorang yang lari dan menghindari keadilan.
Lalu sekarang engkau datang kepadaku dan berusaha berbicara denganku. Engkau
berbicara tentang apa hai Musa. Sungguh aku telah lupa."
Musa
mengerti bahwa Fir'aun mengingatkan padanya tentang masa lalunya dan Fir'aun
berusaha menunjukkan kepadanya bahwa ia telah mendidiknya dan berlaku baik
padanya. Musa juga memahami bahwa Fir'aun mengancamnya dengan pembunuhan. Musa
memberitahu Fir'aun, bahwa ia bukan seorang kafir ketika membunuh seorang Mesir
tetapi saat itu beliau melakukannya dengan tidak sengaja. Musa memberitahu
Fir'aun bahwa ia lari dari Mesir karena khawatir akan pembalasan mereka.
Pembunuhan yang dilakukan olehnya bersifat tidak sengaja. Musa tidak bermaksud
untuk membunuh seseorang. Musa telah memberitahu Fir'aun bahwa Allah SWT telah
memberinya hikmah dan menjadikannya salah seorang Rasul. Allah SWT menceritakan
sebagian dialog antara Musa dan Fir'aun dalam surah as-Syuara' sebagaimana
firman-Nya:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan
firman-Nya): 'Datangilah kaum yang lalim itu, (yaitu) kaum Fir'aun. Mengapa
mereka tidak bertakwa? Berkata Musa: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa
mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar
lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka,
maka aku takut mereka akan membunuhku.' Allah berfirman: 'Janganlah takut
(mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa
ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan
(apa-apa yang mereka katakan). Maka datanglah kamu berdua kepada Fir'aun dan
katakanlah: 'Sesungguhnya kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah
Bani Israil (pergi) beserta kami.' Fir'aun menjawab: 'Bukankah kami telah
mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu
tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu, dan kamu telah berbuat suatu
perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang
yang tidak membalas guna.' Berkata Musa: 'Aku telah melakukannya, sedang aku di
waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu
ketika aku takut kepadamu, hemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia
menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul." (QS. as-Syu'ara: 10-21)
Kemudian bangkitlah emosi Nabi Musa
ketika Fir'aun mengingatkan bahwa ia telah berbuat baik kepada Musa. Musa
bangkit dan berbicara kepadanya:
"Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah
(disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil." (QS. asy-Syu'ara: 22)
Musa
ingin berkata kepadanya, apakah engkau mengira bahwa nikmat yang engkau berikan
kepadaku lalu engkau merasa telah berbuat baik padaku, di mana aku adalah salah
seorang lelaki dari kalangan Bani Israil? Apakah nikmat ini sebanding dengan
cara-caramu memperlakukan bangsa yang besar ini di mana engkau memperbudak
mereka; engkau memperkerjakan mereka dengan cara yang semena-mena. Jika ini memang
demikian maka logika mengatakan bahwa kita seimbang: tiada yang berutang dan
tiada yang meminjam. Jika tidak demikian maka siapa yang memberikan bagian yang
lebih besar?
Alhasil masalahnya adalah dakwah di
jalan Allah SWT, yaitu satu urusan yang aku tidak membawa kepadamu dari diriku
sendiri. Aku bukan utusan dari bangsa Bani Israil. Aku bukan juga utusan dari
diriku sendiri tetapi aku adalah seorang utusan dari Allah SWT. Aku adalah
utusan Tuhan Pengatur alam semesta. Sampai pada tahap ini Fir'aun mulai
memasuki pembicaraan lebih serius: Fir'aun bertanya: "Siapakah Tuhan semesta alam
itu?" (QS. asy-Syu'ara': 23)
Musa Menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi
dan apa-apa yang di antaranya keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian
(orang-orang) mempercayai-Nya." (QS.
asy-Syu'ara': 24)
Berkata Fir'aun kepada orang-orang
sekelilingnya: "Apakah kamu tidak mendengarkan?" (QS. asy-Syu'ara': 25)
Musa berkata dan tidak mempedulikan
ejekan Fir'aun itu: "Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu.
" (QS. asy-Syu'ara': 26)
Fir'aun
berkata kepada mereka yang datang bersama Musa dari Bani Israil:
"Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang
gila." Musa kembali berkata dan tidak memperhatikan tuduhan Fir'aun dan
ejekannya: "Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara
keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal. " (QS. asy-Syu'ara': 28)
Allah SWT menceritakan sebagian dialog
yang terjadi antara Fir'aun dan Musa dalam surah as-Syu'ara':
"Fir'aun bertanya: 'Siapakah Tuhan semesta alam itu?'
Musa Menjawab: 'Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara
keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya.'
Berkata Fir'aun kepada orang-orang sekelilingnya: 'Apakah kamu tidak
mendengarkan?' Musa berkata: "Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu
yang dahulu.' Fir'aun berkata: 'Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu
sekalian benar-benar oranggila.' Musa berkata: 'Tukanyang menguasai timur dan
barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu
mempergunakan akal.'" (QS. asy-Syu'ara': 23-28)
Allah SWT mengingatkan dalam surah
Thaha sebagian dari peristiwa pertemuan antara Fir'aun dan Nabi Musa. Allah SWT
berfirman:
"Maka datanglah kamu kedua kepadanya (Fir'aun) dan
katakanlah: 'Sesungguhnya kami berdua adalah utnsan Tuhanmu, maka lepaskanlah
Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami
telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu.
Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.
Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas
orang-orang yang mendustakan dan berpaling.' Berkata Fir'aun: 'Maka siapakah
Tuhanmu berdua, hai Musa.' Musa berkata: 'Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah
memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk hejadiannya, kemudian memberinya
petunjuk.' Berkata Fir'aun: 'Maka bagaimanakah headaan-keadaan umat-umat yang
dahulu? Musa menjawab: 'Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam
sebuah kitab. Tuhan kami tidak akan salah dan tidak akan salah (pula)
lupa.'" (QS. Thaha: 47-52)
Kita
perhatikan bahwa Fir'aun tidak bertanya kepada Nabi Musa tentang Tuhan Pengatur
alam atau Tuhan Musa dan Harun dengan maksud bertanya sesungguhnya atau
pertanyaan yang bermaksud untuk mengetahui kebenaran tetapi perkataan yang
dilontarkan Fir'aun semata-mata hanya untuk mengejek. Nabi Musa as menjawabnya
dengan jawaban yang sempurna dan mengena. Nabi Musa berkata: "Sesungguhnya
Tuhan kami adalah Dia yang memberi sesuatu ciptaannya kemudian Dia membimbing
ciptaannya. Dialah sang Pencipta. Dia menciptakan berbagi macam makhluk dan Dia
juga yang membimbingnya sesuai dengan kebutuhannya sehinga makhluk-makhluk
tersebut dapat menjalani kehidupan dengan baik. Allah SWT-lah yang megerahkan
segala sesuatu; Allah SWT-lah yang menguasai segala sesuatu; Allah SWT-lah yang
mengetahui segala sesuatu; Allah SWT-lah yang menyaksikan segala sesuatu."
Al-Qur'an al-Karim mengungkapkan semua itu dalam ungkapan yang sederhana namun
padat artinya, yaitu dalam firman-Nya:
"Musa berkata: "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang
telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian
memberinya petunjuk." (QS. Thaha:
50)
Kemudian Fir'aun bertanya, "lalu
bagaimana keadaan manusia-manusia yang hidup di abad-abad pertama di mana
mereka tidak menyembah Tuhanmu ini?" Fir'aun masih ingkar dan mengejek
dakwah Nabi Musa. Nabi Musa menjawab: "Bahwa masa-masa yang dahulu di mana
mereka tidak menyembah Allah SWT adalah masalah yang semua itu berada di sisi
Allah SWT. Atau dalam kata lain, semua itu diketahui oleh Allah SWT. Keadaan di
masa-masa yang dahulu tercatat dalam kitab Allah SWT. Allah SWT menghitung apa
yang mereka keijakan di dalam kitab. Allah SWT tidak pernah lupa." Jawaban
Nabi Musa tersebut berusaha menenangkan Fir'aun tentang orang-orang yang hidup
di masa-masa pertama. Jadi Allah SWT mengetahui segala sesuatu dan mencatat apa
saja yang dilakukan manusia dan Allah SWT tidak menyia-nyiakan pahala mereka.
Kemudian Nabi Musa kembali menyempurnakan dan menyelesaikan pembicaraannya
tentang sifat Tuhannya:
"Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan
dan yang telah menjadihan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari
langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari
tumbuh-tumbuhan. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya
pada yang dernikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang
yang berakal. Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan darinya Kami
akan mengembalikan kamu dan darinya Kami akan mengeluarkan kamu pada kaliyang
lain." (QS. Thaha: 53-55)
Nabi
Musa menarik perhatian Fir'aun tentang tanda-tanda kebesaran Allah SWT di alam
semesta. Nabi Musa menunjukkan kepadanya bagaimana gerakan angin, hujan, dan
tumbuh-tumbuhan. Kemudian Nabi Musa juga menunjukkan bagaimana pengaruh semua
itu pada bumi. Musa memberitahu kepada Fir'aun bahwa Allah SWT menciptakan
manusia dari tanah dan setelah itu Dia akan mengembalikan padanya dengan
kematian lalu mengeluarkan manusia darinya di hari kebangkitan. Jadi, di sana
terjadi hari kebangkitan dan pada hari kiamat manusia akan menghadap kepada
Allah SWT. Tidak ada seseorang pun yang dikecualikan dari hal itu. Semua hamba
Allah SWT akan berdiri dihadapan-Nya pada hari kiamat, termasuk Fir'aun.
Musa
datang kepada Fir'aun sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi peringatan dari Musa ini tidak membikin Fir'aun merenung dan
mendapatkan pelajaran namun justru dialog antara dirinya dan Musa semakin
menajam. Bisa dikatakan bahwa dialog di antara mereka menjadi pertentangan.
Ketajaman dialog mulai menghangat. Kemudian berubahlah bahasa dialog itu. Musa
berusaha menyampaikan argumentasi yang sangat kuat kepada Fir'aun. Musa
berusaha membawa argumentasi rasional tetapi Fir'aun berusaha keluar dari ruang
lingkup dialog yang berdasarkan logika yang sehat. Fir'aun berusaha menggunakan
dialog dalam bentuk yang baru, yaitu suatu cara yang Musa tidak mampu lagi
melawannya. Ia mulai menyerang Musa dan mengancamnya.
Fir'aun
menujukkan penentangannya kepada kebenaran yang dibawa oleh Musa. Fir'aun acuh
tak acuh terhadap dakwah Nabi Musa. Fir'aun mulai menyerang pribadi Musa. Ia
mulai mempersoalkan pakaian Musa dan kedudukan sosialnya bahkan ia pun
menyerang cara Musa berbicara. Setelah menghina Musa sedemikian rupa, Fir'aun
sengaja memakai metode kekuatan mutlak. Fir'aun bertanya kepada Musa, bagaimana
ia berani menentang penyembahan terhadap dirinya; bagaimana Musa menyembah selain
dirinya; tidakkah Musa mengetahui bahwa Fir'aun adalah tuhan? Bagaimana Musa
tidak mengetahui hakikat ini padahal ia terdidik di istana Fir'aun dan sangat
mengenal lingkungan di sekitar Fir'aun? Setelah Fir'aun menyampaikan tentang
ketuhanan-nya secara mendasar, ia bertanya kepada Musa, bagaimana Musa berani
menyembah tuhan selain dirinya. Ini berarti bahwa Musa ingin dijebloskan ke
dalam penjara. Tiada ketentuan di sisi kami bagi orang yang menyembah selain
Fir'aun kecuali penjara adalah tempatnya:
"Fir'aun berkata: 'Sungguh jika kamu menyembah Tuhan
selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang
dipenjarakan.'" (QS. asy-Syu'ara': 29)
Musa
mengetahui bahwa argumentasi-argumentasi rasional tidak lagi bermanfaat. Dialog
yang tenang dan sehat berubah menjadi ejekan dan hinaan serta pada akhirnya
menjadi ancaman hukuman penjara. Musa mengetahui bahwa telah tiba waktunya
untuk menunjukkan mukjizat yang dibawanya. Setelah diancam akan dijebloskan ke
dalam penjara, ia berkata kepada Fir'aun:
"Musa berkata: 'Dan apakah (kamu akan melakukan ini)
kendatipun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?'" (QS. asy-Syu'ara': 30)
Musa menantang kepada Fir'aun dan
Fir'aun menerima tantangannya. Fir'aun ingin tahu sejauh mana kebenaran Musa.
"Fir'aun berkata: 'Datangkanlah sesuatu (keterangan)
yang nyata itu, jika kamu adalah termasuk orang-orang yang benar.'" (QS. asy-Syu'ara': 30-31)
Musa melemparkan tongkatnya di ruangan
yang besar itu. Mula-mula Fir'aun menganggap bahwa tongkat yang dibawanya jatuh
karena Musa gemetar menghadapinya. Setelah Fir'aun meminta padanya bukti atas
kebenaran dakwahnya, tiba-tiba tongkat yang menyentuh tanah itu berubah menjadi
ular yang besar yang bergerak dengan cepat dan gesit. Ular itu menuju ke arah
Fir'aun. Fir'aun tampak pucat karena takut. Ia tampak gemetar di kursinya
kemudian ia berteriak agar mereka menjauhkan ular itu darinya. Nabi Musa
mengulurkan tangannya ke ular itu lalu ular itu kembali menjadi tongkat yang
ada di tangannya sebagaimana semula. Setelah peristiwa itu, keheningan
menyeliputi istana Fir'aun. Nabi Musa kembali menunjukkan kepada orang-orang
yang berdiri di sekitarnya, mukjizatnya yang kedua. Musa memasukkan tangannya
di sakunya lalu mengeluarkannya. Tiba-tiba tangan itu menjadi putih seperti
bulan; tangan itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya yang memenuhi penjuru istana.
Akhirnya, semua orang yang hadir di situ merasakan kekaguman yang luar biasa
sedangkan Fir'aun wajahnya tampak menghijau karena saking takutnya. Allah SWT
berfirman:
"Maka Musa melemparkan tongkatnya, yang tiba-tiba
tongkat itu (menjadi) ular yang nyata. Dan ia menarik tangannya (dari dalam
bajunya), maka tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang
rnelihatnya." (QS.
asy-Syu'ara': 32-33)
Keheningan
semakin menyelimuti istana Fir'aun. Pengaruh dua mukjizat yang dibawa oleh Nabi
Musa tertanam pada jiwa orang-orang yang hadir di situ. Pertama-tama mereka
merasakan ketakutan dalam diri mereka kemudian Nabi Musa mengembalikan
tangannya ke sakunya lalu tangannya kembali seperti semula.
Fir'aun
berkata: "Sekarang, pergilah kalian berdua. Nanti kita akan lanjutkan
perbincangan kita." Musa memalingkan wajahnya dan keluar dari istana.
Fir'aun tampak terpukul atas peristiwa itu. Pikirannya mulai berputar-putar. Ia
membayangkan apa yang terjadi di istananya dan di wilayah kekuasaannya
seandainya berita tentang dua mukjizat itu tersebar di tengah-tengah manusia,
lalu manusia mulai membicarakan tentang Musa dan Harun. Fir'aun mengeluarkan
perintahnya agar orang-orang yang melihat peristiwa itu tidak membuka hal itu
kepada masyarakat umum, tetapi para pembantu istana dan sebagian dari Bani
Israil menyaksikan dua peristiwa itu. Akhirnya, mulailah terjadi perbincangan
di tengah-tengah masyarakat ramai tentang dua mukjizat itu. Fir'aun benar-benar
terdiam ketika menghadapi dua mukjizat yang dibawa oleh Nabi Musa. Ketika Musa
keluar dari istana Fir'aun yang sebelumnya merasa takut dan gemetar, kini
menjadi marah. Ia meluapkan kemarahan itu kepada menterinya dan para pembantunya.
Tiba-tiba ia bersikap kasar kepada mereka tanpa sebab yang diketahui. Fir'aun
memerintahkan mereka untuk keluar dari ruangannya dan meningggalkan dirinya
sendirian.
Fir'aun
berusaha untuk menghadapi masalah itu dengan lebih tenang. Fir'aun meminum beberapa
gelas dari minuman keras tetapi rasa marahnya belum hilang juga. Kemudian ia
mengeluarkan perintah untuk mengumpulkan orang-orang dekatnya dan semua para
menteri di istana serta para pemimpin di Mesir. Fir'aun mengeluarkan
perintahnya kepada Haman salah satu ketua para menterinya untuk mengepalai
pertemuan tersebut. Kemudian para pembesar dari kaum Fir'aun berkumpul. Fir'aun
memasuki ruang pertemuan dan wajahnya tampak emosi. Jelas sekali Fir'aun tidak
mau menerima dengan mudah adanya tuhan lain yang disembah orang-orang Mesir
selain dirinya. Fir'aun cukup berbahagia ketika ia menguasai Mesir dari
memerintah dengan semaunya. Tiba-tiba, ia dikagetkan dengan kedatangan Musa
yang ingin menghancurkan apa saja yang telah dibangunnya. Musa mengatakan pada dirinya
bahwa di sana ada Tuhan yang Esa yang tiada Tuhan lain selain-Nya di alam
semesta. Ini berarti bahwa Fir'aun adalah seorang pembohong. Pemikiran ini
menghantui kepala Fir'aun sehingga Fir'aun menoleh kepada ketua para menterinya
yaitu Haman akhirnya pertemuan bersejarah itu diadakan.
Tidak
ada seorang pun yang berani membuka mulutnya. Fir'aun membuka pertemuan itu
dengan secara tiba-tiba ia melontarkan pertanyaan kepada Haman: "Apakah
aku seseorang pembohong wahai Haman?" Haman menunduk dan bertanya: "Siapa
yang berani menentang Fir'aun?" Fir'aun berkata dengan marah:
"Musa." Bukankah ia mengatakan bahwa ada tuhan lain di langit."
Dengan mantap Haman menjawab: "Sungguh wahai tuanku, Musa berbohong."
Fir'aun berkata dalam keadaan memutar wajahnya ke arah yang lain: "Aku
mengetahui bahwa ia berbohong."
Kemudian Fir'aun kembali menoleh ke
Haman:
"Dan berkatalah Fir'aun: 'Hai Haman, buatkanlah bagiku
sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu)
pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku
memandangnya seorang pendusta.'" (QS. al-Mu'min: 36-38)
Fir'aun
mengeluarkan perintah untuk membangun suatu bangunan yang kokoh dan tinggi di
mana ketinggiannya mampu mencapai langit. Perintah Fir'aun itu berdasarkan
peradaban Mesir yang lagi maju di mana mereka cenderung membangun bangunan yang
spektakuler. Namun Fir'aun lupa pada aturan-aturan teknik pembangunan. Meskipun
demikian, Haman bersikap munafik, padahal ia mengetahui kemustahilan membangun
sesuatu bangunan semegah dan setinggi itu. Haman berkata: "Saya ingin
melaksanakan perintah untuk mendirikan bangunan itu sesegera mungkin, tetapi
wahai tuanku dan izinkanlah aku untuk pertama kalinva aku menentang perintahmu.
Sungguh engkau tidak akan mendapati sesuatu pun di langit. Tidak ada di sana
Tuhan selain dirimu." Fir'aun mendengar penolakan ketua para menterinya
itu dengan sangat puas, seakan-akan ia mendengarkan suatu hakikat yang
ditetapkan. Kemudian dalam perkumpulan yang terkenal itu, Fir'aun melontarkan
kata-katanya yang bersejarah:
"Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan
bagimu selain aku." (QS. al-Qashash: 38)
Semua yang hadir di tempat itu
menundukkan kepala tanda setuju. Di antara mereka terdapat dua orang atau tiga
orang yang masih memiliki akal sehat. Ketiga orang itu mengetahui bahwa
sebenarnya Fir'aun adalah seorang pembohong. Meskipun demikian, mereka
membiarakan kebohongan itu dan memilih apa yang disetujui oleh Fir'aun. Tentu
persetujuan ini berakibat pada masyarakat Mesir yang harus membayar mahal hasil
dari persetujuan itu. Para tentara Mesir, para pembesar istana, dan para dukun
tunduk kepada kegilaan Fir'aun. Fir'aun berkata dengan maksud bertanya kepada
para penasihatnya: "Apa yang kalian katakan tentang Musa?" Haman
berkata: "Ia adalah seorang yang pembohong."
Salah
seorang menteri yang lain berkata: "Saya kira ia adalah seorang yang
gila." Sementara itu salah seorang dukun berkata: "—Tampaknya ia
khawatir mereka akan mencurigainya jika ia tidak mengatakan sesuatu pun kepada
mereka—saya kira ia terkena kegilaan." Fir'aun memutus pembicaraan mereka
dengan mengatakan: "Sungguh kalian menggambarkan Musa macam-macam, namun
kalian belum menjawab pertanyaanku. Apa sebenarnya maunya Musa? Apa sebenarnya
persekongkolan yang disembunyikannya." Para penasihat terdiam karena rasa
takut dan sebagai bentuk kemunafikan terhadap Fir'aun. Mereka hanya menunggu
Fir'aun mengucapkan kalimat-kalimat tertentu lalu mereka menirukannya dengan
mulut-mulut mereka layaknya burung beo. Setelah keheningan menyelimuti ruangan
itu, Fir'aun berkata: "Aku kira bahwa Musa adalah salah satu tukang sihir
yang hebat. Ia ingin mengeluarkan kalian dari negeri kalian dengan sihirnya.
Lalu persekongkolan apa yang kalian siapkan?"
Adalah
hal yang maklum di rezim kekuasaan mutlak bahwa perkumpulan yang dihadiri oleh
para pembesar dan para menteri untuk mengeluarkan pandapat sesama mereka
berarti hanya sekedar untuk mengulang-ulang dan menerima keputusan mutlak dari
penguasa. Para penasihat berkata—setelah Fir'aun memberi mereka kesempatan
untuk mengutarakan pendapat: "Sungguh benar apa yang dikatakan oleh
Fir'aun. Musa adalah seorang tukang sihir. Kalau begitu, masalahnya telah
selesai. Kita akan mengembalikan Musa dan saudaranya, dan kita akan menyebarkan
perintah Fir'aun di Mesir untuk menghadirkan tukang sihir. Jika para tukang
sihir telah datang dan berdiri di hadapan Musa, maka mereka akan dapat
membuktikan bahwa Musa memang tukang sihir dan mereka akan mampu
mengalahkannya. Dengan cara demikian, kita dapat memperdayanya di hadapan
orang-orang Mesir dan anak-anak Bani Israil." Perundingan bersejarah itu
sepakat untuk melaksanakan hal itu. Sepuluh orang dari pembantu Fir'aun keluar
dari istana, Fir'aun dengan menunggangi kendaraan mereka dan mereka segera
berpencar di seluruh penjuru Mesir. Kemudian diumumkan pada hari kedua di
pasar-pasar Mesir bahwa seluruh jago-jago sihir hendaklah menuju ke istana
Fir'aun untuk mendengarkan suatu perintah atau suatu urusan yang penting.
Fir'aun
memanggil Nabi Musa dan berusaha mengancamnya dan menakut-nakutinya tetapi Nabi
Musa tampak tenang. Fir'aun berkata kepada Nabi Musa: "Sesungguhnya engkau
seorang tukang sihir, dan aku menetapkan untuk menyingkap kedokmu di hadapan
semua orang. Tidak lama lagi para tukang sihir akan datang." Nabi Musa bertanya:
"Kapan aku akan bertemu dengan tukang sihir itu?" Fir'aun berkata:
"Di sana terdapat suatu pertemuan atau acara yang sebentar lagi akan
dimulai yang dihadiri oleh banyak orang. Yaitu hari di mana angin bertiup
dengan sepoi-sepoi; hari di mana bumi berhias diri menyambut kedatangan musim
semi. Sungguh itu suatu pertemuan yang menakjubkan dan engkau akan dikalahkan.
Sekarang aku beri kesempatan kamu untuk mencabut dakwahmu. Aku memberikan
kesempatan yang terakhir bagimu untuk menyelamatkan kehormatanmu."
Musa
berkata dengan tidak memperhatikan perkataan Fir'aun yang terakhir: "Kami
sepakat atas pertemuan itu. Kami akan hadir di hari itu di mana manusia akan
berkumpul di pagi hari." Fir'aun bertanya: "Kapan engkau akan
datang?" Musa berkata: "Insya Allah aku akan hadir di waktu fajar di
permulaan siang."
Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah perlihatkan kepadanya
(Fir'aun) tanda-tanda kekuasaan Kami semuanya, maka ia mendustakan dan enggan
(menerima kebenaran). Berkata Fir'aun: 'Adakah kamu datang kepada kami untuk
mengusir kami dari negeri kami (ini) dengan sihirmu, hai Musa! Dan kami pun
pasti akan mendatangkan (pula) kepadamu sihir semacam itu, maka buatlah suatu
waktu untuk pertemuan antara kami dan kamu, yang kami tidak akan menyalahinya dan
tidak (pula) kamu di suatu tempat yang pertengahan (letaknya).' Berkata Musa:
"Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan
hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik.'" (QS. Thaha: 56-59)
Nabi
Musa pergi dalam keadaaan tenang. Kemudian para utusan tukang sihir datang ke
istana Fir'aun. Ketika semua berkumpul, Fir'aun memerintahkan agar mereka semua
menemuinya. Ketika masuk menemui Fir'aun, para tukang sihir sujud kepadanya.
Fir'aun memerintahkan mereka untuk berdiri, kemudian Fir'aun mulai
berjalan-jalan di antara mereka sambil mengamati wajah mereka dan pakaian
mereka. Fir'aun tampak terdiam memikirkan sesuatu dan tiba-tiba ia berdiri dan
berkata: "Wahai para tukang sihir, kami sekarang menghadapi problem yang
kecil dan kami telah memerintahkan agar kalian dihadirkan untuk memecahkan
problem itu." Para tukang sihir itu menundukkan kepalanya dan mereka
mendengarkan dengan hikmat. Fir'aun kembali berkata: "Salah seorang lelaki
datang kepada kami dan ia mengaku utusan Allah SWT; seorang lelaki yang bernama
Musa dan bersama saudaranya, Harun. Musa ini adalah tukang sihir yang mahir,
lebih tangkas dan lebih hebat dari Harun. Oleh karena itu, kalian harus
mengalahkannya dengan kekalahan yang telak sehingga ia tidak mampu lagi
mengangkat kepalanya karena rasa malu." Para tukang sihir tetap
menundukkan kepalanya dan mereka terdiam. Fir'aun berkata: "Mengapa
seseorang di antara kalian tidak bertanya kepadaku tentang sihirnya Musa."
Salah seorang tukang sihir dengan tenang berkata: "Kami menunggu tuan yang
agung menceritakannya kepada kami. Kami tidak ingin memutus pembicaraanmu wahai
tuan."
Dengan
nada marah, Fir'aun berkata: "Musa melemparkan tongkatnya dan tiba-tiba
tongkatnya itu menjadi ular yang sangat besar lalu ia mencabut tangannya dan
tiba-tiba tangannya menjadi putih yang menakjubkan orang-orang yang
melihatnya." Tampak senyum manis menghiasi wajah-wajah para tukang sihir
dan salah seorang mereka berkata: "Hendaklah hati Fir'aun tenang. Ini
adalah permainan kuno; permaianan tongkat yang berubah menjadi ular.
Sesungguhnya itu hanya sekadar imajinasi yang menipu orang-orang yang
melihatnya, yang seakan-akan ia bergerak padahal ia tetap di tempatnya."
Fir'aun
berkata: "Aku tidak ingin untuk memasuki perdebatan sekitar masalah
pembuatan sihir. Yang aku inginkan agar kalian mengalahkan Musa. Kami telah
sepakat untuk bertemu pada hari ketika musim semi akan tiba. Masyarakat Mesir
semuanya akan berkumpul. Mereka akan menyaksikan kalian saat kalian
mengalahkannya. Oleh karena itu, kalian harus dapat mengalahkannya."
Selesailah
perkataan Fir'aun. Ia menunggu para tukang sihir meninggalkannya tapi mereka
masih berdiri. Salah seorang mereka bertanya: "Mengapa tuan kita Fir'aun
tidak berbicara kepada kita tentang urusan yang lebih penting seandainya kita
dapat mengalahkan Musa?" Dengan keheranan Fir'aun bertanya: "Apa
sesuatu yang lebih penting itu?" Salah seorang tukang sihir berkata:
"Tentu kami minta upah jika kami menang." Dengan tertawa, Fir'aun
berkata: "Jangan khawatir, aku akan memuaskan kalian. Kalian akan menjadi
orang-orang yang dekat. Kami akan mengadakan pekerjaan-pekerjaan baru di istana
bagi para tukang sihir. Kalian jangan khawatir. Tenanglah karena kalian akan
menerima upah yang layak."
Fir'aun
tertawa melihat kepercayaan para tukang sihir kepada diri mereka, kemudian ia
memerintahkan agar mereka meninggalkan tempatnya. Lalu ia sendiri menuju ke
meja makan siang. Fir'aun duduk sambil makan. Ia berkata sambil menyantap paha
kambing yang besar: "Semenjak Musa datang selera makanku terganggu. Namun
sekarang, kehancuran Musa sudah dekat."
Allah SWT berfirman:
"Dan Musa berkata: 'Hai Fir'aun, sesungguhnya aku ini
adalah seorang utusan dari Tuhan alam semesta, wajib atasku tidak mengatakannya
sesuatu terhadap Allah, kecuali yang hak. Sesungguhnya aku datang kepadamu
dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil
(pergi) bersama aku.' Fir'aun menjawab: 'Jika benar kamu membawa sesuatu bukti,
maka datangkanlah bukti itu jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang benar.'
Dan dia mengeluarkan tangannya, maka ketika itu juga tangan itu menjadi putih
bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang yang melihatnya. Pemuka-pemuka kaum
Fir'aun berkata: 'Sesungguhnya Musa ini adalah ahli sihir yang pandai, yang
bermaksud hendak mengeluarkan kamu dari negerimu.' (Fir'aun berkata): 'Maka
apakah yang hamu anjurkan?' Pemuka-pemuka itu menjawab: 'Beritahulah ia dan
saudara-saudaranya serta kirimlah ke kota-kota beberapa orang yang akan
mengumpulkan (ahli-ahli sihir), supaya mereka membawa kepadamu semua ahli sihir
yang pandai.' Dan heberapa ahli sihir telah datang kepada Fir'aun mengatakan:
'(Apakah) sesungguhnya kami akan mendapat upah, jika kamilah yang menangV
Fir'aun menjawab: 'Ya dan sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk
orang-orang yang dekat (kepadaku).'" (QS. al-A'raf: 104-114)
Kemudian
datanglah hari yang dijanjikan. Orang-orang berbondong-bondong keluar dari
rumah. Mereka membicarakan tentang pertemuan antar Nabi Musa dan Fir'aun.
Mereka menuju ke tempat perayaan sejak pagi hari. Tidak ada seorang pun di
Mesir yang tidak mengetahui tentang peristiwa itu. Orang-orang begitu gembira
ketika para tukang sihir itu datang sebagaimana mereka juga gembira ketika
melihat Fir'aun datang, namun keheningan menyelimuti tempat itu ketika Nabi
Musa dan Nabi Harun datang. Tempat perayaan itu diadakan di tempat terbuka yang
hanya ditutupi oleh payung Fir'aun yang melindungi kepalanya dari terik
matahari. Fir'aun berdiri di tengah-tengah tentaranya. Ia memakai emas dan
permata. Sementara itu, Nabi Musa berdiri dengan menundukkan kepalanya dalam
keadaan mengingat Allah SWT.
Keadaan
saat itu benar-benar hening. Kemudian para tukang sihir maju menemui Musa.
Mereka berkata kepada Musa: "Apakah engkau yang pertama kali melempar atau
kami yang pertama kali melempar." Musa berkata: "Kalianlah yang
pertama kali melempar." Para tukang sihir berkata: "Demi kemuliaan
Fir'aun, sesungguhnya kami akan menang." Musa berkata: "Celakah
kalian, janganlah kalian membuat dusta kepada Allah SWT niscaya Dia akan
mendatangkan siksa bagi kalian." Sebagian ahli hakikat berkata: "Nabi
Musa menoleh dan kemudian ia melihat Jibril di sebelah kanannya." Jibril
berkata kepadanya: "Wahai Musa, hendaklah kamu bersikap sopan kepada wali-wali
Allah SWT." Musa berkata dalam dirinva: "Mereka para tukang sihir itu
datang dengan maksud menyimpangkan agama Fir'aun." Jibril kembali berkata:
"Bersikap lembutlah terhadap wali-wali Allah SWT. Mereka saat ini sampai
salat Ashar berada di sisimu dan setelah salat Ashar mereka akan berada di
surga."
Para
tukang sihir itu mulai melemparkan tongkat-tongkat mereka dan tali-tali mereka.
Tiba-tiba arena itu dipenuhi dengan ular-ular. Mereka menipu dan menyihir
pandangan orang-orang yang melihatnya. Orang-orang yang melihat sihir itu
merasa takut karena mereka mendatangkan sihir yang besar. Orang-orang merasa
gembira dan Fir'aun pun menampakkan senyumnya. Ia berkata dalam dirinya:
Sungguh hari ini adalah hari pembalasan atas Musa. Mukjizatnya berupa tongkat
yang ada di tangannya yang dapat berubah menjadi ular, sekarang Fir'aun
menghadirkan kepadanya seluruh tukang sihir di mana tongkat-tongkat dan
tali-tali yang ada di tangan mereka pun berubah menjadi ular. Senyuman Fir'aun
pun semakin melebar.
Nabi
Musa memperhatikan tali-tali tukang sihir dan tongkat-tongkat mereka. Ia merasa
takut. Nabi Musa ingat apa yang dikatakan oleh Jibril dan ia mulai merasakan
ketakutan. Bagaimana mungkin para tukang sihir itu akan masuk surga dan mereka
akan menjadi wali-wali Allah SWT? Nabi Musa merasakan semua itu, namun tiada
seorang pun yang mengetahui hakikat pemikiran yang terlintas dalam benak Nabi
Musa saat ia berdiri dengan bajunya yang sederhana bersama saudaranya di
hadapan kumpulan manusia yang banyak dari para pengawal dan tentara Fir'aun.
Ketika Musa merasakan ketakutan tersebut, maka cahaya yang terang menembus
dalam dirinya dan Allah SWT berkata kepadanya:
"Kami berkata: 'Janganlah kamu takut, sesungguhnya
kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu,
niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka
perbuat itu adalah tipu daya tuhang sihir (belaka). Dan tidak akan menang
tukang sihir itu, dari mana saja ia datang." (QS.Thaha: 68-69)
Musa
merasa senang ketika mendengar Allah SWT menenangkannya. Nabi Musa dapat
mengendalikan dirinya, kemudian beliau mengangkat tongkatnya dan
melemparkannya. Sebelum tongkat itu menyentuh tanah, tiba-tiba terjadilah suatu
mukjizat. Orang-orang dan para tukang sihir Fir'aun bahkan Fir'aun sendiri
menyaksikan sesuatu yang belum pernah mereka saksikan di dunia. Biasanya
seorang tukang sihir dapat menipu pandangan manusia dan memperdaya mereka
seolah-olah ada ular yang bergerak padahal ia tetap di tempatnya. Tetapi apa
yang terjadi saat itu adalah sesuatu yang benar-benar berbeda. Belum sampai
tongkat Nabi Musa menyentuh tanah sehingga ia berubah menjadi ular yang besar
dan sangat gesit.
Tiba-tiba
ular ini menuju ke tali-tali tukang sihir dan tongkat-tongkat mereka yang
bergerak dan ia mulai memakannya satu persatu. Tongkat Nabi Musa memakan
tali-tali tukang sihir dan tongkat-tongkat mereka dengan cepat. Belum berselang
beberapa menit sehingga arena itu kosong dari tali-tali tukang sihir dan
tongkat-tongkat mereka. Tongkat-tongkat dan tali-tali tukang sihir tersembunyi
dalam perut tongkat Nabi Musa. Dan bergeraklah ular yang besar menuju Nabi Musa
lalu beliau mengulurkan tangannya dan tiba-tiba ular itu berubah menjadi
tongkat. Para tukang sihir mengetahui bahwa mereka bukan di hadapan seorang penyihir.
Mereka sebenamya adalah tokoh-tokoh sihir dan para pakar dalam hal itu di zaman
mereka, tetapi apa yang mereka saksikan saat ini bukan termasuk sihir. Itu
adalah mukjizat dari Allah SWT.
Akhirnya,
para tukang sihir itu sujud di atas tanah. Mereka berkata: "Kami beriman
kepada Tuhan Pengatur alam semesta. Tuhan yang diyakini oleh Musa dan
Harun." Orang-orang Mesir dan anak-anak Bani Israil menyaksikan mukjizat
yang mengagumkan ini. Mereka melihat bagaimana tukang sihir-tukang sihir Fir'aun
sujud kepada Musa dan Harun. Fir'aun menyaksikan bahwa bola itu kini berada di
tangan Musa dan Harun. Lalu ia bangkit dari duduknya dan berteriak di depan
tukang sihir: "Bagaimana kalian beriman kepadanya sebelum aku memberi izin
kepada kalian." Para tukang sihir berkata: "Untuk beriman tidak perlu
izin." Fir'aun berkata: "Kalau begitu ini adalah persekongkolan yang
jelas. Sesungguhnya Musa adalah guru kalian yang mengajari kalian sihir.
Sungguh tangan-tangan kalian dan kaki-kaki kalian akan diputus dan kalian akan
disalib di pohon kurma. Sungguh ini adalah persekongkolan yang jelas."
Para
tukang sihir berkata: "Lakukan apa saja yang engkau inginkan, hai Fir'aun.
Kami tidak memilihmu dan kami tidak mengutamakanmu atas mukjizat Ilahi ini.
Sesungguhnya kami beriman kepada Tuhan kami agar Dia mengampuni kami dan
menghapus kesalahan-kesalahan kami. Apa yang engkau berikan terhadap kami
adalah sesuatu yang sedikit, dan apa yang ada di sisi Allah SWT lebih baik dan
lebih abadi. Seandainya engkau menyiksa kami dan membunuh kami dan menyalib
kami, maka engkau hanya dapat menyiksa kami di kehidupan dunia ini. Tentu
kehidupan dunia tidak dapat dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Kami hanya
ingin mendapatkan pengampunan dari Allah SWT dan memasuki surga." Kemudian
Fir'aun mengeluarkan perintahnya untuk menyalib semua tukang sihir. Ketika
menyaksikan peristiwa tersebut, orang-orang menjadi ketakutan. Kemudian Nabi
Musa dan Nabi Harun meninggalkan tempat itu dan Fir'aun kembali ke istananya.
Allah SWT menceritakan dalam surah al-A'raf apa yang dialami tukang sihir dan
Musa dalam firman-Nya:
"Ahli-ahli sihir berkata: 'Hai Musa, kamukah yang akan
melemparkan lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan?' Musa menjawab:
'Lemparkanlah (lebih dahulu)! Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap
mata orang dan menjadihan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan
sihir yang besar (menakjubkan). Dan Kami mewahyukan kepada Musa: 'Lemparkanlah
tongkatmu!' Maka sekoyong-koyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan.
Karena itu nyatalah yang benar dan gagallah yang selalu mereka kerjahan. Maka
mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina. Dan
ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud. Mereka
berkata: 'Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (Yaitu) Tuhan Musa dan Harun.
Fir'aun berkata: 'Apakah kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin
kepadamu?' Sesungguhnya (perbuatan) ini adalah suatu muslihat yang telah kamu
rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya darinya; maka
kelah kamu akan mengetahui (akibat perbnatanmu ini); sesungguhnya aku akan
memotong tangan dan kakimu dengan bersilang secara bertimbal balik, kemudian
sungguh-sungguh ahu akan menyalib kamu semuanya. Ahli-ahli sihir itu menjawab:
'Sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali. Dan kamu tidak membalas dendam
dengan menyiksa kami, melaikan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan
kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.' (Mereka berdoa): 'Ya Tuhan kami,
limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah
diri (kepada-Mu).'" (QS.
al-A"raf: 115-126)
Para
tukang sihir Mesir menjadi Muslim dan mempercayai ajaran yang dibawa oleh Nabi
Musa. Mereka beriman kepada Allah SWT. Akhirnya, mereka dinaikkan di
batang-batang pohon kurma untuk disalib dan dipotong tangan-tangan mereka dan
kaki-kaki mereka. Mereka meminta kepada Allah SWT agar mereka dimatikan sebagai
orang-orang Muslim.
Kemudian
Musa memahami apa yang diucapkan oleh Jibril as: Mereka sejak saat ini sampai
salat Ashar di sisimu dan setelahnya mereka berada di surga. Ketika memasuki
waktu Ashar tubuh para tukang sihir itu berlumuran darah. Mereka disalib oleh
para tentara Fir'aun. Fir'aun menghadapi masalah baru. Fir'aun mengadakan
serangkaian pertemuan-pertemuan penting di istananya. Fir'aun memanggil
penanggung jawab tentara dan pasukan. Fir'aun juga memanggil apa saat ini
dinamakan dengan kepala intelejen. Bahkan Fir'aun juga memanggil para menteri
dan para penjabat serta tukang-tukang dukun. Jadi, Fir'aun memanggil semua yang
mempunyai kekuatan untuk mengubah jarum sejarah.
Fir'aun
bertanya kepada kepala intelejennya: "Apa yang dikatakan
orang-orang?" Ia berkata: "Anak buahku telah kusebar di antara
khalayak dan mereka mendapat informasi bahwa Musa dapat memenangkan perlombaan
itu karena ia berhasil membikin suatu konspirasi bersama para tukang
sihir." Kemudian Fir'aun bertanya kepada salah seorang ketua keamanan:
"Apa yang terjadi pada jasad-jasad tukang sihir?" Ia berkata:
"Anak buahku menggantungnya di tempat umum dan di pasar-pasar untuk
menakuti manusia dan kami sebarkan berita bahwa Fir'aun akan membunuh setiap
orang yang memiliki persekongkolan." Lalu Fir'aun bertanya kepada komandan
pasukan: "Apa yang dikatakan oleh pasukan?" Ia menjawab: "Mereka
menginginkan agar mendapatkan perintah untuk bergerak di tempat mana pun yang
ditentukan oleh Fir'aun." Fir'aun berkata: "Belum datang giliran
pasukan maka akan datang gilirannya."
Fir'aun
kemudian terdiam. Lalu Haman salah seorang ketua para menteri bergerak dan
mengangkat tangannya dan ia mulai meminta untuk berbicara, dan Fir'aun
mengizinkan kepadanya. Haman berkata: "Apakah kita akan membiarkan Musa
dan kaumnya untuk membuat keruskaan di muka bumi dan mereka mengalihkan ibadah
kepada selainmu?" Fir'aun berkata: "Sungguh engkau dapat membaca
pikiranku wahai Haman. Kita akan membunuh anak-anak mereka dan akan
mempermalukan perempuan-perempuan mereka. Aku memiliki kekuasaan di atas
mereka."
Pasukan
Fir'aun pergi untuk membunuh anak-anak laki dari Bani Israil dan menodai
kehormatan wanita-wanita mereka, serta memenjarakan siapa pun yang menentang.
Musa berdiri menyaksikaan apa yang terjadi tanpa mampu turut campur dan tanpa
mampu mencegahnya. Yang beliau lakukan hanya memerintahkan kaumnya untuk
bersabar. Beliau memerintahkan mereka untuk meminta pertolongan kepada Allah
SWT dan bersabar atas segala ujian. Beliau menjadikan para tukang sihir sebagai
teladan bagi mereka di mana tukang sihir Mesir itu mampu menahan derita di
jalan Allah SWT tanpa berkeluh kesah. Nabi Musa memberitahu mereka bahwa
tentara-tentara Fir'aun berbuat aniaya di muka bumi yang seakan-akan bumi
adalah milik khusus mereka. Sebenarnya Allah SWT akan mewariskan bumi kepada
orang-orang yang bertakwa.
Kemudian
intimidasi yang dilakukan Fir'aun sangat mempengaruhi jiwa Bani Israil sehingga
mereka merasakan kekalahan dan pesiIblis. Mereka berkata kepada Musa:
"Wahai Musa kami sangat menderita sebelum kedatanganmu dan sesudah
kedatanganmu, anak-anak dibunuh sebelum kedatanganmu dan sesudah kedatanganmu."
Seakan-akan mereka berkata kepada Musa bahwa keberadaanmu tidak memberikan
manfaat sedikit pun. Kami tetap merasakan kesendirian. Musa menolak kebodohan
mereka ini. Ia memberitahu mereka bahwa Allah SWT akan menghancurkan
musuh-musuh mereka, kemudian Allah SWT akan menjadikan bumi dikuasai oleh
mereka. Tetapi lagi-lagi mereka tetap mengadu kepada Musa dan tampak bahwa
mereka tidak kuat lagi menahan penderitaan yang mereka alami.
Musa
menghadapi keadaan yang sulit. Beliau berusaha melawan kemarahan Fir'aun dan
konspirasinya. Pada saat yang sama, Nabi Musa mendengar keluhan kaumnya. Di
tengah-tengah keadaan yang demikian, Qarun bergerak. Qarun adalah seorang putra
Bani Israil. Ia berasal dari kaum Musa tetapi ia justru menentang Musa.
Kekayaannya dan status sosialnya menjadikannya lebih dekat kepada rezim
Fir'aun. Allah SWT menceritakan kepada kita tentang kekayaan Qarun. Allah SWT
berkata kepada kita bahwa kunci-kunci kamar yang menyimpan kekayaannya sangat
sulit dipikul oleh sekelompok laki-laki yang kuat sekalipun. Seandainya kita
ingin mengetahui kunci-kunci kekayaan ini yang sedemikian rupa, maka kita dapat
membayangkan kekayaan itu sendiri. Qarun memiliki berbagai macam kekayaan dan
dalam jumlah yang banyak. Bahkan saking kayanya, pelana kudanya terbuat dari
kulit yang dihiasi oleh perak dan emas.
Jika
Qarun keluar dengan membawa pesona dunia yang diikuti oleh rombongannya dan
disinari oleh matahari, maka emas-emas yang dibawanya tampak menyala di bawah
sengatan matahari. Pemandangan demikian sangat mengagumkan bagi orang-orang
yang mencintai dunia. Kekayaan yang dimiliki Qarun membuatnya bersikap angkuh
sehingga tidak mudah baginya untuk menerima nasihat. Tampak bahwa kekayaannya
dan kesombongannya membuatnya merasa bergembira, sehingga tertawanya Qarun menjadi
tertawa yang paling terkenal di kalangan Bani Israil, dan ketenarannya
menyaingi ketenaran Fir'aun dan Haman. Kedua orang itu (Fir'aun dan Haman)
menguasai Mesir secara keseluruhan, sedangkan Qarun hanya mengusai sebagian
dari Mesir.
Orang-orang
yang berakal dari kaumnya menasihatinya agar ia berpikir sejenak tentang
akhiratnya, dan barangkali mereka berkata kepadanya: "Sesungguhnya tak
seorang pun menasihatimu untuk meninggalkan dunia secara keseluruhan dan
menempuh jalan orang-orang yang zuhud tetapi mereka menasihatimu agar engkau
tidak melupakan bagianmu dari dunia. Sebagaimana mereka menasihatimu agar
jangan sampai engkau melupakan bagianmu dari akhirat."
Qarun
hanya merasa puas dengan bagiannya dari dunia. Imajinasi akalnya mengatakan
bahwa kekayaan ini datang karena usaha kerasnya sebagaimana ia menduga
kekayaannya adalah tanda bahwa Allah mencintainya. Bahkan ia mengira bahwa ia
lebih utama dan lebih mulia dari Musa. Musa adalah seorang yang fakir sedangkan
Qarun adalah seorang yang kaya, maka bagaimana seorang yang fakir yang tidak
memakai satu pun gelang dari emas dapat memperoleh kedudukan yang mulia di sisi
Allah dibandingkan dengan seorang yang kaya yang mampu membuat pelana kudanya
dari emas. Demikianlah pandangan Qarun dan Fir'aun terhadap Musa.
Allah SWT berfirman:
"Bukankah aku lebih baik daripada orang yang hina ini
dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?" (QS. az-Zukhruf: 52)
Demikianlah
pernyataan Fir'aun kepada Musa. Terdapat kesesuaian antara pendapat Fir'aun dan
Qarun terhadap Musa. Sesuai dengan kedudukan sosial dan kekayaannya, Qarun
menjadi sahabat Fir'aun dan mendukung rezim kekuasaannya. Bukan hanya Qarun,
Fir'aun dan Haman yang menjadi tawanan khayalan ini, bahkan kaum Fir'aun pun
memiliki pendapat yang sama. Yakni, bagi orang-orang Mesir, Musa hanya sekadar
seorang tukang sihir yang mengalahkan jagojago sihir lainnya. Namun ini tidak
berarti bahwa masyarakat Mesir tidak memiliki keutamaan sedikit pun. Di
tengah-tengah masyarakat Mesir masih terdapat orang yang beriman kepada Nabi
Musa namun ia menyembunyikan keimanannya karena khawatir terhadap kejahatan
Fir'aun.
Di
sana juga ada orang yang bertanya-tanya dengan kebodohan: Jika Allah SWT memang
mencintai Musa lalu mengapa ia dijadikan seorang yang fakir. Qarun menjadi
fitnah atau cobaan di tengah-tengah kaumnya dan juga bagi orang-orang Mesir.
Ketika Qarun keluar dengan membawa pesona dunianya maka orang-orang yang
menginginkan kehidupan dunia berkata:
"Maka keluarlah Qarun kepada haumnya dengan
kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia:
'Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada
Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar." (QS. al-Qashash: 79)
Sedangkan
orang-orang yang berakal sehat—biarpun jumlah mereka sedikit—mereka memandang
bahwa kekayaan Qarun yang begitu luar biasa tidak berarti sedikit pun di sisi
Allah SWT. Allah SWT tidak memandang kekayaan yang banyak jika jiwa manusia
menjadi gelap karenanya. Di tengah-tengah keadaan yang demikian sulit, Nabi
Musa menghadapi Qarun yang menentangnya. Musa sebagai seorang Nabi mesti
menunjukkan sikap yang baik dan kesucian yang agung. Tampaknya Qarun sepakat
dengan Fir'aun untuk berusaha menjatuhkan Musa di depan pengikutnya dengan tuduhan
yang berlawanan dengan kesuciannya.
Akhirnya,
pada suatu hari Nabi Musa dikagetkan dengan suatu tuduhan di mana ada seorang
wanita yang menuduhnya berbuat tidak senonoh kepadanya dan mengatakan bahwa
Musa pernah tidur bersamanya kemarin. Kami kira Nabi Musa sangat kaget dengan
tuduhan ini dan beliau tidak mengetahui apa yang dikatakannya atau bagaimana
beliau membela dirinya menghadapi tuduhan seperti itu. Kemungkinan besar beliau
salat dan menghadap Allah SWT. Kemudian beliau menemui wanita itu dan bertanya,
mengapa ia menuduhkan padanya sesuatu yang tidak benar. Tiba-tiba wanita itu
menangis dan meminta ampun kepada Musa. Ia memberitahu Musa bahwa Qarun
memberinya uang sebagai imbalan atas fitnah yang ditebarkannya terhadap Musa.
Mendengar itu, Musa mendoakan buruk buat Qarun. Kemudian Allah SWT berkehendak
untuk mendatangkan mukjizat di saat yang tepat yang menjelaskan kepada manusia
bahwa Dia Maha kuasa, Maha kuat, dan Maha Perkasa, dan bahwa harta hanya
sebagian ujian dan fitnah, bukan sebagai suatu keutamaan yang dengannya manusia
dapat dinilai.
Mukjizat
yang Allah SWT turunkan adalah membinasakan Qarun dan menenggelamkan rumahnya
dan hartanya. Qarun keluar untuk menemui kaumnya dengan menampakkan pesona
dunianya. Lalu bumi terbelah di bawah kakinya dan Qarun pun tersungkur di bumi.
Kami tidak mengetahui apakah itu gempa yang pertama kali terjadi atau itu
adalah gempa yang Allah SWT perintahkan kepada bumi untuk terjadi. Yang kita
ketahui adalah bahwa bumi terbelah dan ia menelan Qarun. Bumi menenggelamkan
istana-istana Qarun, hewan-hewan ternaknya, emasnya, peraknya dan semua
kekayaannya serta orang dekatnya.
Sebagian
dongeng mengatakan bahwa itu terjadi di Fuyum, dan danau Qarun adalah yang
dikenal orang-orang Mesir dengan nama ini. Ia adalah tempat yang dihuni oleh
Qarun dan menjadi tempat istananya dan tempat menyimpan hartanya. Alhasil,
Al-Qur'an al-Karim tidak menentukan tempat datangnya azab ini dan tidak juga
menyebut kapan itu terjadi. Al-Qur'an hanya menceritakan apa yang terjadi.
Tentu penentuan tempat dan waktu bukan sesuatu yang penting tetapi yang penting
adalah pelajaran yang terjadi itu.
Allah SWT berfirman dalam surah
al-Qhashash:
"Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia
berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya
perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah
orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: 'Janganlah
kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu
membanggakan diri.' Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kabahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. Qarun berkata: 'Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu,
karena ilmu yang ada padaku.' Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasannya Allah
sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya,
dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidakkah perlu ditanya kepada
orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qarun
kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki
kehidupan dunia: 'Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah
diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan
yang besar. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: 'Kecelakaan yang
besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman
dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali orang-orang yang
sabar.' Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak
ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah, dan
tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). Dan jadilah
orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu, berkata:
"Aduhai benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki
dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan
karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai
benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).' Negeri
akhirat itu. Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri
dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi
orang-orang yang bertakwa. " (QS. al-Qashash: 76-83)
Orang-orang
dahulu banyak membicarakan ilmu ini yang Qarun mengklaim bahwa ia diberi ilmu
itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa itu adalah ilmu kimia yang dengannya
Qarun mampu mengubah tembaga menjadi emas. Sebagain lagi mereka mengatakan
bahwa Qarun mengetahui ismullah al-A'zham (nama Allah yang agung) lalu ia
menggunakannya untuk mengubah bahan-bahan itu menjadi emas. Tetapi orang-orang
yang berakal dari kalangan orang-orang dahulu membantah hal itu. Menurut
mereka, Qarun tidak mengetahui ismullah al-A'zham. Qarun adalah seorang munafik.
Mereka juga tidak percaya bahwa Qarun dapat membuat racikan kimia.
Kami
kira, ini semua adalah dongengan semata yang tidak layak untuk menjelaskan
sebab-sebab kekayaannya. Menurut hemat kami, Qarun adalah seorang yang lalim di
mana ia melakukan pekerjaan yang tidak sehat. Dan boleh jadi ia memanfaatkan
persahabatan dengan Fir'aun untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas dari Fir'aun.
Dan karena persahabatan itu, ia berani menentang Musa. Qarun melakukan
kejahatan di sana-sini dan karenanya ia mengatakan bahwa harta yang
diperolehnya adalah hasil dari kerja kerasnya dan ilmunya. Qarun telah membuat
kebohongan dan kelaliman dan ia mendapatkan kekayaan dengan cara-cara yang
tidak sehat.
Penyimpangan
dari keimanan kepada Allah SWT meskipun seujung rambut pada akhirnya menyeret
manusia kepada sikap kesombongan. Manusia itu akan menentang kebenaran dan ia
tidak mampu lagi mengikuti kebenaran sehingga pada gilirannya sesuatu yang
bohong pun akan menjadi laksana sesuatu yang realis-tis dan tidak perlu lagi
dipersoalkan. Belum lama Qarun menda-patkan siksa sehingga orang-orang mukmin
yang mengikuti Nabi Musa merasakan kelapangan yang sebelumnya mereka merasa
tertindas. Orang-orang Mesir dan anak-anak Israil menyaksikan mukjizat ini.
Akhirnya,
pertentangan antara Fir'aun dan Nabi Musa mencapai puncaknya. Fir'aun meyakini
bahwa Musa sangat mengancam kekuasaannya. Musa—sebagaimana nabi-nabi yang
lain—membawa ajarannya dengan penuh kelembutan tetapi ketika ia berhadapan
dengan puncak kejahatan dan sumber-sumber yang lalim maka ia tidak segan-segan
untuk menghancurkannya. Nabi Musa menantang sumber kejahatan di zamannya, yaitu
Fira'un. Kemudian Fir'aun melontarkan ide untuk membunuh Musa. Fir'aun mengira
bahwa membunuh Musa adalah cara satu-satunya untuk menyelesaikan masalahnya:
"Dan berkata Fir'aun (kepada pembesar-pembesarnya):
'Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena
sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan
di muka bumi.'" (QS. al-Mu'min: 26)
Kita
perhatikan bahwa Fir'aun berusaha untuk mencegah orang-orang yang menuju
kebenaran; Fir'aun berusaha memberhentikan tugas para nabi; ia berusaha
menyesatkan manusia dengan mengatakan bahwa justru Musa yang ingin menyesatkan
mereka; ia mengusulkan kepada para menterinya dan para pembesarnya untuk
membiarkannya membunuh Musa. Tentu ia tidak membunuh Musa dengan tangannya
sendiri tetapi ia hanya sekadar melontarkan pikiran untuk membunuhnya di depan
mereka dan yang melaksanakan hal tersebut adalah para pejabat istana. Kami kira
Haman sangat berperan dalam pelaksanaan ide ini. Kemudian terbentuklah kelompok
orang-orang munafik yang mendukung ide Fir'aun ini.
Ide
tersebut hampir segera dibenarkan kalau tidak ada seorang dari keluarga
Fir'aun. Ia adalah seorang lelaki dari kalangan pejabat negara yang terpandang.
Al-Qur'an tidak menyebutkan namanya karena namanya tidak begitu penting dan
begitu juga ia tidak menyebutkan sifatnya karena sifatnya tidak begitu penting.
Al-Qur'an hanya menceritakan keadaan lelaki ini yang menyembunyikan
keimanannya. Ia berbicara di tengah-tengah perkumpulan yang di situ disampaikan
ide untuk membunuh Musa. Kemudian ia menghentikan ide gila itu dan berusaha
meruntuhkan ide itu. Ia berkata bahwa Musa hanya mengatakan bahwa Allah SWT adalah
Tuhannya, lalu untuk mendukung pernyataannya itu ia membekali dirinya dengan
bukti-bukti yang jelas yang menunjukkan bahwa ia benar-benar seorang rasul.
Kemudian ada dua kemungkinan dan tidak ada kemungkinan ketiga: pertama bahwa
Musa adalah seorang pembohong, kedua ia seorang yang benar. Jika ia seorang
pembohong maka kebohongannya itu akan kembali kepada dirinya sendiri dan ia
tidak melakukan sesuatu yang karenanya ia harus dibunuh. Namun jika ia benar
lalu kita membunuhnya maka gerangan apa yang akan menjamin kita dari
keselamatan terhadap azab yang dijanjikannya? Seorang mukmin yang
menyembunyikan keimanannya itu berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya hari
ini kita berada di tempat-tempat kekuatan sebagaimana yang dialami oleh Qarun
di mana ia memiliki kekayaan dan kekuatan kemudian terjadilah apa yang terjadi
padanya. Siapakah yang akan menyelamatkan kita dari azab Allah SWT ketika
datang? Siapakah yang dapat menolong kita dari siksaan-Nya jika menimpa kita?
Tindakan melampaui batas kita dan usaha kita untuk membohongkan kebenaran telah
membuat kita rugi."
Perkataan
lelaki mukmin itu memuaskan para hadirin. Orang lelaki itu adalah seseorang
yang tidak begitu menampakkan loyalitasnya kepada Fir'aun. Ia bukan dari
kalangan pengikut Musa. Tampaknya ia berbicara dengan motifasi untuk
mempertahankan kekuasaan Fir'aun, dan menurutnya tidak ada sesuatu yang dapat
menjatuhkan kekuasaan Fir'aun seperti kebohongan dan tindakan yang melampaui
batas dan membunuh jiwa-jiwa yang tidak berdosa.
Dari
sinilah kata-kata lelaki mukmin itu memancarkan kekuatannya yang cukup
mempengaruhi Fir'aun, para menterinya, dan anak buahnya. Meskipun ide Fir'aun
untuk membunuh Musa digagalkan oleh lelaki mukmin itu, namun Fir'aun mengatakan
kata-kata bersejarahnya yang kemudian menjadi contoh dari sikap orangorang yang
lalim:
"Fir'aun berkata: Aku tidak mengemukakan kepadamu,
melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu
selainjalan yang benar.'" (QS. al-Mu'min: 29)
Demikianlah
pernyataan para penguasa yang lalim ketika mereka menghadapi masyarakat mereka.
Aku tidak melihat pendapatku kecuali sesuai dengan apa yang aku pertimbangkan.
Ini adalah pendapat kami yang khusus. Ia merupakan pendapat yang membimbing
kalian menuju jalan petunjuk, sedangkan pendapat lainnya salah. Oleh karena
itu, kita harus tetap melawannya dan membinasakannya. Allah SWT menceritakan
sikap demikian ini dalam surah Ghafir:
"Dan seorang laki-laki yang beriman di antara
pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: 'Apakah kamu
akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: 'Tuhanku ialah Allah,'
padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari
Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa)
dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang
diancamhannya kepadamu akan menimpamu.' Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (Musa berkata): 'Hai kaumku,
untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang
akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita!' Fir'aun
berkata: 'Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa saja yang aku pandang
baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.'"
(QS. al-Mu'min 28-29)
Perdebatan
tersebut tidak berhenti pada batas ini. Fir'aun mengutarakan kata-katanya
tetapi seorang mukmin itu tetap tidak puas dengannya, kemudian lelaki mukmin
itu kembali berbicara:
"Dan orang yang beriman itu berkata: 'Hai kaumku,
sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti kehancuran
golongan yang bersekutu. (Yakni) seperti keadaan kaum Nuh, Ad Tsamud dan
orang-orang yang datang sesudah mereka. Dan Allah tidak akan menghendaki
berbuat kelaliman terhadap hamba-hamba-Nya. Hai kaumku, sesungguhnya aku
khawatir terhadapmu akan siksaan hari panggil-memanggil, (yaitu) hari (ketika)
kamu (lari) berpaling ke belakang, tidak ada bagimu seorang pun yang
menyelamatkan dirimu dari (azab) Allah, dan siapa yang disesatkan Allah,
niscaya tidak ada baginya seorang pun yang akan mernberi petunjuk. Dan
sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa heterangan-keterangan,
tetapi kamu senantiasa dalam keraguan ten-tang apa yang dibawanya kepadamu,
hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: 'Allah tidak akan mengirimkan
seorang (rasul pun) sesudahnya. Demikianlah Allah menyesathan orang-orang yang
melampaui batas dan ragu-ragu. (Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan
ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan
(bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah
Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang." (QS. al-Mu'min: 30-35)
Kita
perhatikan dalam pembicaraan tersebut terdapat perbedaan dengan pembicaraan sebelumnya.
Lelaki mukmin itu berusaha menguraikan pada pembicaraan akhirnya tentang
bukti-bukti sejarah. Ia menyampaikan kepada Firaun dan kaumnya
argumentasi-argumentasi yang cukup untuk menunjukkan kebenaran Musa. Ia
memperingatkan mereka agar jangan sampai mengganggu Musa. Sebelum masa mereka,
terdapat umat-umat yang menentang rasul-rasul yang dikirim oleh Allah SWT, lalu
Allah SWT menghancurkan mereka. Mereka adalah kaum Nuh, kaum 'Ad, dan kaum
Tsamud. Zaman mereka tidak terlalu jauh dengan zaman sekarang.
Sejarah
Mesir menunjukkan bukti kebenaran ucapannya di mana Nabi Yusuf datang dengan
membawa bukti yang jelas kemudian terdapat orang-orang yang merugikan dakwahnya
lalu mereka beriman padanya setelah keselamatan hampir saja tercabut dari
mereka. Lalu apa keanehan di balik pengutusan para rasul dari Allah SWT?
Sejarah masa lalu harus menjadi bahan renungan. Bukankah kelompok minoritas
orang-orang mukmin memperoleh kemenangan ketika mereka benar-benar beriman atas
kelompok mayoritas yang kafir? Bukankah Allah SWT telah menghancurkan orang-
orang kafir? Allah SWT menenggelamkan mereka dengan topan dan Allah SWT
menghancurkan mereka dengan kilat atau Allah SWT menenggelamkan mereka dalam
bumi. Apa yang kita tunggu sekarang dan dari mana kita tahu bahwa usaha kita
membela Fir'aun mati-matian akan membawa keuntungan bagi kita semua?
Pembicaraan
lelaki mukmin yang intelektual itu mengandung beberapa peringatan yang
mengerikan. Tampaknya ia berhasil memuaskan para hadirin bahwa ide membunuh
Musa adalah ide yang tidak aman. Atau dengan kata lain, itu adalah ide yang
yang tidak menjamin keselamatan mereka. Oleh karena itu, ide tersebut hendaklah
ditinggalkan. Setelah itu, lelaki mukmin itu berusaha untuk menunjukkan kepada
mereka kebenaran yang dibawa oleh Musa. Ia yang semula menggunakan bahasa
isyarat, kini berusaha untuk menggunakan bahasa yang terang dan gamblang. Ia
telah berani menampakkan kebenaran:
"Orang yang beriman itu berkata: 'Hai kaumku, ikutilah
aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya
kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat
itulah negeri yang kekal. Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia
tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa
mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam
keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya
tanpa hisab.'" (QS. al-Mu'min: 38-40)
Akhirnya, keimanan lelaki mukmin itu
pun tersingkap. Ia diketahui sebagai seorang mukmin yang tidak lagi
menyembunyikan keimanannya. Pada akhir pembicaraannya, ia menegaskan:
"Hai kaumku, bagaimanakah kamu, aku menyeru kamu
kepada keselamatan, tetapi kamu menyeru aku ke neraka? (Mengapa) kamu menyeruku
kafir kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan apa yang tidak aku ketahui
padahal aku menyeru kamu (beriman) kepada Yang Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun? Sudah pasti bahwa apa yang kamu seru supaya aku (beriman) kepadanya
tidak dapat memperkenankan seruan apa pun baik di dunia maupun di akhirat. Dan
sesungguhnya kita kembali kepada Allah dan sesungguhnya orang-orang yang
melampaui batas, mereka itulah penghuni neraka. Kelak kamu akan mengingat
kepada apa yang kukatakan kepada kamu. Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya." (QS. al-Mu'min: 41-44)
Lelaki
mukmin itu mengakhiri pembicaraan dengan kata-kata yang berani ini. Kami kira,
Allah SWT telah mengirim lelaki mukmin ini dari kalangan Fir'aun agar Fir'aun
melupakan Musa. Konteks Al-Qur'an menyingkap bahwa lelaki ini merupakan salah
seorang intelektual Mesir yang mengetahui sejarah dan mampu menganalis serta
memiliki kemampuan untuk menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa yang
lain sehingga ia mengetahui sebab-sebab dan akhir dari suatu peristiwa.
Orang
yang beriman itu mampu menggiring akal mereka menuju kebenaran. Fir'aun
tersibukkan dengan lelaki mukmin ini hingga beberapa saat ia lupa untuk
memikirkan Musa. Lelaki mukmin itu berasal dari keluarga Fir'aun. Ia adalah
kerabat dekatnya dan salah seorang pejabat negaranya. Keimananannya terhadap
kebenaran menjadikan istana Fir'aun terbagi menjadi dua kubu: kubu pro Musa dan
kubu anti Musa. Ini berarti kemenangan yang besar bagi Musa. Karena itu,
membunuh lelaki mukmin itu akan mengganggu atau menggoyangkan keberadaan
cendikiawan Mesir di mana ia adalah salah seorang dari mereka.
Demikianlah,
Fir'aun menghadapi problem yang rasa-rasanya sulit atau mustahil untuk
terpecahkan. Membunuh lelaki mukmin itu tidak akan memberikan dampak yang baik,
begitu juga membiarkannya hidup juga tidak rnemberikan dampak yang baik.
Akhirnya, mereka membikin suatu konspirasi untuk menyingkirkannya. Kemudian di
sinilah bimbingan Allah SWT diturunkan:
"Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya
mereka, dan Fir'aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk." (QS. al-Mu'min: 45)
Untuk
beberapa saat, Fir'aun disibukkan dengan problem baru ini, tetapi Fir'aun
adalah Fir'aun. Ia tetap memakai busana kesombongannya; ia tetap menyiksa Bani
Israil, menghina mereka dan menodai kehormatan wanita-wanita serta membunuh
anak-anak. Akhirnya, tibalah waktunya bagi Allah SWT untuk bersikap keras
kepada keluarga Fir'aun. Allah SWT menurunkan bencana kepada mereka dan
menakut-nakuti mereka dengan azab sehingga mereka mengurungkan niat untuk
menghancurkan Musa dan laki-laki mukmin itu, dan sebagai pembuktian atas
kebenaran kenabian Musa. Allah SWT menurunkan tahun-tahun yang kering dan
tandus kepada orang-orang Mesir di mana bumi tampak kering kerontang dan sungai
Nil pun mengering hingga buah-buahan jarang sekali ditemukan dan harga semakin
mencekik leher. Akibatnya, kelaparan melanda di sana-sini. Dalam keadaan
demikian, orang-orang Mesir menganggap bahwa kehidupan mereka terancam. Adalah
hal yang maklum bahwa siksa yang seperti ini akan selalu menimpa manusia ketika
mereka berpaling dari keimanan dan takwa.
Allah SWT berfirman:
"Jikalau sekitarnya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya." (QS. al-A'raf: 96)
Hukum
yang lama diberlakukan atas penduduk Mesir karena dua sebab: pertama, sikap
dingin mereka terhadap pembunuhan yang dilakukan Fir'aun kepada para tukang
sihir, kedua, sikap dingin mereka terhadap kelaliman penguasa mereka. Aneh
sekali ketika kaum Fir'aun mengembalikan masa paceklik ini dan musibah
kelaparan ini pada suatu sebab yang sangat mengherankan. Mereka mengatakan
bahwa apa yang menimpa mereka karena kesialan yang dibawa oleh Musa. Kelaparan
yang melanda mereka, kefakiran, dan kekurangan buah-buahan yang mereka rasakan
saat ini adalah disebabkan oleh adanya Musa di tengah-tengah mereka.
Kemudian
kefakiran mereka semakin meningkat dan mereka semakin menjauh dari kebenaran.
Mereka meyakini bahwa sihir Musa adalah yang bertanggung jawab terhadap apa
yang menimpa mereka pada musim paceklik ini. Mereka mengira dengan kebo dohan
mereka bahwa kekeringan yang melanda negeri mereka adalah sebagai alat atau
kekuatan yang digunakan oleh Musa untuk menyihir mereka. Namun perlu
diperhatikan bahwa pemikiran demikian tidak mewakili pemikiran umumnya
masyarakat saat itu, tetapi pemikiran ini datang dan dihembuskan oleh
kelompok-kelompok yang berkuasa. Akhirnya, Allah SWT menurunkan azab yang lebih
keras kepada mereka. Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir'aun dan)
kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan
buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran. Kemudian apabila datang kepada
mereka kemakmuran, mereka berkata: 'Ini adalah karena (usaha) kami.' Dan jika
mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan
orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu
adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan nereka tidak mengetahuinya.
Mereka berkata: 'Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk
menyihir kami dengan keterangan itu maka, kami sekali-kali tidak akan beriman
kepadamu.' Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan
darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan
mereka adalah kaum yang berdosa. (QS. al-A'raf: 130-133)
Allah
SWT mengirimkan berbagai macam azab dengan harapan agar mereka kembali kepada
Allah SWT dan melepaskan Bani Israil serta membiarkan mereka pergi bersama
Musa. Allah SWT mengirim topan kepada mereka. Setelah masa paceklik, datanglah
tahun yang penuh dengan air sehingga bumi pun tenggelam dengan air sehingga
mereka tidak dapat bercocok tanam. Setelah mereka disiksa dengan sedikitnya air
maka kali ini mereka mendapatkan limpahan air yang luar biasa. Mereka segera
datang kepada Nabi Musa sambil berkata:
"Dan ketika mereka ditimpa azab (yang telah
diterangkan itu) mereka pun berkata: 'Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada
Tuhanmu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu.
Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dari kami, pasti kami akan
beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.'"
(QS. al-A'raf: 134)
Kemudian
Nabi Musa berdoa kepada Tuhannya sehingga azab disingkirkan dari mereka. Air
yang memancar dengan dahsyat itu berhenti dan bumi kembali mengambil air yang
cukup sehingga layak untuk dibuat bercocok tanam. Nabi Musa meminta kepada
mereka untuk mewujudkan janji mereka, yaitu melepaskan tawanan Bani Israil.
Tapi mereka tidak memenuhinya. Kemudian datanglah tanda kebesaran yang lain
yaitu dalam bentuk turunnya belalang. Allah SWT mengirim sekawanan belalang
yang memenuhi tanaman dan buah-buahan. Ketika belalang-belalang itu terbang
maka tanaman-tanaman mereka dan buah-buahan mereka tersembunyi dari pandangan
karena saking banyaknya belalang-belalang itu. Belalang itu memakan makanan
orang-orang Mesir.
Melihat
keadaan demikian, mereka pun pergi ke Musa dan meminta kepadanya agar berdoa
kepada Tuhannya agar menyingkirkan siksaan ini dari mereka dan mereka berjanji
untuk melepaskan padanya Bani Israil. Nabi Musa pun lagi-lagi berdoa kepada
Tuhannya sehingga Allah SWT menyingkirkan azab itu dari mereka. Dan
belalang-belalang itu kembali ke tempat asalnya. Mereka dapat menanami kembali
bumi dengan baik. Lalu Nabi Musa meminta kepada mereka untuk melepaskan Bani
Israil namun mereka menunda-nundannya sehingga Nabi Musa mengetahui bahwa
sebenarnya mereka tidak serius untuk memenuhi janji mereka.
Kemudian
datanglah siksaan Allah SWT yang lain, yaitu dikirim-Nya berbagai macam hama.
Tersebarlah hama yang membawa penyakit. Lagi-lagi mereka datang kepada Nabi
Musa dan mengulangi janji mereka dan Nabi Musa pun berdoa kepada Allah SWT.
Kali ini mereka pun tetap mengingkari janji mereka. Lalu datanglah siksaan
Allah SWT yang lain dalam bentuk dikirim-Nya katak di mana bumi dipenuhi dengan
katak. Katak itu melompat-lompat ke sana-sini dan memenuhi makanan orang-orang
Mesir serta berada di rumah mereka sehingga mereka sangat terganggu dengan
kehadiran katak-katak liar itu. Lagi-lagi mereka menemui Nabi Musa dan kembali
mengulangi janji mereka dan meminta padanya agar ia berdoa kepada Tuhannya agar
Allah SWT menyingkirkan azab dari mereka. Tetapi mereka pun tetap mengingkari
janji mereka.
Selanjutnya,
Allah SWT menurunkan azab yang lain yaitu darah di mana sungai Nil berubah
menjadi darah sehingga tidak seorang pun dapat meminumnya. Kita ketahui bahwa
mukjizat-mukjizat pertama berupa sesuatu yang biasa terjadi pada tanaman.
Berkurangnya air Nil atau bertambahnya air tersebut atau serangan belalang atau
hama dan katak, semua ini adalah bukan hal baru bagi orang-orang Mesir. Yang
baru adalah kejadian ini terjadi dengan sangat tiba-tiba dan sangat mencekam.
Sedangkan mukjizat atau azab yang lain adalah azab yang tidak biasa terjadi di
daerah Mesir, yaitu azab yang belum pernah terjadi sebelumnya di mana air sungai
Nil berubah menjadi darah.
Perubahan
sungai itu menjadi darah hanya terjadi di kalangan orang-orang Mesir sedangkan
Musa dan kaumnya dapat meminum airnya seperti biasanya. Namun ketika seorang
Mesir memenuhi tempat gelasnya dengan air maka ia akan mendapati bahwa gelasnya
penuh dengan darah. Melihat peristiwa tersebut, orang-orang Mesir terguncang
sebagaimana istana Fir'aun juga terguncang melihat siksa yang mengerikan dan
baru ini. Lagi-lagi mereka menuju ke Nabi Musa dan meminta kepadanya agar berdoa
kepada Tuhannya dan mereka berjanji pada kali ini untuk membebaskan orang-orang
Bani Israil. Nabi Musa pun berdoa kepada Tuhannya sehingga azab itu
disingkirkan dari orang-orang Mesir. Meski demikian. istana Fir'aun tidak
mengizinkan Musa untuk menemui kaumnya dan pergi bersama mereka. Lalu bagaimana
sikap Fir'aun sendiri? Fir'aun tetap menunjukkan pembangkangannya dan
kesombongannya. Fir'aun mengumumkan di tengah-tengah kaumnya bahwa dia tuhan.
Bukankah—kata Fir'aun—dia memiliki kerajaan Mesir dan sungai-sungai ini
mengalir di bawah kekuasaannya? Fir'aun memberitahu bahwa Musa adalah tukang
sihir yang bohong dan ia hanya seorang fakir yang tidak mampu menggunakan satu
kalung emas dan satu gelang emas.
Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan
membawa mukjizat-mukjizat Kami kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya. Maka
Musa berkata: 'Sesungguhnya aku adalah dari utusan Tuhan seru sekalian alam.
Maka tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat-mukjizat Kami
dengan serta merta mereka menertawakannya. Dan tidakkah Kami perlihatkan kepada
mereka sesuatu mukjizat kecuali mukjizat itu lebih besar dari mukjizat-mukjizat
sebelumnya. Dan Kami timpakan kepada mereka azab supaya mereka kembali (kejalan
yang benar). Dan mereka berkata: 'Hai ahli sihir berdoalah kepada Tuhanmu untuk
(melepaskan) kami sesuai dengan apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu;
sesungguhnya hami (jika doamu dikabulkan) benar-benar akan nienjadi orang yang
mendapat petunjuk. Maka tatkala Kami menghilangkan azdb itu dari mereka, dengan
serta merta mereka memungkiri (janjinya). Dan Fir'aun berseru kepada kaumnya
(seraya) berkata: 'Hai kaumku, bukankah herajaan Mesir ini kepunyaanku dan
(bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?'
Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat
dijelaskan (perkataannya)? Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas
atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya.' Maka Fir'aun
mempengaruhi kaumnya dengan (perkataannya itu) lalu mereka patuh kepadanya.
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik." (QS. az-Zukhruf: 46-54)
Perhatikanlah
ungkapkan Al-Qur'an: Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya dengan (perkataannya
itu) lalu mereka patuh kepadanya. Fir'aun memenjara akal mereka, membelenggu
kebebasan mereka, dan menutup masa depan mereka yang cerah. Fir'aun menodai
kemanusiaan mereka sehingga mereka menaatinya. Bukankah ketaatan ini aneh?
Namun keanehan ini hilang ketika kita mengetahui bahwa mereka adalah
orang-orang yang fasik. Kefasikan menja-dikan seseorang tidak peduli dengan
masa depannya dan kepentingannya serta urusannya. Pada akhirnya, ia akan
mendapati kehancuran. Demikianlah yang terjadi pada kaum Fir'aun.
Allah SWT berfirman:
"Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami
menghukum mereha lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami
jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang
kemudian." (QS. az-Zukhruf: 55-56)
Tampak
jelas bahwa Fir'aun tidak beriman kepada Musa. Fir'aun tidak menghentikan usaha
untuk menyiksa Bani Israil dan ia tetap merendahkan kaumnya. Maka melihat
kenyataan yang demikian, Musa dan Harun berdoa buruk untuk Fir'aun:
"Musa berkata: 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau
telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya dengan perhiasan dan
harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami, akibatnya mereka
menyesatkan (manusia) darijalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda
mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka
melihat siksaan yang pedih.' Allah berfirman: 'Sesungguhnya telah diperkenankan
permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua padajalan yang lurus dan
janganlah sekali-kali mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.'"
(QS. Yunus: 88-89)
Kemudian
datanglah izin kepada Nabi Musa untuk meninggalkan Mesir dengan disertai oleh
kaumnya yang mengikutinya. Sikap kaum Nabi Musa sangat aneh. Tidak semua
kaumnya beriman kepadanya. Allah SWT berfirman:
"Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melaikan
pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir'aun dan
pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir'aun itu
sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orangyang
melampaui batas." (QS. Yunus: 83)
Selesailah
urusan. Allah SWT telah menetapkan untuk membuat suatu keputusan hukum terhadap
Fir'aun. Allah SWT memerintahkan kepada Musa untuk keluar dan mengizinkan Bani
Israil untuk pergi. Mereka bersiap-bersiap untuk keluar dan pergi bersama Musa.
Mereka membawa perhiasan-perhiasan mereka lalu datanglah malam kepada mereka.
Nabi Musa berjalan bersama mereka dan menyeberangi Laut Merah dan menuju ke
negeri Syam. Sementara itu, utusan Fir'aun dan intelejennya bergerak. Sampailah
berita kepada Fir'aun bahwa Musa telah pergi beserta kaumnya. Fir'aun
mengeluarkan perintahnya di segenap penjuru kota agar pasukan yang besar
berkumpul. Fir'aun menyampaikan alasan yang aneh di balik pengumpulan tentara
itu sebagaimana disampaikan oleh Al-Qur'an:
"Dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang
menimbulkan amarah kita. " (QS. asy-Syu'ara': 55)
Fir'aun
telah naik pitam melihat aksi Musa. "Secara pribadi aku telah marah
padanya. Jumlah mereka sedikit namun kemarahan kita terhadap mereka sungguh banyak.
Kalau demikian, ini adalah peperangan." Fir'aun benar-benar seorang
penjahat kelas kakap. Ia tidak berusaha menyembunyikan niatnya di balik
kata-kata besarnya. Iblisalnya, secara diplomatis ia dapat mengatakan bahwa
keamanan kerajaan terancam atau sistem ekonomi akan hancur jika para pekerja
ini yang digaji dengan sangat murah ini akan keluar. Fir'aun tidak mengatakan
semua itu tetapi ia hanya menyatakan bahwa ia sedang emosi. Nabi Musa
membuatnya naik pitam dan ini sudah cukup untuk mengeluarkan perintah agar para
tentara dikumpulkan. Manusia membenarkan tindakan Fir'aun untuk seribu kalinya
setelah membohongkannya. Tiada seorang pun yang menentangnya dan tidak ada
seorang pun yang mempersoalkan sebab sepele di balik pengumpulan tentara itu.
Akhirnya,
bergeraklah tentara Fir'aun dengan membawa persenjataan yang lengkap dan mereka
berusaha mengejar Nabi Musa. Fir'aun duduk di atas kendaraan perangnya dan
mengawasi tentara di sekitamya sambil tersenyum. Barangkali ia membayangkan,
jika sejak semula ia melakukan itu maka gerak-gerik Musa akan dapat
dipatahkannya dan ia dapat membunuhnya. Alhasil, ia sekarang berada di jalan
untuk menangkap Musa dan membunuhnya dan menyelesaikan masalah seluruhnya.
Nabi
Musa berdiri di depan Laut Merah. Tampak dari kejauhan bahwa debu yang
ditebarkan oleh tentara Fir'aun mulai mendekat. Lalu setelah itu tampak
panji-panji tentara. Melihat hal itu, kaum Nabi Musa merasakan ketakutan.
Mereka menghadapi situasi sangat sulit dan berbahaya: di depan mereka ada laut
sementara di belakang mereka ada musuh. Mereka tidak memiliki kesempatan
sedikit pun untuk berperang dengan pasukan Fir'aun karena mereka hanya terdiri
dari wanita-wanita, anak-anak kecil, dan orang-orang lelaki yang tidak
bersenjata. Fir'aun akan menyembelih mereka semuanya.
Tiba-tiba
terdengarlah teriakan dari kaum Nabi Musa: "Fir'aun akan menyusul kita dan
menangkap kita." Nabi Musa berusaha menenangkan mereka sambil berkata:
"Tidak. Sesungguhnya Tuhanku bersamaku dan Dia pun akan
membimbingiku." Kita tidak mengetahui bagaimana perasaan Nabi Musa saat
itu atau apa yang dipikirkannya. Yang jelas, ia tidak mendapat kepercayaan
seperti ini kecuali setelah Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia memukulkan
tongkatnya ke lautan itu. Kemudian Nabi Musa pun memukulkan tongkat yang
dibawanya kepada lautan itu.
Demikianlah
bahwa kehendak Allah SWT pasti terlaksana meskipun harus bertentangan dengan
logika manusia. Allah SWT ingin menunjukkan mukjizat, kemudian Allah SWT
mewahyukan kepada Musa untuk memukulkan tongkatnya kepada lautan. Pemukulan
tongkat terhadap lautan hanya sekadar sebab yang kemudian diikuti dengan
terbelahnya lautan. Belum sampai Nabi Musa mengangkat tongkatnya sehingga
malaikat Jibril turun ke bumi lalu Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke lautan.
Tiba-tiba laut itu terbelah menjadi dua bagian: satu bagian menjadi kering
kerontang di mana di sebelah kanannya terdapat ombak dan di sebelah kirinya
juga terdapat ombak. Nabi Musa bersama kaumnya berjalan sehingga mereka dapat
melewati lautan. Ini adalah mukjizat yang sangat besar. Ombak bergelombang:
meninggi dan menurun sehingga tampak ada tangan tersembunyi yang mencegahnya
agar jangan sampai menenggelamkan Nabi Musa atau bahkan membasahinya sekalipun.
Demikianlah
Nabi Musa dan kaumnya berhasil melewati lautan. Sementara itu, Fir'aun sampai
ke lautan. Ia menyaksikan mukjizat ini. Ia melihat lautan terdapat jalan
keringyang terbelah menjadi dua. Fir'aun saat itu merasakan ketakutan tetapi
lagi-lagi keras kepalanya dan pembangkangannya tetap menyalakan api peperangan sehingga
ia menyuruh pasukannya untuk maju. Ketika Musa selesai menyeberangi lautan, ia
menoleh ke lautan dan ia ingin memukulkan dengan tongkatnya sehingga kembali
sebagaimana mestinya, tetapi Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia membiarkan
lautan seperti semula. Seandainya ia memukulkan tong-katnya kepada lautan dan
laut itu kembali seperti semula niscaya Nabi Musa akan selamat dan Fir'aun pun
akan selamat, sedangkan Allah SWT telah berkehendak untuk menenggelamkan
Fir'aun. Oleh karena itu, Musa diperintahkan untuk membiarkan lautan seperti
semula. Allah SWT mewahyukan kepadanya:
"Dan biarlah laut itu tetap terbelah. Sesungguhnya
mereka adalah tentara yang akan ditenggelamkan." (QS. ad-Dukhan: 24)
Fir'aun bersama tentaranya sampai di
tengah lautan. Ia sudah melewati separuhnya dan ia akan sampai ke tepi yang
lain. Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada Jibril. Lalu Jibril menggerakkan
ombak sehingga ombak itu menerpa Fir'aun dan menenggelamkannya beserta
tentaranya. Fir'aun dan tentaranva tenggelam. Pembangkangan telah tenggelam
sedangkan keimanan kepada Allah SWT telah selamat.
Ketika
tenggelam, Fir'aun melihat tempatnya di neraka. Kini. ia sadar dan tabir telah
terkuak di depannya. Fir'aun telah menjemput sakaratul maut. Ia telah menyadari
bahwa Musa adalah seorang yang benar dan ia telah menyia-nyiakan dirinya dengan
menentangnya dan berusaha memeranginya. Fir'aun berusaha menunjukkan
keimanannya.
"Hingga bila Fir'aun itu hampir tenggelam berkatalah
dia: 'Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh
Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah).'" (QS. Yunus: 90)
Taubat Fir'aun tidak berguna dan tidak
diterima; taubat yang justru disampaikan ketika ia menyaksikan azab dan akan
memasuki pintu kematian. Jibril berkata kepadanya:
"Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal
sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan hamu termasuk orang-orang
yang berbuat kerusakan." (QS. Yunus: 91)
Yakni, tidak ada taubat bagimu. Sungguh
telah selesai waktu taubat bagimu dan engkau telah binasa. Selesailah urusan
ini dan tiadalah keselamatan bagimu. Yang selamat hanyalah tubuhmu dan engkau
akan dilemparkan oleh ombak ke tepi sehingga tubuhmu sebagai bukti kebesaran
Allah SWT bagi orang-orang yang hidup sesudahmu:
"Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya
kamu dapat menjadi peringatan bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan
sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan
Kami." (QS. Yunus: 92)
Apa yang terjadi pada Fir'aun merupakan
sunatullah yang abadi yang terjadi sebagai pelajaran bagi hamba-hamba Allah
SWT.
Allah SWT berfirman:
"Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka
berkata: 'Kami beriman hepada Allah saja dan kami kafir kepada
sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.'" (QS. al-Mu'min: 84)
Allah SWT menceritakan sikap Fir'aun
bersama Musa dalam firman-Nya:
"Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa:
'Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), karena
sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli. Kemudian Fir'aun mengirimkan orang
yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. (Fir'aun berkata): 'Sesungguhnya
mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil kecil, dan sesungguhnya mereka
membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita, dan sesungguhnya kita benar-benar
golongan yang selalu berjaga-jaga.' Maka Kami keluarkan Fir'aun dari kaumnya
dari taman-taman dan mata air, dan (dari) perbendaharaan dan kedudukan yang
mulia, demikianlah halnya dan Kami anugerahkan semuanya (itu) kepada Bani
Israil. Maka Fir'aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu
matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Musa: 'Sesungguhnya kita benar-benar akan disusul.' Musa
menjawab: 'Sekali-kali kita tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku
besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.' Dan di sanalah Kami
dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang
besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukji-zat)
dan tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang." (QS. asy-Syu'ara': 52-68)
Tersingkaplah
kejahatan dan kelaliman Fir'aun. Ombak lautan menggiring tubuhnya ke tepi. Kami
tidak mengetahui tepi mana yang dimaksud, yang menggiring tubuh seseorang yang
mengaku dirinya sebagai tuhan; seseorang yang tidak ada seorang pun yang berani
menentangnya. Diduga kuat bahwa ombak menggiring jasadnya ke tepi barat lalu
orang-orang Mesir melihatnya dan mengetahui bahwa tuhan mereka yang mereka
sembah, yang mereka taati adalah sekadar seseorang yang tidak mampu menjauhkan
kematian dari lehernya.
Setelah
itu, orang-orang Mesir mengetahui kebenaran secara sempurna. Al-Qur'an al-Karim
tidak menceritakan kepada kita apa yang mereka perbuat setelah jatuhnya rezim
Fir'aun dan setelah tentaranya tenggelam; Al-Qur'an tidak menceritakan kepada
kita bagaimana reaksi mereka setelah Allah SWT menghancurkan apa yang diperbuat
oleh Fir'aun dan kaumnya dan apa yang mereka bangun; Al-Qur'an tidak
menyinggung semua itu; Al-Qur'an justru memfokuskan keadaan Musa dan Harun dan
bagaimana peristiwa yang dialami Bani Israil bersama kedua nabi itu.
Fir'aun
Mesir telah mati. Ia tenggelam di hadapan mata orang-orang Mesir dan Bani
Israil. Meskipun ia telah mati, tetapi pengaruhnya tetap membekas pada jiwa
orang-orang Mesir dan Bani Israil. Sungguh sangat sulit untuk menghilangkan
pengaruh kehinaan yang sekian lama atau sekian tahun tertanam dalam jiwa dan
kemudian jiwa itu menjadi mulia. Fir'aun telah menanamkan pada jiwa Bani Israil
sesuatu yang akan kita ketahui dari ayat-ayat Al-Qur'an. Fir'aun telah
membiasakan mereka untuk mendapatkan kehinaan. Fir'aun telah menghancurkan jiwa
mereka dari dalam. Fir'aun telah merusak suasana rohani mereka yang bersih.
Fir'aun telah merusak fitrah mereka sehingga mereka menyiksa Musa dan menyakiti
Musa dengan sikap penentangan dan kebodohan.
Mukjizat
pembelahan lautan masih segar di pikiran mereka. Pasir-pasir laut yang basah
masih membekas dan masih terdapat dalam sandal-sandal Bani Israil ketika mereka
lewat di depan kaum yang menyembah berhala. Seharusnya mereka menampakkan
kemarahan mereka atas kelaliman terhadap akal, dan mereka memuji kepada Allah
SWT karena mereka mendapatkan petunjuk pada jalan keimanan dan kebenaran.
Tetapi mereka justru menoleh kepada Musa dan meminta kepadanya agar menjadikan
tuhan lain bagi mereka yang dapat mereka sembah seperti orang-orang itu. Mereka
merasa cemburu ketika melihat orang-orang yang menyembah berhala itu dan mereka
pun menginginkan hal yang sama. Mereka merasakan kerinduan kepada hari-hari
syirik yang lalu yang mereka dapati di bawah naungan Fir'aun. Nabi Musa
mengetahui betapa bodohnya mereka.
Allah SWT berfirman:
"Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan
itu, maka setelah mereka sampai pada suatu kaum yang tetap menyembah berhala
mereka, Bani Israil berkata: 'Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan
(berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).' Musa
menjawab: 'Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat
Tuhan).' Sesungguhnya mereka itu akan dihancurhan kepercayaan yang dianutnya
dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab: 'Patutkah aku
mencari Tuhan untuk kamu yang selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah
melebihkan kamu atas segala umat. Dan (ingatlah hai Bani Israil), ketika Kami
menyelamatkan kamu dari (Fir'aun) dan kaumnya, yang mengazab kamu dengan azab
yang sangat jahat, yaitu mereka merribunuh anak-anak lelakimu dan mem-biarhan
hidup wanita-wanitamu. Dan pada yang demikian itu cobaan yang besar dari
Tuhanmu. " (QS. al-A'raf: 138-141)
Musa
berjalan bersama kaumnya di Saina', yaitu suatu gurun yang di dalamnya terdapat
pohon yang dapat melindungi dari sengatan matahari dan di dalamnya terdapat
makanan dan air. Kemudian rahmat Allah SWT turun kepada mereka di mana mereka
mendapatkan al-Manna dan Salwa dan mereka dinaungi oleh awan. Al-Manna adalah
makanan yang rasanya mendekati manis dan ia dihasilkan oleh sebagian
pohon-pohon yang berbuah di mana angin membawa kepada mereka rasa demikian ini
dari daun-daun pohon. Allah SWT juga mengirim kepada mereka as-Salwa, yaitu
salah satu burung yang bernama as-Saman.
Ketika
mereka merasakan kehausan yang sangat saat di Saina' tidak ada setetes air pun
maka Nabi Musa memukulkan dengan tongkatnya kepada batu sehingga batu itu
memancarkan dua belas mata air. Bani Israil terbagi menjadi dua belas cucu maka
Allah SWT mengirim air tersebut kepada setiap kelompok. Meskipun mereka
mendapatkan kemuliaan dan kehormatan yang sedemikian rupa, tetapi lagi-lagi
jiwa mereka yang sakit tidak dapat menyadarkan mereka untuk mensyukuri nikmat-nikmat
ini. Mereka justru mendebat Nabi Musa dan mengatakan bahwa mereka bosan dengan
makanan ini dan mereka ingin memiliki bawang merah dan bawang putih serta
kacang-kacangan. Semua makanan ini adalah makanan tradisional Mesir. Bani
Israil meminta kepada Nabi mereka untuk berdoa kepada Allah SWT dan
mengeluarkan dari bumi makanan-makanan ini. Nabi Musa melihat bahwa mereka
menganiaya diri mereka sendiri, dan Nabi Musa menyadari betapa mereka
merindukan kehinaan mereka saat mereka bersama Fir'aun. Mereka berani menolak
makanan-makanan yang baik dan makanan-makanan yang mulia, dan sebagai gantinya,
mereka malah menginginkan makanan-makanan yang rendah mutunya. Allah SWT
berfirman:
"Dan ingatlah ketika kamu berkata: 'Hai Musa, kami
tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu,
mohon-kanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari
apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu: 'Sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya,
kacang adasnya, dan bawang merahnya.' Musa berkata: 'Maukah kamu mengambil
sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu
kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta.' Lalu ditimpakanlah kepada
mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu
(terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para
nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikianlah itu (tetjadi) karena mereka
selalu berbuat durhaka dan rrwlampaui batas. " (QS. al-Baqarah: 61)
Nabi
Musa berjalan bersama kaumnya menuju Baitul Maqdis. Nabi Musa memerintahkan
kaumnya untuk memasukinya dan memerangi siapa pun yang ada di dalamnya serta
berusaha menguasai tempat itu. Demikianlah telah datang ujian terakhir kepada
mereka setelah mereka menyaksikan mukjizat dan ayat-ayat Allah SWT serta
hal-hal yang luar biasa. Telah datang saat ujian kepada mereka untuk
berperang—karena mereka sebagai orang-orang mukmin— melawan kaum penyembah
berhala. Namun kaum Nabi Musa menolak untuk memasuki tanah suci. Nabi Musa
berusaha menyadarkan mereka dengan menceritakan bagaimana nikmat Allah SWT yang
turun kepada mereka; bagaimana Allah SWT menjadikan di tengah-tengah mereka
para nabi dan menjadikan mereka raja-raja yang mewarisi kerajaan Fir'aun; dan
bagaimana mereka diberi suatu kekayaan dan anugerah yang tidak dapat didapatkan
oleh seseorang pun di dalam dunia.
Kaum
Nabi Musa takut kepada peperangan dan beralasan bahwa di dalamnya terdapat kaum
yang perkasa dan mereka tidak akan masuk ke tanah suci sehingga orang-orang
yang kuat itu keluar darinya. Kitab-kitab kuno mengatakan bahwa mereka keluar
dalam jumlah enam ratus ribu. Nabi Musa tidak dapat mendapatkan seseorang pun
di antara mereka yang siap melakukan peperangan kecuali dua orang. Kedua orang
ini berusaha untuk menyadarkan kaum agar mereka memasuki tanah suci itu dan
berperang. Mereka berdua berkata: "Sungguh hanya sekadar kalian memasuki
pintu darinya maka kalian akan mendapatkan kemenangan." Tetapi Bani Israil
menampakkan ketakutan dan tubuh mereka tampak gemetar.
Pada
kali yang lain—sesuai dengan tabiat mereka—mereka merindukan menyembah berhala
ketika melihat ada kaum yang menyembah berhala. Mereka telah rusak dan mereka
telah kalah dari dalam diri mereka; mereka telah biasa mendapatkan kehinaan
sehingga mereka tidak mampu berperang. Yang tersisa hanyalah, mereka mampu
untuk bersikap tidak sopan pada Nabi Musa as dan kepada Tuhannya. Kaum Nabi
Musa berkata kepadanya dalam kalimat yang terkenal:
"Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu
berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja." (QS. al-Maidah: 24)
Mereka
mengucapkan kata-kata tersebut dengan lantang dan jelas serta tanpa rasa malu.
Nabi Musa mengetahui bahwa kaumnya sangat jauh dari kebaikan. Fir'aun telah
mati tetapi pengaruhnya tetap tertanam dalam jiwa mereka di mana untuk
mengobatinya memerlukan waktu yang lama. Nabi Musa kembali kepada Tuhannya dan
memberitahu-Nya bahwa ia tidak memiliki sesuatu pun kecuali dirinya dan
saudaranya. Nabi Musa berdoa buruk kepada kaumnya agar Allah SWT memisahkan
antara dirinya dan mereka. Allah SWT menurunkan keputusan-Nya kepada generasi
ini yang telah rusak fitrahnya. Yaitu keputusan yang berupa: mereka disesatkan
selama empat puluh tahun sehingga generasi ini mati atau mereka mencapai usia
senja dan kemudian akan lahir generasi yang baru; generasi yang belum rusak
jiwanya dan mereka akan dapat berperang dan memperoleh kemenangan.
Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya:
'Hai kaumku, ingatlah nikmat Allak atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu,
dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikannya kepadamu apa yang
belum pernah diberikan-Nya kepada seseorang pun di antara umat-umat yang lain.'
Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah
bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh) maka
kamu menjadi orang-orang yang rnerugi. Mereka berkata: 'Hai Musa, sesungguhnya
di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami
sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka
keluar darinya, pasti kami akan memasukinya.' Berkatalah dua orang di antara
orang-orangyang takut (kepada Allah) yangAllah telah memberi nikmat atas
keduanya: 'Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila
kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaklah
kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.' Mereka berkata:
'Hai Musa, kami sekali-kali tidak memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada
di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu
berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.' Berkata Musa: 'Ya
Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu
pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu. 'Allah berfirman:
'(Jika demikian), maha sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama
empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi
(padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib)
orang-orang yang fasik itu." (QS.
al-Maidah: 20-26)
Dimulailah
hari-hari kesesatan. Mereka melewati tempat yang tertutup. Mereka memulai dari
tempat yang mereka akhiri dan sebaliknya. Alhasil, mereka berjalan tanpa tujuan
sepanjang siang-malam, pagi-sore. Mereka memasuki daratan di daerah Saina'.
Nabi Musa kembali ke tempat yang beliau bertemu di dalamnya untuk pertama
kalinya dengan kalimat-kalimat Allah SWT. Bani Israil turun dari at-Thur, dan
Nabi Musa mendaki gunung sendirian. Di sana diturunkan Taurat dan Tuhannya
berdialog dengannya. Sebelum Nabi Musa naik untuk bertemu dengan Tuhannya, ia
menjadikan saudaranya, Harun, sebagai khalifahnya untuk kaumnya. Harun
diangkatnya sebagai wakilnya yang bertanggung jawab untuk mengurus kaumnya. Dan
Musa pun pergi menuju Tuhannya.
Allah SWT berfirman:
"Dan telah Kami jadikan kepada Musa (memberikan
Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah
malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnakanlah waktu yang telah
ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu
Harun: 'Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah
kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.'"
(QS. al-A'raf: 142)
Orang-orang
dahulu mengatakan bahwa Nabi Musa berpuasa selama tiga puluh hari sepanjang
malam dan siang tanpa mencicipi makanan sedikit pun kemudian Nabi Musa tidak
ingin untuk berdialog kepada Tuhannya sementara mulutnya dalam keadaan seperti
mulut orang yang berpuasa. Lalu beliau memakan sedikit dari tanaman bumi dan
beliau mengunyahnya. Tuhannya berkata kepadanya: "Mengapa engkau
berbuka?" Musa menjawab: "Ya Tuhanku, aku tidak ingin berbicara
denganmu kecuali mulutku dalam keadaan baik baunya." Allah SWT menjawab:
"Tidakkah engkau mengetahui wahai Musa bahwa mulut orang yang berpuasa di
sisi-Ku lebih baik daripada bau misik. Kembalilah engkau berpuasa selama
sepuluh hari kemudian datanglah kepada-Ku." Nabi Musa as pun melaksanakan
perintah-Nya.
Kami
tidak mengetahui secara pasti, mengapa Nabi Musa berpuasa selama empat puluh
malam, bukan tiga puluh hari. Yang kita ketahui bahwa Allah SWT menambah
sepuluh hari yang lain. Setelah itu, turunlah Taurat; turunlah kepadanya
sepuluh wasiat:
1.
Perintah untuk hanya menyembah kepada
AJlah SWT dan tidak menyekutukan-Nya.
2.
Larangan untuk bersumpah bohong atas
nama Allah SWT.
3.
Menjaga kehormatan pada hari Sabtu.
Dengan pengertian, memfokuskan hari Sabtu sebagai hari ibadah.
4.
Perintah untuk menghormati ayah dan
ibu.
5.
Menyadari bahwa Allah SWT yang dapat
memberi dan membagi.
6.
Janganlah engkau membunuh.
7.
Janganlah engkau berzina.
8.
Janganlah engkau mencuri.
9.
Janganlah memberikan kesaksian yang
palsu.
10. Jangan
engkau merasa tertipu atau terpikat kepada rumah temanmu atau istrinya atau
budaknya atau sapinya atau keledainya.
Para ulama salaf mengatakan bahwa
kandungan sepuluh wasiat ini telah terdapat dalam dua ayat dalam Al-Qur'an,
yaitu dalam firman-Nya:
"Katakanlah: 'Marilah kubacakan apa yang diharamkan
atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia, berbuat baiklah terhadap kedua ibu dan bapakmu, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki
kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar.' Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu
supaya kamu memahaminya. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakan
takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan dengan kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu
berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. "
(QS. al-An'am: 151-152)
Allah
SWT menceritakan kepada kita bagaimana keadaan Musa ketika ia pergi untuk
menemui janji dengan Tuhannya. Musa ketika berpuasa selama empat puluh malam
bermaksud untuk lebih mendekat kepada Tuhannya. Ketika Allah SWT berdialog
dengannya, maka Musa merasakan cinta yang semakin bergelora kepada Tuhannya.
Kami tidak mengetahui perasaan apa yang ada di hati Musa ketika ia meminta
kepada Tuhannya agar dapat melihatnya. Seringkali cinta yang ada di dalam
manusia mendorong dirinya untuk meminta sesuatu yang mustahil. Lalu bagaimana
bayangan Anda terhadap cinta yang berhubungan dengan cinta kepada Allah SWT. Ia
adalah hakikat cinta. Kedalaman perasaan Nabi Musa kepada Tuhannya dan
kecintaannya kepada sang Pencipta, semua ini mendorongnya untuk meminta kepada
Allah SWT agar dapat melihatnya.
Aliah SWT berfirman:
"Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami)
pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung)
kepadanya, berkatalah Musa: 'Ya Tuhanhu, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku
agar aku dapat melihat kepada Engkau.'" (QS. al-A'raf: 143)
Demikianlah dorongan cinta dari para
pecinta sejati. Musa bertanya dan meminta kepada Tuhannya sesuatu yang
menakjubkan tetapi Allah SWT menjawabnya:
"Tuhan berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku." (QS. al-A'raf:
143)
Seandainya
Allah SWT hanya mengatakan demikian maka ini pun sebagai bentuk keadilan
dari-Nya, tetapi keadaan di sini adalah keadaan cinta Ilahi dari Musa. Dorongan
cinta yang dibalas dengan dorongan cinta. Demikianlah Nabi Musa mendapatkan
rahmat dari Tuhannya. Allah SWT memberitahunya bahwa ia tidak akan mampu
melihat-Nya karena tak satu pun dari makhluk yang tidak dapat "menangkap
cahaya" dari Allah SWT. Allah SWT memerintahkannya agar melihat gunung,
dan jika gunung itu masih menetap di tempatnya maka ia akan dapat melihat
Tuhannya.
Allah SWT berfirman:
"Tetapi lihatlah ke hukit itu, makajika ia tetap di
tempatnya (sebagai sediakaia) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musa pun jatuh pingsan”. (QS.
al-A'raf: 143)
Tiada
seorang pun yang dapat "menangkap" cahaya Allah SWT. Nabi Musa
mengetahui hakikat ini dan menyaksikan sendiri. Ash'aq adalah al-Maut
(kematian) atau al-Ighma' (keadaan tidak sadarkan diri atau pingsan). Kami
tidak mengetahui bagaimana keadaan yang dialami Nabi Musa ketika ia kehilangan
kehidupannya atau kesadarannya.
"Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: 'Maha
Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama
beriman.'" (QS. al-A'raf: 143)
Para
mufasir klasik cukup serius meneliti dan memperbincangkan ayat-ayat ini.
Misalnya, mereka bertanya-tanya: bagaimana Nabi Musa meminta kepada Allah SWT
agar dapat melihat-Nya, padahal ia tahu bahwa itu adalah hal yang tidak mungkin
atau mustahil. Mereka berselisih pendapat dalam hal itu dan saling adu
argumentasi. Mu'tazilah memiliki pendapat yang lain dan Ahlusunah pun memiliki
pendapat yang lain lagi. Pokok pembicaraan semuanya berkisar pada: bagaimana
seorang nabi tidak mengetahui—padahal ia adalah makhluk Allah SWT yang paling
dekat dengan-Nya— bahwa melihat Allah SWT adalah hal yang sangat mustahil?
Kami
kira bahwa sikap Nabi Musa tersebut menggambarkan puncak cinta dan kedalaman
dari hatinya, yang ini merupakan gambaran yang tinggi dari sejarah yang dilalui
oleh Nabi Musa. Kita sekarang berada di hadapan puncak cinta kepada Allah SWT.
Dan seorang pecinta tidak menginginkan selain melihat "wajah"
kekasihnya. Menurut logika akal bahwa melihat Allah SWT adalah hal yang
mustahil, tetapi kapan cinta pernah peduli dengan logika itu. Nabi Musa
terdorong untuk mendapatkan pengalaman baru yaitu suatu pengalaman yang
kayaknya ia sengaja melakukannya untuk mewakili kita semua. Nabi Musa nekat dan
mendorong kita untuk meminta. Ia lebih dahulu meraskan keadaan tidak sadarkan
diri dan ia telah membuktikan kepada kita dengan tubuhnya yang mulia dan rohnya
yang suci bahwa tak seorang pun dapat "menangkap" cahaya Allah SWT.
Nabi Musa dalam keadaan tak sadarkan diri lalu ketika bangun ia memuja-muja
Allah SWT dan bertaubat serta meminta ampun kepadaNya:
"Dia berkata: 'Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada
Engkau.'" (QS. al-A'raf: 143)
Mengapa
Nabi Musa bertaubat? Orang-orang sufi berkata: Ia bertaubat dari dorongan cinta
yang besar di mana ia meminta sesuatu yang mustahil, padahal ia menyadari itu
adalah mustahil. Ini adalah tafsiran yang memuaskan yang didukung oleh konteks
ayat-ayat tersebut. Perhatikanlah ayat-ayat (tanda-kebesaran) Allah SWT dan
bagaimana Dia mengingatkan Musa terhadap apa-apa yang diterimanya dari berbagai
macam nikmat. Allah SWT berkata kepada Musa:
"Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu
dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara
langsung dengan-Ku. Sebab itu, berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu
dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur. Dan telah Kami tuliskan
untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan
penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): 'Berpeganglah kepadanya
dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan
sebaik-baiknya.'" (QS. al-A'raf:
144-145)
Ahli
tafsir memperhatikan firman Allah SWT kepada Musa: "Sesungguhnya Aku
memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku
dan untuk berbicara langsung dengan-Ku."
Kemudian
dilakukanlah perbandingan antara Nabi Musa dan nabi-nabi yang lain. Dikatakan
bahwa pemilihan ini dikhususkan hanya kepadanya dan di zamannya saja, dan tidak
berlaku di zaman sebelumnya karena ada Nabi Ibrahim di zaman itu, sedangkan
Nabi Ibrahim lebih baik dari Nabi Musa. Begitu juga pemilihan ini tidak berlaku
pada zaman setelahnya karena ada Nabi Muhammad bin Abdilah saw dan ia lebih
baik dari mereka berdua.
Kami
ingin menghindari perdebatan ini, bukan karena kami percaya bahwa semua nabi
sama. Memang Allah SWT memberitahu kita bahwa Dia mengutamakan sebagian nabi
atau sebagian yang lain dan mengangkat derajat sebagian mereka atau sebagian
yang lain, tetapi pengutamaan ini adalah hal yang tidak boleh kita sentuh.
Hendaklah kita beriman kepada seluruh nabi dan kita harus menunjukkan
penghormatan kita kepada mereka semua. Adalah bukan hal yang sopan jika kita
mencoba membanding-bandingkan di antara para nabi. Yang utama adalah, hendaklah
kita meyakini dan mengimani mereka semua. Akhirnya, selesailah perjumpaan Musa
dengan Tuhannya. Kemudian Nabi Musa kembali kepada kaumnya dalam keadaan marah
dan jengkel. Di alam wujud tidak ada seorang manusia yang memiliki kelembutan
dan kerelaan hati yang begitu besar seperti Nabi Musa, tetapi ia diberitahu
oleh Tuhannya bahwa kaumnya telah menyingpang dari jalannya. Oleh karena itu,
ia kembali dalam keadaan marah dan jengkel kepada mereka. Allah SWT berfirman:
"Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa?
Berkata Musa: 'Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu,
ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku). Allah berfirman: 'Maka
sesungguhnya, Kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka
telah disesatkan oleh Samiri. Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah
dan bersedih hati. " (QS. Thaha: 83-86)
Musa
turun dari gunung dan membawa papan Taurat. Rasa-rasanya hatinya mendidih dan
jengkel. Kita dapat membayangkan bagaimana emosi yang membakar Nabi Musa saat
ia mengayunkan langkahnya menuju kaumnya. Betapa tidak, belum lama Nabi Musa
meninggalkan kaumnya dan menemui Tuhannya, mereka mendapatkan fitnah melalui
Samiri. Fitnah ini adalah, bahwa Bani Israil— ketika keluar dari Mesir—membawa
banyak dari harta perhiasan orang-orang Mesir dan emas-emas mereka. Mereka
mengambilnya untuk mereka manfaatkan dalam pesta perayaan mereka. Kemudian
mereka selamat karena mukjizat pembelahaan lautan di mana lautan menenggelamkan
Fir'aun dan tentaranya sehingga harta mereka yang berupa emas dimiliki oleh
Bani Israil.
Harun
mengetahui bahwa emas tersebut bukan milik mereka, lalu Harun memintanya dari
mereka dan menimbunnya di tanah. Bani Israil tidak memerlukannya karena saat
ini mereka sedang tersesat. Mereka berjalan di tengah-tengah gurun sehingga
tidak bermanfaat bagi mereka emas-emas itu. Harun, saudara kandung Musa,
menggali tanah dan meletakkan emas-emas itu lalu menimbunkan di atasnya tanah.
Samiri melihat apa yang dilakukan oleh Harun. Setelah itu, dia mengeluarkannya dan
membuat sebuah patung sapi yang menyerupai sapi Ibis sesembahan orang-orang
Mesir. Samiri adalah seorang pemahat yang mahir. Dia mampu membuat anak sapi
yang menarik di mana ketika dia meletakkannya di arah angin maka akan masuk
darinya udara dari celah bagian belakangnya lalu keluar dari hidungnya. Samiri
membuat suara yang menyerupai suara sapi yang sebenamya.
Konon,
rahasia kehebatan sapi ini adalah karena Samiri telah mengambil segenggam tanah
yang dilalui Jibril ketika ia turun ke bumi dalam peristiwa mukjizat pembelahan
laut. Yakni Samiri melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh kaum Nabi Musa.
Kemudian dia mengambil segenggam tanah dari bekas yang dilalui seorang utusan
(Jibril) dan meletakkannya bersama emas. Samiri membuat darinya anak sapi. Jibril
as tidak berjalan di atas sesuatu kecuali sesuatu itu menjadi hidup. Ketika
Samiri menambahkan tanah itu ke emas lalu membuat darinya anak sapi maka anak
sapi itu dapat bersuara seperti anak sapi yang sebenarnya. Demikianlah kisah
Samiri. Kita mengetahui sekarang bahwa jika tanah ditambahkan ke emas dan
melebur maka tanah itu akan terpisah dari emas dan akan meninggalkan bekas
(lubang) di tempat terpisahnya itu. Diduga kuat bahwa Samiri menggunakan tanah
itu seperti tanah yang lain dalam usaha untuk mengeringkan bagian dalam dari
anak sapi di mana patung itu berubah menjadi patung yang mempunyai suara.
Setelah
itu, Samiri keluar menemui Bani Israil dengan membawa apa yang dibuatnya.
Mereka bertanya kepadanya: "Apa ini, hai Samiri?" Ia menjawab:
"Ini adalah tuhan kalian dan tuhan Musa." Mereka berkata:
"Bukankah Musa sedang menemui Tuhannya?" Samiri menjawab: "Musa
telah lupa ia pergi untuk menemui tuhannya di sana, padahal sebenarnya tuhannya
ada di sini." Akhirnya, Bani Israil menyembah anak sapi ini.
Barangkali
pembaca akan merasa heran terhadap fitnah ini. Bagaimana akal kaum itu dapat
tunduk sampai pada keadaan seperti ini? Bukankah mereka telah menyaksikan
mukjizat yang besar? Bagaimana mereka dengan mudah menyembah berhala?
Kebingungan tersebut segera hilang ketika kita lihat keadaan kejiwaan kaum yang
menyembah anak sapi itu. Mereka telah terdidik di Mesir pada saat mereka
menyembah berhala dan sangat mengkultuskan anak sapi Ibis. Mereka terdidik di
bawah kehinaan dan perbudakan sehingga jiwa mereka menjadi ternoda dan fitrah
mereka menjadi tercemar. Mereka menyaksikan mukjizat-mukjizat dari Allah SWT
tetapi mukjizat itu berbenturan dengan jiwa-jiwa yang putus asa. Mukjizat ini
tidak mampu memuaskan mereka untuk mempercayai kebenaran. Mereka masih saja dihinggapi
keinginan untuk menyembah berhala. Mereka adalah para penyembah berhala seperti
tokoh-tokoh Mesir yang dahulu. Oleh karena itu, mereka menyembah anak sapi.
Sikap mereka ini tidak terlalu mengagetkan kita. Sebab, setelah mereka
menyaksikan mukjizat pembelahan lautan, mereka melihat suatu kaum yang
menyembah berhala, lalu mereka minta kepada Nabi Musa agar menjadikan tuhan
bagi mereka seperti kaum yang menyembah berhala itu.
Jadi,
masalahnya adalah masalah klasik. Pada hakikatnya, hasrat untuk menyembah
berhala berarti menyembah berhala itu sendiri. Apa yang dilakukan Samiri
adalah, ia memanfaatkan kerinduan kaum untuk menyembah berhala. Kemudian Samiri
memilih agar anak sapi yang diciptakannya berbentuk emas karena ia mengetahui
bahwa umumnya Bani Israil lemah (mudah terpedaya) pada emas. Akhirnya, fitnah
yang ditimbulkan oleh Samiri tersebar di sana sini. Harun sangat terpukul
ketika mengetahui Bani Israil menyembah anak sapi dari emas. Mereka terbagi
menjadi dua kelompok: minoritas dari mereka beriman dan mengetahui bahwa ini
adalah tipu daya dan kebohongan semata, sedangkan mayoritas mereka mengingkari
Harun dan tetap melampiaskan kerinduan mereka untuk menyembah berhala. Harun
berdiri di tengah-tengah kaumnya dan mulai menasihati mereka. Ia berkata kepada
mereka: "Sesungguhnya kalian tertipu dengannya. Ini adalah fitnah
(godaan). Samiri telah memanfaatkan kebodohan kalian dengan menciptakan anak
sapi itu. Lembu itu bukan tuhan kalian dan bukan juga tuhan Musa:
"Sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah,
maka ikutilah ahu dan taatilah perintahku." (QS. Thaha: 90)
Para
penyembah anak sapi menolak nasihat Harun. Kelompok orang-orang yang bodoh itu
tidak mau lagi menerima nasihat. Harun kembali memperingatkan mereka dan
menceritakan kembali kepada mereka bagaimana mukjizat-mukjizat Allah SWT dapat
menyelamatkan mereka, dan bagaimana Allah SWT memuliakan dan menjaga mereka.
Tetapi mereka menutup telinga dan menolak segala nasihatnya. Mereka justru
melemahkan posisi Harun dan nyaris saja membunuhnya. Adalah jelas bahwa Harun
lebih lemah daripada Musa, sehingga para kaum tidak takut lagi. Harun khawatir
jika ia menggunakan kekuatan dan menghancurkan berhala-berhala yang mereka
sembah, maka akan terjadi fitnah di tengah-tengah kaum dan akan tercipta perang
saudara. Akhirnya, Harun memilih untuk menunda hal itu sampai kedatangan Musa.
Harun mengetahui bahwa Musa seorang yang kuat yang mampu mengatasi fitnah ini
tanpa harus menumpahkan darah. Sementara itu, Bani Israil terus menari di
sekitar anak sapi. Samiri—mudah-mudahan Allah SWT melaknatnya—adalah penyebab
fitnah ini, dan ia menari-nari serta berputar-putar di sekeliling berhala.
Al-Qurthubi
dalam tafsirnya pada juz kesebelas menyebutkan fitnah yang timbulkan oleh
Samiri. Qurthubi berkata: "Imam Abu Bakar at-Thurthusi ditanya: "Apa
yang dikatakan oleh pemimpin kita al-Faqih tentang kelompok pria yang
memperbanyak zikrullah dan menyebut Muhammad saw. Sebagian mereka menari-nari
sehingga pingsan. Mereka menghadirkan sesuatu dan memakannya. Apakah hadir
bersama mereka boleh atau tidak? Berilah kami fatwa, mudah-mudahan engkau
diberi pahala." Qurthubi menjawab pertanyaan ini dengan menukil penjelasan
gurunya: "Mazhab sufi (yang beliau maksudkan adalah orang-orang yang
menari-nari yang dipraktekkan oleh sebagian aliran sufi untuk mengekspresikan
zikir) berdasarkan kebodohan dan kesesatan serta sesuatu yang sia-sia. Islam
hanya berdasarkan Kitab Allah SWT dan sunah Rasul-Nya. Praktek tari-tarian
seperti itu adalah sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh pengikut-pengikut
Samiri ketika mereka menjadikan anak sapi sebagai tuhan mereka. Mereka
menari-nari di sekitarnya dan berkumpul di situ. Itu adalah agama kekufuran dan
penyembahan terhadap anak sapi."
Nabi
saw duduk bersama sahabatnya dan seakan-akan di atas kepala mereka terdapat
burung, karena saking hormatnya mereka terhadap beliau. Hendaklah penguasa dan
wakilnya mencegah orang-orang itu untuk hadir di mesjid dan selainnya. Dan
tidak diperkenankan bagi seorang pun yang beriman kepada Allah SWT dan hari
kemudian untuk hadir bersama orang-orang itu atau membantu kebatilan mereka.
Ini adalah pendapat mazhab Malik, Abu Hanifah, Syafi'i, Ahmad bin Hambal, dan
lain-lain dari para imam kaum Muslim.
Demikianlah
pernyataan al-Qurthubi berkaitan dengan masalah tersebut. Anda dapat
membayangkan sejauhmana kecermelangan pikirannya dan sejauhmana ketakwaannya.
Selanjutnya, kita kembali kepada kisah Nabi Musa. Nabi Musa turun dari gunung
untuk kembali rnenemui kaumnya. Kemudian ia mendengar teriakan kaum saat mereka
menari-nari di sekitar anak sapi. Kaum itu berhenti ketika melihat Nabi Musa
muncul di depan mereka. Dan tiba-tiba keheningan menyelimuti mereka. Nabi Musa
berteriak dan berkata:
"Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan
marah dan sedih hati, berkatalah dia: 'Alangkah buruknya perbuatan yang kamu
kerjakan sesudah kepergianhu!'" (QS. al-A'raf:
150)
Musa berjalan menuju ke Harun, lalu ia
meletakkan papan Taurat dengan tangannya di atas tanah. Tampaknya api kemarahan
telah membakamya. Musa memegang Harun dari rambut kepalanya sampai rambut
jenggotnya sambil berkata:
"Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu
melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah
kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?" (QS. Thaha: 92-93)
Musa
bertanya, "Apakah Harun tidak menaati perintahnya, bagaimana ia mendiamkan
fitnah ini; bagaimana ia tetap bersama mereka dan tidak meninggalkan mereka
serta berlepas diri dari perbuatan mereka; bagaimana ia tetap diam dan tidak
berusaha melawan mereka, bukankah orang yang diam atau membiarkan suatu
kesalahan itu bertanda bahwa ia merestuinya atau bagian dari kesalahan
itu?" Keheningan semakin meningkat ketika gelora api kemarahan Musa
semakin membara. Harun bericara kepada Musa dan meminta kepadanya untuk
melepaskan kepalanya dan jenggotnya karena mereka berdua berasal dari ibu yang
satu. Harun mengingatkan Musa akan kedekatan hubungannya melalui ibu, bukan
melalui ayah agar hal itu lebih dapat membuat Musa merasa kasihan kepadanya:
"Harun menjawab: 'Hai putra ibuku, janganlah kamu
pegang jenggotku danjangan (pula) kepalaku.'" (QS. Thaha: 94)
Harun
memberi pengertian kepada Musa bahwa ia sama sekali tidak bermaskud menentang
perintahnya, dan ia pun tidak menunjukkan sikap merestui penyembahan anak sapi,
tetapi ia khawatir jika ia meninggalkan mereka dan pergi lalu Musa bertanya
kepadanya, mengapa ia tidak tetap tinggal bersama mereka? Mengapa seorangyang
bertanggungjawab kepada merekajustru meninggalkan mereka? Di samping itu, ia
juga khawatir jika ia memerangi mereka dengan kekerasan maka terjadi peperangan
di antara mereka. Lalu Musa akan bertanya kepadanya, mengapa ia membikin
perpecahan di antara mereka dan mengapa ia tidak menunggu kembalinya Musa:
"Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata
(kepadaku). 'Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara
amanatku.'" (QS. Thaha:
94)
Harun
berusaha memahamkan saudaranya, Musa, dengan penuh kelembutan bahwa kaumnya
merendahkannya dan mereka nyaris membunuhnya ketika ia melawan mereka. Ia
memohon kepada Musa agar melepaskan tangannya dari kepalanya dan jenggotnya.
Harun memberitahu Musa bahwa ia bukan termasuk orang jahat sepeti mereka ketika
ia bersikap diam terhadap kelaliman mereka:
"Harun berkata: 'Hai anak ibuku, sesungguhnya haum ini
telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu
janganlah kamu menjadihan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu
masukan aku ke dalam golongan orang-orang yang lalim.'" (QS. al-A'raf: 150)
Musa
menyadari bahwa ia melalimi Harun dengan kemarahannya di mana kemarahan itu
berkobar karena kecemburuannya terhadap agama Allah SWT dan semata-mata karena
kecintaannya kepada kebenaran. pun mengetahui bahwa Harun telah menjalankan
tugas dengan sebaik-baiknya dalam keadaan seperti ini. Kemudian Musa menarik
tangannya dari kepala dan jenggot saudaranya dan ia meminta ampun kepada Allah
SWT bagi dirinya dan bagi saudaranya. Musa menoleh kepada kaumnya dan bertanya
dengan suara yang penuh gelora dan menunjukkan sikap marah:
"Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan
kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu
bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, lalu kamu
melanggar perjanjianmu dengan aku?" (QS. Thaha:
86)
Musa tampak marah dan mengejek mereka
dan menunjukkan betapa bodohnya apa yang mereka lakukan. Dengan kemarahan yang
luar biasa, Musa kembali berkata:
"Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu
(sebagai sembahannya) kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan
kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada
orang-orang yang membuat-buat kebohongan." (QS. al-A'raf: 152)
Hampir
saja gunung berguncang mendengar suara kemarahan Musa, dan Bani Israil
menyadari kesalahan mereka. Kebohongan mereka dan penyimpangan mereka atas
kebenaran yang dibawa oleh Musa tampak jelas. Mereka justru menjauhkan segala
karunia yang Allah SWT berikan kepada mereka dan memilih untuk menyembah
berhala ketika Musa meninggalkan mereka selama empat puluh hari. Mereka kembali
menyembah anak sapi yang terbuat dari emas. Bukankah Allah SWT telah berjanji
kepada mereka agar mereka memegang agama tauhid di bumi?
Musa
menoleh kepada Samiri setelah ia berbicara secara singkat kepada Harun. Harun telah
membuktikan bahwa—sebagai penanggung jawab kaumnya saat Musa meninggalkan
mereka—ia telah menjalankan tugas dengan baik. Bani Israil tampak tertunduk
lesu di depan Musa. Maka orang yang paling bertanggung jawab adalah orang yang
menyebarkan fitnah, yaitu Samiri. Musa berkata kepada Samiri dalam keadaan api
kemarahannya belum juga padam:
"Berkata Musa: 'Apakah yang mendorongmu (berbuat
demikian) hai Samiri?" (QS. Thaha: 95)
Musa bertanya kepadanya tentang
kisahnya dan ia ingin mengetahui langsung darinya apa yang mendorongnya untuk
melakukan hal tersebut. Samiri menjawab:
"Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak
mengetahuinya." (QS. Thaha: 96)
Aku melihat Jibril saat ia menunggangi
kudanya, dan setiap kali ia meletakkan kakinya di atas sesuatu maka terjadilah
kehidupan padanya:
"Maka aku mengambil segenggam dari jejak rasul." (QS. Thaha: 96)
Aku mengambil segenggam tanah yang
dilewati oleh Jibril lalu aku meletakkannya di atas emas:
"Lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku
membujukku." (QS. Thaha: 96)
Demikianlah
apa yang aku lakukan. Musa tidak mempersoalkannya; Musa tidak mempersoalkan
pengakuan Samiri tetapi ia justru mempersoalkan mengapa Samiri menentang
kebenaran. Adalah hal yang tidak penting bagi Samiri untuk melihat Jibril lalu
ia mengambil bekas tanahnya; adalah hal yang tidak penting bahwa anak sapi itu
tercipta dari tanah yang dilalui dari kuda Jibril. Yang penting adalah, bahwa
Samiri telah melakukan kejahatan dan menyebarkan fitnah di tengah-tengah kaum
Nabi Musa. Dengan ciptaannya itu, ia mendorong kaum Nabi Musa untuk merasa
kagum dengan para tokoh-tokoh Mesir dan ia meniru para tokoh itu dalam
menyembah berhala. Ini adalah kejahatan yang dengannya Musa ingin menghukum
Samiri:
"Berkata Musa: 'Pergilah kamu, maka sesungguhnya
bagimu di dalam kehidupan dunia ini (hanya dapat) mengatakan: 'Janganlah
menyentuh (aku). Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu
sekali-kali tidah dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu
tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami
sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang
berserakan).'" (QS. Thaha:
97)
Nabi
Musa menjatuhkan hukuman kepada Samiri dalam bentuk mengasingkannya di dunia.
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa Musa berdoa agar Samiri tidak disentuh
oleh seorang pun. Melaiui fitnah yang ditimbulkannya, Samiri ingin menyesatkan
Bani Israil dan mendorong mereka untuk menyembah apa yang diciptakannya. Dan,
sekarang ia menerima siksaan yang sesuai dengan kejahatannya. Samiri merasakan
kesendirian dan dibuang dari kaumnya. Apakah Samiri sakit dengan suatu penyakit
kulit yang mengerikan sehingga manusia menjauhinya dan tidak mau menyentuhnya,
bahkan untuk mendekatinya pun mereka tidak mau? Kita tidak mengetahui apa yang
terjadi padanya sehingga ia terasing dari kaumnya. Yang kita ketahui adalah,
bahwa Musa telah menjatuhkan hukuman yang berat baginya. Barangkali pembunuhan
lebih mudah baginya daripada menanggung beban berat siksaannya itu. Samiri
hidup dalam keadaan terasing dan terhina. Tidak ada satu makhluk pun yang
mendekatinya. Ini adalah siksaan di dunia dan siksaan di hari kiamat adalah
siksaan yang kedua yang lebih dahsyat.
Setelah
mengurus dan mengadili Samiri, Musa bangkit menuju anak sapi yang terbuat dari
emas. Beliau mengambilnya dan melemparkannya ke api. Musa tidak hanya
menghancurkannya di hadapan kaum yang membisu, bahkan beliau membuangnya ke
laut. Tuhan yang mereka sembah kini menjadi abu yang bertebaran. Kemudian Musa
mengangkat suaranya yang menggelegar:
"Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah, yang tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala
sesuatu." (QS.Thaha: 98)
Allah-lah Tuhan kalian, bukan patung
itu yang tidak dapat mendatangkan manfaat dan mudarat bagi dirinya. Setelah
Nabi Musa menghancurkan patung itu, beliau menoleh kepada kaumnya. Nabi Musa
telah memberitahu kaumnya bahwa mereka telah menganiaya diri mereka sendiri.
Nabi Musa menyarankan kepada para penyembah berhala untuk bertaubat. Nabi Musa
memberitahukan bahwa siapa pun yang mengikuti anak sapi tersebut maka ia harus
dibunuh.
Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya:
'Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu
telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang
menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi
Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.'" (QS. al-Baqarah: 54)
Hukuman
yang ditetapkan oleh Musa atas para penyembah anak sapi sangat mengerikan,
namun itu setimpal dengan kejahatan mereka. Menyembah berhala adalah usaha
untuk mematikan akal. Dengan akal, manusia memiliki keistimewaan yang tidak
terdapat pada makhluk-makhluk lainnya. Karena kejahatan itu sangat luar biasa,
yaitu kejahatan yang berupa usaha mematikan fungsi akal maka hukumannya pun
harus berat. Kemudian datanglah rahmat Allah SWT dan Dia menerima taubat
mereka. Sesungguhnya Allah SWT Maha menerima taubat dan Maha Pengasih.
Akhirnya,
kemarahan Musa mulai mereda. Coba Anda renungkan ungkapan Al-Qur'an al-Karim
yang menggambafkan kemarahan Musa dalam bentuk yang realistis: bagaimana Musa
meletakkan papan Taurat, dan bagaimana dia memegang jenggot saudaranya dan
kepalanya dan diakhiri dengan pembuangan atau penghancuran anak sapi di lautan
serta keputusannya untuk membunuh orang-orang yang menjadikannya sebagai tuhan.
Alhasil, kemarahan Musa mulai mereda; kemarahan Musa adalah kemarahan karena Allah
SWT. Itu adalah kemarahan yang paling tinggi dan layak untuk mendapatkan
kehormatan. Ketika kemarahannya hilang, Musa ingat tugas utamanya, yaitu bahwa
ia meletakkan papan-papan Taurat. Musa kembali mengambil papan-papan itu dan
terus berdakwah di jalan Allah SWT:
Allah SWT berfirman:
"Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya
(kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan
rah-mat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya. " (QS. al-A'raf: 154)
Sebagian
mereka berdalil dengan firmannya: Dan dalam tulisannya, bahwa papan-papan itu
pecah (rusak). Kami tidak mengetahui, apakah papan-papan itu terbuat dari benda
tertentu yang dapat pecah atau tidak. Ibnu Katsir menepis dalil atau argumen
tersebut dan ia berpendapat bahwa papan-papan itu tetap seperti semula.
Alhasil, Musa kembali merasakan ketenangan dan ia berusaha memperbarui jihadnya
di jalan Allah SWT. Beliau membacakan papan-papan Taurat kepada kaumnya.
Mula-mula beliau memerintahkan mereka agar mengambil hukum-hukumnya dengan
penuh kekuatan dan tekad.
Ironis
sekali, bahwa kaum Nabi Musa mencoba menawar-nawar kebenaran. Mereka
mengatakan: "Sebarkanlah kepada kami isi papan-papan itu, jika perintahnya
dan larangannya mudah maka kami akan menerimanya." Musa berkata: "Kalian
harus menerima apa saja yang ada di dalamnya." Kemudian mereka terus
melakukan tawar-menawar. Akhirnya, Allah SWT memerintahkan para malaikatnya
untuk mengangkat gunung di atas kepala mereka hingga gunung itu seakan-akan
menjadi awan yang menyelimuti mereka. Dikatakan kepada mereka: jika kalian
tidak menerima apa saja yang di dalamnya maka gunung itu akan ambruk menimpa
kalian. Mendengar ancaman itu, mereka pun menerimanya. Lalu mereka
diperintahkan untuk sujud dan mereka pun sujud. Mereka meletakkan pipi mereka
di atas tanah. Mereka mulai melihat gunung dengan penuh ketakutan.
Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat bukit ke atas
mereka seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan
jatuh menimpa mereka (dan Kami katakan kepada mereka): 'Peganglah dengan teguh
apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa
yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.'"
(QS. al-A'raf: 171)
Demikianlah
bahwa kaum Nabi Musa tidak serta merta berserah diri kecuali pada saat-saat
kritis di mana mukjizat luar biasa mampu menakutkan mereka dan menggetarkan
hati mereka sehingga mereka sujud secara terpaksa. Manusia pada saat itu
terpaksa beriman karena berhadapan dengan "tongkat Ilahi". Hal yang
demikian ini biasanya berlaku kepada anak-akan kecil dan pada saat manusia
kehilangan kesadaran dan kematangan yang cukup sehingga akalnya tidak berfungsi
secara sehat.
Barangkali
di sini kami ingin untuk kesekian kalinya mengemukakan keadaan kaum Nabi Musa.
Mereka tidak begitu saja puas dengan mukjizat yang luar biasa. Kaum Nabi Musa
telah terdidik di bawah kehinaan dan penindasan sehingga mereka kehilangan
nilai-nilai kemanusiaan mereka dan fitrah mereka telah tercemar. Kehinaaan yang
telah tertanam dalam jiwa mereka dan mereka telah terbiasa dengannya
menyebabkan mereka tidak mudah untuk diajak menuju kebaikan, kecuali jika
mereka telah mendapatkan tekanan atau kekerasan.
Dahulu
mereka terbiasa untuk menaati para tokoh mereka setelah mereka ditekan maka
sekarang ketika mereka berhadapan dengan tokoh mereka yang baru, yaitu
keimanan, mereka pun harus digiring dengan menggunakan bahasa kekerasan.
Kejahatan penyembahan anak sapi bukan tidak membawa pengaruh apa-apa. Musa
memerintahkan kepada ulama Bani Israil dan orang-orang baik di antara mereka
untuk meminta ampun kepada Allah SWT dan bertaubat kepadanya. Musa memilih
tujuh puluh laki-laki di antara mereka yang paling baik sambil berkata:
"Pergilah kalian menuju Allah SWT dan bertaubatlah kepada-Nya atas apa
saja yang kalian lakukan. Berpuasalah kalian, sucikanlah jiwa kalian, dan
bersihkanlah pakaian kalian."
Musa
keluar bersama tujuh puluh orang-orang yang terpilih itu untuk memenuhi
perjumpaan yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Musa mendekati gunung, dan
tiba-tiba sekawanan awan menyelimuti gunung. Musa masuk ke dalam awan dan
berkata kepada kaum: "Mendekatlah, mendekatlah." Allah SWT berbicara
kepada Musa. Setiap kali Musa berbicara dengan Allah SWT maka tampak di atas dahinya
suatu cahaya yang bersinar. Tidak ada seorang pun dari manusia yang dapat
melihatnya. Diletakkan suatu tabir (penutup) di sekeliling Musa saat ia
berbicara kepada Tuhannya. Tujuh puluh orang yang dipilih oleh Musa itu
mendengar percakapan antara Musa dan Tuhannya. Barangkali mukjizat yang seperti
ini seharusnya menjadi mukjizat yang terakhir yang cukup dapat membangkitkan
keimanan di dalam hati sepanjang kehidupan, namun ketujuh puluh orang yang
dipilih itu tidak cukup dengan apa yang mereka dengar dari mukjizat itu. Mereka
justru meminta agar dapat melihat Allah SWT. Mereka mengatakan: "Kami
telah mendengar dan kami ingin melihat." Dengan nada polos, mereka berkata: "Wahai
Musa, kami tidak ingin beriman kepadamu sehingga kami melihat Allah dengan
terang-terangan. " (QS. aI-Baqarah: 55)
Ini
adalah tragedi yang sangat mengherankan; suatu tragedi yang menunjukkan
kekerasan hati dan ketergantungannya terhadap materi atau fisik. Permintaan
yang menunjukkan sikap keras kepala ini cukup sebagai syarat untuk datangnya siksaan
yang mengerikan. Kemudian mereka disiksa dengan suara yang menggelegar yang
menghancurkan roh dan jasad. Mereka pun mati. Musa mengetahui apa yang terjadi
dengan tujuh puluh orang yang terpilih tersebut sehingga hatinya merasa sedih
dan ia berdoa kepada Tuhannya agar mengampuni mereka dan merahmati mereka serta
tidak menyiksa mereka karena kesalahan orang-orang yang bodoh di antara mereka.
Permintaan mereka agar dapat melihat Allah SWT adalah menunjukkan kebodohan
mereka yang luar biasa; suatu kebodohan yang harus dibayar mahal, yaitu dengan
kematian.
Seorang
nabi terkadang memohon untuk melihat Tuhan-Nya, seperti yang dilakukan oleh
Nabi Musa. Meskipun permintaan itu bertitik tolak dari sumber cinta yang dalam
yang sulit untuk digambarkan, yang dapat dibenarkan dengan logika yang khusus,
namun permintaan untuk melihat Tuhan tetap dianggap sebagai tindakan yang
melampaui batas yang karenanya Musa "dihukum" dengan pingsan. Anda
dapat membayangkan bagaimana jika permintaan tersebut berasal dari manusia-manusia
yang salah; manusia-manusia yang ketika ingin melihat Tuhan, mereka menentukan
tempatnya dan waktunya, bahkan mereka mensyaratkan agar pengelihatan ini
terjadi dengan jelas atau terang-terangan. Mereka adalah manusia yang
menggantungkan keimanan mereka berdasarkan penglihatan ini, padahal mereka
telah menyaksikan berbagai macam mukjizat dan tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Bukankah ini adalah kebodohan yang besar? Nabi Musa berdiri dan berdoa kepada
Tuhannya dan meminta belas kasih-Nya dan ridha-Nya.
Allah SWT berfirman:
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk
(memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka
ketiha mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: 'Ya Tuhanku, kalau Engkau
kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan ahu setelah ini. Apakah
Engkau membinasakan kami karena orang-orang yang kurang akal di antara kami?
Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang
Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki.
Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan
Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya. Dan tetapkanlah untuk kami
kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat)
kepada Engkau.'" (QS. al-A'raf: 155-156)
Demikianlah
kalimat-kalimat Musa kepada Tuhannya saat ia berdoa kepada-Nya untuk meminta
belas kasih-Nya dan ridha-Nya. Allah SWT ridha kepada mereka dan mengampuni
kaum Nabi Musa di mana Allah SWT menghidupkan mereka setelah kematian mereka.
Orang-orang yang terpilih itu mendengar di saat-saat yang mengagumkan ini dari
sejarah kehidupan sampai berita kedatangan Muhammad bin Abdilah saw.
"Allah berfirman: 'Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada
siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku
tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. '(Yaitu) orang-orang yang
mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati yang tertulis di
dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka untuk
mengerjakan makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
nwnghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya
(al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. al-A'raf: 156-157)
Kita
akan memperhatikan metode hubungan antara masa sekarang dan masa yang lalu
dalam ayat tersebut. Allah SWT melampaui waktu dialog bersama rasul dalam
ayat-ayat tersebut pada dua waktu yang dahulu, yaitu turunnya Taurat dan
turunnya Injil untuk menetapkan bahwa Allah SWT membawa berita gembira dengan
kedatangan Nabi Muhammad saw dalam dua kitab yang mulia itu. Kami kira bahwa
berita gembira ini datang pada hari di mana Musa mendatangkan tujuh puluh orang
dari kaumnya, yaitu para ulama Bani Israil dan orang-orang yang mulia di antara
mereka untuk menemui Tuhannya. Pada hari yang penting ini—disertai dengan
mukjizat-mukjizatnya yang besar—ditetapkanlah suatu kabar gembira dengan
datangnya Nabi yang terakhir.
Ibnu
Katsir dalam kitabnya Qishashul Anbiya' berkata (menukil riwayat dari Qatadah):
"Musa berkata kepada Tuhannya, 'ya Tuhanku, aku mendapati dalam
papan-papan Taurat suatu umat yang lebih baik dari umat yang lain; mereka
menyeru kepada hal yang makruf dan mencegah hal yang mungkar. Ya Allah,
jadikanlah mereka umatku." Allah SWT berkata: "Itu adalah umat
Muhammad saw."
Musa
berkata: "Ya Tuhanku, aku mendapati dalam papan Taurat suatu umat yang aku
adalah generasi mereka di mana mereka mampu menghafal sedangkan umat-umat sebelum
mereka membaca dengan melihat buku sehingga ketika buku itu disingkirkan dari
mereka, mereka tidak lagi mampu menghafalnya dan tidak lagi
mengetahuinya." Allah SWT memberi mereka suatu kemampuan menghafal yang
belum pernah diberikan-Nya kepada seseorang pun dari umat-umat sebelumnya.
"Ya Allah, jadikanlah mereka umatku. " Allah SWT berkata: "Itu
adalah umat Muhammad saw."
Musa
berkata: "Tuhanku, aku mendapati di papan Taurat suatu umat yang beriman
kepada kitab yang pertama dan yang terakhir dan mereka memerangi pasukan
kesesatan. Jadikanlah mereka umatku." Allah SWT berkata: "Itu adalah
umat Muhammad saw."
Musa
berkata: "Tuhanku, aku mendapati dalam papan Taurat suatu umat di mana
mereka dapat memakan sedekah dalam perut-perut mereka dan mereka mendapatkan
pahala darinya, sedangkan umat-umat sebelum mereka jika salah seorang mereka
bersedekah dengan suatu sedekah lalu diterimanya, maka Allah SWT akan mengirim
api dan membakarnya dan jika dikembalikan padanya maka ia akan dimakan oleh
binatang buas dan burung. Dan Allah SWT mengambil sedekah orang-orang yang kaya
di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang yang fakir dari mereka.
Wahai Tuhanku, jadikanlah mereka umatku." Allah SWT berkata: "Itu
adalah umat Muhammad saw."
Musa
berkata: "Tuhanku, aku mendapati dalam papan Taurat suatu umat jika salah
seorang mereka berhasrat untuk melakukan suatu kebaikan kemudian ia
melakukannya maka ditulis baginya sepuluh kali lipat kebaikan dari kebaikannya
itu sampai tujuh puluh ratus lipat. Jadikanlah mereka umatku." Allah SWT
berkata: "Itu adalah umat Muhammad saw."
Musa
senantiasa mendoakan kaumnya kepada Allah SWT. Tampak bahwa jiwa mereka
dipenuhi dengan sikap pembangkangan dan keras kepala. Sifat itu semakin nyata
ketika kita mengetahui cerita tentang anak sapi atau kasus tentang sapi. Dalam
peristiwa itu, kita disodorkan dengan berbagai perundingan yang tidak perlu
antara mereka dan Nabi Musa. Semua itu berasal dari sikap keras kepala.
Asal-muasal kisah sapi itu adalah, pada suatu hari ditemukan seorang kaya
terbunuh di tengah-tengah Bani Israil. Kemudian terjadilah percekcokan di
antara keluarganya karena mereka tidak mengetahui siapa pembunuhnya. Kasus ini
cukup memusingkan mereka sehingga mereka menemui Musa. Tampaknya lelaki yang
terbunuh ini memiliki tempat yang istimewa di kalangan Bani Israil. Misteri
pembunuhannya akan mendatangkan fitnah di tengah-tengah mereka. Oleh karena
itu, Bani Israil mendatangi Musa dan memohon kepada Musa untuk meminta petunjuk
kepada Tuhannya.
Musa
pun meminta petunjuk kepada Tuhannya, lalu Allah SWT memerintahkannya agar
menyuruh kaumnya untuk menyembelih sapi. Semula ditetapkan bahwa kaum Nabi Musa
diperintahkan untuk menyembelih sapi yang pertama kali mereka temui, tetapi
karena sikap keras kepala mereka, mereka mulai melakukan tawar-menawar dan
berunding dengan Musa. Mereka menuduh bahwa Musa mengejek mereka dan tidak
serius dengan masalah yang mereka hadapi. Musa berlindung kepada Allah SWT dan
memohon kepada-Nya agar jangan sampai digolongkan bersama orang-orang yang bodoh,
apalagi bermaksud mengejek mereka. Musa berusaha memberikan pengertian kepada
mereka bahwa kunci dari masalah itu dapat diselesaikan dengan penyembelihan
sapi. Masalahnya di sini adalah masalah mukjizat yang tidak berhubungan dengan
sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan atau sesuatu yang biasa dilakukan
oleh manusia. Tidak ada hubungan antara penyembelihan sapi dan usaha mengetahui
pembunuh. Tetapi, kapankah sebab-sebab rasional mampu menundukkan Bani Israil?
Mukjizat yang luar biasa merupakan kunci dan senjata yang biasa berlaku dalam
kehidupan Bani Israil. Oleh karena itu, penyelesaian kasus tersebut dengan cara
menyembelih sapi seharusnya tidak menimbulkan gejolak dan kegelisahan. Tapi,
Bani Israil adalah Bani Israil. Seringkali pergaulan dan hubungan dengan mereka
berakhir dengan sikap pembangkangan. baik berkenaan dengan masalah kehidupan
biasa sehari-sehari maupun yang terkait dengan masalah akidah yang penting.
Musa
menghadapi berbagai bentuk ujian dan tuduhan dari Bani Israil. Musa berusaha memberi
pengertian kepada mereka bahwa beliau serius untuk menyelesaikan kasus mereka
dan tidak bermaksud mempermainkan mereka. Musa kembali menegaskan bahwa untuk
menyelesaikan hal itu mereka harus menyembelih sapi. Karakter khas Bani Israil
muncul kepermukaan. Mereka bertanya, apakah itu sapi yang biasa sebagaimana
yang mereka temui ataukah ia ciptaan yang lain yang memiliki keistimewaan.
Mereka mengharap Musa agar meminta petunjuk kepada Tuhannya sehing-ga hal
tersebut menjadi jelas bagi mereka.
Musa
berdoa kepada Tuhannya. Kemudian mereka mendapatkan kesulitan di mana sapi yang
seharusnya mudah mereka dapati, kini mereka mendapatkan kriteria sapi yang
sangat rumit, yaitu sapi yang tidak tua dan tidak muda, yakni yang
sedang-sedang saja. Demikianlah ketetapan Ilahi itu. Tetapi lagi-lagi
perundingan masih berlangsung. Lalu mereka mengemukakan pertanyaan-pertanyaan
yang aneh: apa warna sapi ini, mengapa Musa tidak berdoa kepada Tuhannya dan
menjelaskan warna sapi ini. Beginilah, mereka tidak menunjukkan sikap sopan dan
hormat kepada Allah SWT dan kepada nabi-Nya yang mulia. Seharusnya mereka patuh
terhadap perintah itu dan tidak bertanya yang macam-macam, namun mereka justru
mempersoalkan masalah yang sederhana ini dengan sikap penentangan dan keras
kepala.
Lagi-lagi
Musa bertanya kepada Tuhannya dan memberitahu tentang warna sapi yang dimaksud.
Musa mengatakan bahwa sapi itu berwarna kuning yang warnanya mengundang
kekaguman orang yang melihatnya. Demikianlah sifat sapi itu ditentukan di mana
ia berwarna kuning yang warnanya agak kemerah-merahan. Meskipun masalah ini
sudah sangat jelas, mereka kembali menunjukkan sikap pembangkangan dan keras
kepala. Maka Allah SWT pun memperketat syarat sapi itu sebagaimana mereka
berusaha untuk menyakiti hati Nabi Musa. Mereka kembali bertanya kepada Nabi
Musa dan meminta kepadanya agar berdoa kepada Tuhannya dan meminta penjelasan
tentang hakikat sapi itu, karena bagi mereka sapi itu masih samar. Musa
memberitahu mereka bahwa sapi itu tidak disiapkan untuk membajak sawah atau untuk
memberi minum; ia sapi yang sehat dan tidak cacat; dan sapi itu benar-benar
berwarna kuning. Berakhirlah sikap pembangkangan mereka. Mereka mulai mencari
sapi yang dimaksud yang memiliki sifat yang khusus ini. Akhirnya, mereka
menemukan sapi itu yang dimiliki oleh seorang anak yatim. Lalu mereka
membelinya dan menyembelihnya.
Musa
memegang ekor sapi itu lalu memukulkannya kepada orang yang terbunuh.
Tiba-tiba, orang itu bangkit dari kematiannya. Musa bertanya padanya tentang
siapa yang membunuhnya. Lalu ia pun menceritakan siapa yang membunuhnya dan ia
mati lagi. Bani Israil menyaksikan mukjizat penghidupan orang yang mati itu.
Mereka mendengarkan dengan telinga mereka sendiri nama si pembunuh. Akhirnya,
misteri pembunuhan itu tersingkap.
Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata hepada kaumnya:
'Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.' Mereka
berkata: 'Apakah hamu hendak menjadikan kami buah ejekan?' Musa menjawab: Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang
yangjahil.' Mereka menjawab: 'Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia
menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu?' Musa menjawab: 'Sesungguhnya
Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan
tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu.' Mereka berkata: 'Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia
menerangkan kepada kami apa warnanya.' Alusa menjawab: 'Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua
warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.' Mereka berkata:
'Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami
bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar
bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk
memperoleh sapi itu). Musa berkata: 'Sesungguhnya Allah berfirman bakwa sapi
betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan
tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.' Mereka
berkata: 'Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
sebenarnya.' Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu. Dan (ingatlah) ketika kamu membunuh seorang manu-sia
lalu kamu saling tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah menyingkirkan apa yang
selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman: 'Pukullah mayat itu dengan
sebagian anggota sapi betina itu!' Demikianlah Allah menghidupkan kembali
orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda
kekuasaan-Nya agar kamu mengerti." (QS.
al-Baqarah: 67-73)
Kami
ingin menarik perhatian pembaca kepada sikap kurang ajarnya kaum itu kepada
nabi mereka dan Tuhan mereka. Dan barangkali konteks Al-Qur'an menyinggung hal
itu dengan cara menunjukkan pengulangan kata rabbuka (Tuhanmu) yang mereka
gunakan saat berbicara dengan Musa. Seharusnya ketika mereka berbicara dengan
Musa—sebagai bentuk sopan santun—mereka mengatakan: Mohonkanlah untuk kami
kepada Tuhan kami, atau mereka berkata kepadanya: Berdoalah bagi kami kepada
Tuhanmu. Dengan kata tersebut, seakan-akan keyakinan kepada ketuhanan hanya
dipercaya oleh Musa sedangkan mereka keluar dari kemu-liaan penghambaan kepada
Allah SWT. Perhatikanlah ayat-ayat tersebut, bagaimana ia mengisyaratkan hal
ini. Kemudian renung-kanlah ejekan mereka ketika mereka mengatakan:
"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.
"
Setelah
mereka menyulitkan dan membuat Nabi mereka letih saat mondar-mandir antara
menemui mereka dan menemui Allah SWT, setelah mereka membuat Nabi mereka
jengkel dengan per-tanyaan seputar sifat sapi, warnanya, usianya, dan
tanda-tanda khu-susnya; setelah sikap keras kepala mereka dan pembangkangan
mereka terhadap perintah Allah SWT, mereka berkata kepada Nabi mereka—ketika
beliau membawa kepada mereka sesuatu yang jarang sekali ditemukan,
"Sekarang barulah kamu meneranghan hakikat sapi betina yang sebenarnya.
"
Seakan-akan Nabi Musa sebelumnya
bermain-main dengan mereka dan tidak serius, dan seolah-olah apa yang beliau
katakan sebelumnya tidak menunjukkan kebenaran sedikit pun. Kemudian lihatlah
konteks ayat tersebut yang menunjukkan kelaliman mereka: "Kemudian mereka
menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu."
Tidakkah
ayat tersebut menunjukkan kepada Anda akan sikap keras kepala mereka dan usaha
mereka memperlambat atau menunda perintah Allah SWL Demikianlah sikap Bani
Israil di atas meja perundingan; demikianlah cara mereka berunding dengan Nabi
mereka yang mulia, yaitu Musa. Musa mendapatkan perlakuan yang keras dan
perlakuan tidak sopan dari kaumnya. Nabi Musa menahan beban penderitaan yang
berat saat beliau berdakwah di jalan Tuhannya. Barangkali problem utama yang
dialami Nabi Musa adalah, bahwa beliau diutus di tengah-tengah kaum yang cukup
lama merasakan dan menikmati kehinaan; cukup lama mereka hidup di bawah
pengekangan dan belenggu kebodohan. Mereka belum pernah merasakan aroma
kebebasan. Mereka cukup lama menyembah berhala. Bani Israil telah menyiksa Musa
dengan siksaan yang berat, di mana siksaan itu tidak hanya berkisar pada
penentangan dan sikap kebodohan serta penyembahan berhala, bahkan mereka pun
tidak segan-segan menyakiti pribadi Musa.
Allah SWT berfirman dalam surah
al-Ahzab:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi
seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari
tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai
kedudukan terhormat di sisi Allah." (QS. al-Ahzab: 69)
Kami
tidak mengetahui hakikat atau bentuk usaha menyakiti Nabi Musa ini. Kami tidak
setuju dengan riwayat ulama yang mengatakan bahwa Musa adalah seorang lelaki
yang sangat pemalu dan ia sangat tertutup di mana ia tidak ingin seorang pun
melihat tubuhnya. Kemudian orang-orang Yahudi menuduh bahwa beliau mempunyai
penyakit kulit atau belang lalu Allah SWT ingin menyembuhkannya dan berusaha
menepis apa yang mereka katakan. Diceritakan bahwa pada suatu hari Nabi Musa
pergi untuk mandi. Ia meletakkan bajunya di atas batu, kemudian beliau keluar.
Tiba-tiba, batu itu terbang dan membawa bajunya. Musa berlari di belakang batu
dalam keadaan telanjang sehingga Bani Israil menyaksikannya dalam keadaan
telanjang. Ternyata tidak ada tanda belang pada kulitnya. Kami sangat menentang
kisah seperti itu, karena di samping ia hanya khurafat, juga sangat
bertentangan dengan kehormatan Musa sebagai seorang Nabi dan kemaksumannya.
Barangkali penderitaan terbesar yang dialami oleh Musa adalah, saat Bani Israil
enggan untuk berperang dalam rangka menyebarkan akidah tauhid di bumi, atau
paling tidak membiarkan akidah ini menetap di bumi. Bani Israil menentang usaha
Musa untuk berperang dengan mengatakan kepada Musa suatu kalimat yang terkenal,
yaitu:
"Pergilah Kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu
berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja."
(QS. al-Maidah: 24)
Demikianlah
keadaan Bani Israil sehingga Allah SWT menyiksa mereka dengan cara menyesatkan
mereka. Mereka mengalami kesesatan selama empat puluh tahun penuh. Kemudian
satu generasi musnah; generasi yang kalah dari dalam. Lalu lahirlah di
tengah-tengah kesesatan itu generasi yang baru; generasi yang belum pernah
tunduk kepada penyembahan berhala; generasi yang tidak pernah lumpuh rohnya
karena kehilangan kebebasan; generasi yang rohnya sehat; generasi yang belum
memahami, mengapa orang-orang tuanya berkeliling tanpa tujuan di tengah-tengah
kesesatan; generasi yang siap untuk membela harga dirinya dan kemuliaannya;
generasi yang tidak berkata kepada Musa, pergilah engkau bersama Tuhanmu untuk
berperang, sedangkan aku hanya duduk-duduk di sini; generasi yang menegakkan
nilai-nilai kebenaran sebagai wujud pembelaan terhadap agama tauhid.
Akhirnya,
generasi ini lahir ditengah-tengah empat puluh tahun masa kesesatan, namun
Musa harus menjalani suatu takdir Nabi Musa meninggal secara damai dan mulia.
Nabi Musa rindu untuk melihat "wajah" Allah SWT. Di masa hidupnya,
cinta telah mendorongnya untuk diperkenankan melihat Allah SWT, dan dorongan
itu semakin menguat saat kematiannya. Nabi yang diajak bicara oleh Allah SWT
itu kini bertemu dengan-Nya dengan jiwa yang diridhai dan hati yang tenang.
Baca juga kisah Nabi Musa saat berjumpa dengan Al-Khidir
0 komentar:
NO SPAM, SPAMER'S AKAN SECARA OTOMATIS TERHAPUS DARI FORM KOMENTAR, TERIMAKASIH !