Forgive me what can’t I forgiven…
By
Unknown
Cerpen Keluarga
0
komentar
Entah harus ku awali dari mana
kisah ini, yang kuingat hanyalah indahnya senja disore itu. Senja yang kulihat
untuk terakhir kalinya dikota itu...
Senja di Stasiun Kereta
Panas terik mewarnai siang itu. Hari
dimana untuk terakhir kalinya kugunakan seragam putih-biru, seragam yang telah
melekat kental kisah indah didalam satiap helai seratnya. Hari itu pun tak kami
sia-siakan. Bersama sahabat, kuhabiskan hari itu untuk mengenang setiap kisah
yang pernah kami lalui. Hingga sore menjelang, hingga tiba waktu dimana harus
ku ucap salam perpisahan kepada mereka. Salam perpisahan yang ku ucap kepada
mereka bukanlah sekedar perpisahan yang hanya sebatas pada bangku sekolah.
Beberapa
bulan lalu, dengan wajah sendu Bunda menceritakan kepadaku soal keadaan
keuangan keluarga kami. Setelah Ayah di PHK dari pekerjaannya, aku pun paham
dengan semua yang Bunda ceritakan. Kedua orangtuaku tak mampu lagi membiayai
biaya untukku bersekolah. Bunda pun menuturkan bahwa satu-satunya jalanku jika
ingin tetap melanjutkan sekolah adalah dengan tinggal bersama Tante. Beliau
akan membiayai semua kebutuhan sekolahku asal aku mau mememaninya untuk tinggal
bersamanya di kota yang jauh dari tempat kelahiranku.. Aku pun tak punya
pilihan lain, aku tak mau putus sekolah.
Senja
itu Bunda melepasku di stasiun kereta. Semburat jingga yang indah mengantarku
pergi, memaksaku meninggalkan semua kenangan, cerita dan sahabat. Kutatap bunda
dari jendela, Ia berdiri terpaku dengan wajah sendu, menatap kepergianku di
stasiun kereta. Keretapun beranjak dari stasiun, wajah bunda semakin menjauh
dari pandanganku, hingga tak dapat kulihat lagi. Kutinggalkan ayah, bunda,
sahabat, beserta semua kisah tentang mereka.
Lembaran Baru
Mentari pagi menyambutku seiring
tibanya kereta di kota yang kutuju. Suasana baru, wajah-wajah baru, dan bahasa yang tak
kupahami membuatku merasa sangat asing dengan dunia baruku ini.Tak ada lagi
hiruk-pikuk kendaraan terdengar, tak terlihat lagi bangunan-bangunan yang
saling berhimpitan, hanya petak-petak sawah yang terbentang menghiasi landscape
kota ini. Aku akan tinggal bersama tanteku yang hidup sendiri. Beliau
sebenarnya memiliki putra-putrinya yang telah sukses bekerja di kota besar, dan
mereka pun pernah mengajak beliau untuk ikut tinggal bersama mereka. Namun
beliau menolak untuk ikut dan memilih untuk tetap tinggal walaupun sendiri di
desa kelahirannya. Beliau tinggal seorang diri setelah beberapa tahun lalu
suaminya meninggal dunia. Untuk itulah sebenarnya beliau memintaku tinggal
bersamanya disini.
Mulai saat ini
aku tinggal bersama tanteku, namun aku tak
pernah mengenalnya. Aku seperti tinggal bersama orang yang tidak aku kenal. Mungkin
dulu waktu kecil aku pernah berkunjung ke tempat ini, namun otakku tak
sedikitpun menyimpan memori waktu itu. Sekolah baru, teman baru, dan semua hal
baru membuatku menjadi pribadi baru. Kulupakan semua kisah yang ku tinggal
dikota kelahiranku. Kan kubuat kisah baru didalam lembaran baru yang kujalani
ini.
Karakter
bawaanku yang pendiam dan sulit berinteraksi dengan orang lain membuat suasana dirumah
menjadi sangat canggung. Aku adalah orang yang tak tahu cara menunjukkan
perhatian dan rasa simpati pada orang lain, bahkan ketika aku sangat bersimpati
pada orang itu. Setiap hari aku hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga untuk
sekedar meringangkan beban tanteku yang sudah sangat tua. Aku tidak pernah berbincang dengan tanteku. Aku
tak pernah bertanya apa yang beliau harapkan dari keberadaanku disini, beliau
pun tak pernah memintaku untuk melakukan sesuatu. Kami nyaris tak pernah
berbicara satu sama lain, kecuali sapaan dan sekedar bertanya –jawab soal sekolahku.
Suasana
rumah yang seperti itu membuatku lebih senang untuk menghabiskan waktu di
sekolah. Aku cukup interaktif dalam bergaul di sekolah, beberapa kegiatan
sekolah pun rutin kuikuti. Aktivitas dan pergaulan disekolah, serta beberapa
prestasi yang berhasil kuraih membuatku terlena dan tak terlalu memperdulikan
keadaan di rumah. Setiap pagi aku pergi kesekolah, dan sore hari baru pulang ke
rumah. Setiap hari pula tanteku duduk sendiri di beranda depan rumah untuk
menungguku kembali pulang. Tahun berganti tahun, banyak kisah baru yang kulalui
bersama kawan-kawan disekolah. Namun keseharianku bersama tanteku tetap seperti
itu.
Akhir
masa SMA ketika kawan-kawan lainnya tengah sibuk mencari tujuan untuk
melanjutkan sekolah, aku tak sedikitpun tertarik dengan hal itu. Rasa sadari
diri dengan keadaan memaksaku untuk memupuskan harapan melanjutkan sekolah, cukup
sudah aku menjadi beban. Namun beberapa waktu lalu, seorang kawan memberiku
harapan untuk melanjutkan kuliah tanpa biaya yang disediakan pemerintah. Aku
pun bertekad untuk dapat melanjutkan sekolah melalui jalan itu.
Bercak Kotoran
Seperti hari-hari biasanya
sebelum pergi ke sekolah, ku ambil pakain kotor milik tanteku untuk ku cuci
bersama pakaianku. Pagi itu ku temukan bercak kotoran di kain yang telah beliau
gunakan, mungkin beliau sedang mengalami gangguan pencernaan pikirku, hal
seperti itu tak terlalu kuhiraukan. Esok harinya, setiap pagi di hari hari
libur aku sempatkan waktu untuk membersihkan lantai rumah. Kembali kutemukan
kotoran kehitaman yang tercecer di depan pintu kamar tanteku, tanpa pikiran
apapun, kubersihkan saja kotoran itu. Aku pun tak bertanya soal kesehatan
tanteku itu.
Masa
ujian telah kulalui, sekarang aku hanya tinggal menunggu hasil kelulusan yang
mengantarkanku untuk mengakhiri kisah dikota ini. Hari ini aku berencana untuk
mengikuti latihan ujian masuk sebuah sekolah tinggi bebas biaya milik pemerintah.
Dengan menunggangi sepeda motor bersama seorang kawan, kami tapaki jalan sejauh
80 kilometer hanya untuk mengikuti latihan ujian tersebut. Kota kami memang
sangat kecil, sehingga tidak ada jalan lain kecuali dengan mendatangi kota yang
lebih besar untuk mengikuti latihan ujian itu. Malam harinya akupun baru tiba
kembali dirumah, kulihat ternyata tanteku sudah tertidur dikamarnya yang tepat didepan
kamarku. Lelah seusai melakukan perjalanan jauh, akupun langsung masuk ke dalam
kamar dan membaringkan badan dan tertidur pulas.
Pagi yang tak terduga
Lelapnya tidur tadi malam,
membuatku bangun dengan keadaan bugar pagi ini. Suasana terdengar ramai diluar
kamar, mungkin sedang ada tamu pikirku. Tanpa berlama-lama akupun keluar kamar
untuk mengetahui keadaan.
Kubuka
pintu kamar, dan segera kulihat hal yang tak terpikir sebelumnya dibenakku. Kutengok
kamar tanteku yang dalam keadaan terbuka, tiang penyangga dan beberapa
peralatan lain yang tak biasa sudah menghiasi kamarnya. Selang infus dan
oksigen sudah terpasang ditubuhnya. Salah satu kerabatku berprofesi sebagai
seorang dokter, jadi ia tahu apa yang harus dilakukan. Beliau jatuh sakit
setelah kelelahan karena melakukan pekerjaan rumah, cibir salah satu tetangga. Akupun
berjalan ke ruang belakang, banyak kerabat dan tetangga yang sudah berkumpul
disitu. Kutatap mereka dengan ekspresi keheranan, dan merekapun mencibir serta
berbalik menatap sinis padaku.
Bingung
dan tak tahu harus berbuat apa menghadapi suasana seperti itu, akupun duduk
dihalaman belakang sambil termenung menatap hamparan sawah yang menguning.
Seorang kerabat mendatangiku dan berbicara dengan nada kecewa: “Kamu kemarin kemana? Budhemu itu sedang
sakit, tapi kamu kok bisa-bisanya tidur pulas. Bahkan ketika banyak orang
berdatangan dan kami gedor-gedor pintu
kamarmu, tapi kamunya gak bangun juga! Lain kali kalau tidur, pintunya gak usah
dikunci. Kamu tu seharusnya…...xx.a3?/#@5$&36$&!”. Aku hanya bisa termenung mendengar ucapan kerabatku itu.
Bahkan aku sendiri masih terheran-heran
dengan apa yang terjadi tadi malam. Sebelumya aku tak pernah mengunci kamar
ketika tidur, karena tanteku pernah berpesan demikian. Dan beliaupun
kadang-kadang masuk ke kamarku untuk mengambil barang yang tersimpan dilemari
kamarku. Bahkan biasanya aku selalu terbangun
ketika ada orang yang mengetuk pintu rumah walau malam sudah sangat larut.
Koma
Beberapa hari berlalu, namun
kondisi beliau tak kunjung membaik. Bahkan kini bercak kotoran yang keluar dari
tubuhnya sudah bercampur dengan darah. Kerabatku yang seorang dokter membujuk
beliau agar mau dibawa ke Rumah Sakit, namun beliau bersikeras untuk tetap
berada dirumah.
Semakin hari
kondisi beliau semakin parah, hingga akhirnya kami pun membawa beliau ke rumah
sakit dalam keadaan koma. Beberapa hari beliau tak sadarkan diri di rumah
sakit, dokter memvonis beliau terkena komplikasi liver. Banyak alat kedokteran
yang menempel di tubuh beliau untuk menopang kesehatannya. Putra-putri beliau
yang berada di beberapa kota besar pun sudah berkumpul untuk mendampingi
beliau. Lokasi rumah sakit yang jauh dari rumah serta akses transportasi yang
terbatas, membuatku tak setiap hari menjenguk beliau, paling hanya ketika aku
mendapat jatah untuk menjaga beliau secara bergantian.
Suatu hari
beliau sadar dari koma, dan kebetulan aku sedang berada dirumah sakit bersama
putra-putrinya. Salah satu putrinya mencoba untuk memancing respon beliau
dengan pertanyaan. Satu persatu nama kerabat disebutkan, dan beliaupun merespon
dengan menceritakan memori yang beliau ingat tentang orang tersebut. Dengan
mata yang masih terpejam dan dalam keadaan setengah koma serta suara yang lirih,
beliau mengungkapkan kesan hingga aib tentang orang-orang yang beliau ingat.
Satu kata yang
mengguncang batinku adalah ketika putrinya menanyakan apakah beliau masih ingat
padaku, beliau langsung menjawab “tidak”
dengan nada yang tegas dan suara yang lebih lantang dari sebelumnya. Entah
harus seperti apa menjelaskan perasaan ini, saat mendengar respon beliau yang
seperti itu. Pikiranku langsung kalut, pandanganku menjadi kabur, dan jantung
ini berdetak tak tentu. Seburuk itukah aku dimata beliau?? Hingga cukup satu
kata saja yang perlu beliau ucapkan tentang aku..!
Senja kelabu
Sudah hampir tiga minggu berlalu
tanteku dirawat dirumah sakit. Tim dokter akhirnya mengajak pihak keluarga
besar untuk bersama-sama membicarakan tentang kondisi kesehatan beliau. Dokter
menyampaikan bahwa beliau mampu bertahan hingga saat ini tak lain karena alat
penunjang kehidupan yang dipasangkan pada tubuhnya. Tim dokter pun hanya mampu
menunggu pihak keluarga untuk mengambil keputusan. Setelah perdebatan yang
panjang, akhirnya keluarga pun sepakat dan telah ikhlas untuk membawa beliau
kembali kerumah. Aku pun paham tentang arti dari keputusan itu.
Setibanya
tanteku dirumah, tak sedetik pun aku beranjak dari kamarnya. Semua kerabat dan
tetangga berkunjung ke rumah silih
berganti. Masih jelas kuingat suasana pada senja itu, tiga hari setelah tanteku
kembali dirawat dirumah. Aku duduk disamping tubuhnya, menatap beliau yang
tetap terpejam dan bernafas dengan tempo yang sangat lambat. Banyak kerabat dan
saudara yang sedang melantunkan doa.
Mentari sudah
tenggelam di ufuk barat, seorang kerabat memintaku untuk membeli beberapa barang
di toko yang jaraknya cukup jauh, dan dengan segera kukayuh sepeda menuju toko
itu. Dalam perjalanan kembali dari toko, entah bagaimana kedua ban sepeda yang
saya naiki tiba-tiba kempes. Kudorong sepeda itu dengan segera hingga sampai
rumah tetangga terdekat dengan maksud untuk meminjam sepedanya dan meninggalkan
sepedaku ditempatnya. Aku tercengang ketika tetanggaku itu keluar rumah dengan
ekspresi kaget dan berkata: “Kamu ngapain disini? Kamu gak mendengar kalau
Budhe mu baru saya meninggal??”. Innalillahi wa ilaihi rajiun..
Tanpa kata..
Aku hanya bisa berbaring di
beranda belakang rumah, ku habiskan waktu disore ini dengan pikiran yang sangat
kalut. Pemakaman telah selesai dilaksanakan tadi pagi. Tetangga dan kerabat
yang masih berduka, saling bertukar kisah tentang kenangan bersama almarhumah.
Namun ada beberapa
perbincangan mereka yang sangat menyakitkan bagiku. Beberapa kerabat dan
tetangga ada yang berkomentar bahwa kepergian almarhumah adalah murni
kesalahanku. Mereka berpendapat bahwa seharusnya aku bersikap dewasa dan
bertanggungjawab untuk menjaga almarhumah, bukan malah sibuk dengan sekolah dan
jarang ada dirumah. Mendengar perkataan seperti itu, akupun hanya bisa diam
tanpa kata. Sekuat tenaga, kutahan air mata yang mulai tergenang ketika
mendengar ucapan mereka.
Tak lama
berselang, kedua orangtuaku pun akhirnya tiba ditempat ini. Beliau langsung
masuk kedalam rumah tanpa sempat melihatku. Akupun belum mampu mengumpulkan
keberanian untuk bertemu dengan semua orang yang sedang membicarakanku. Kulihat dari jendela kedalam ruangan itu, kedua
orangtuaku hanya bisa tertunduk dan
meminta maaf kepada mereka. Air mata ini pun mengalir tak terbendung ketika
melihat pemandangan itu. Aku telah sangat mengecewakan orangtuaku. Aku baru
berani menemui kedua orangtuaku ketika malam telah tiba. Mereka pun tak mampu
berkata apa-apa lagi padaku. Mereka tahu bahwa rasa kekecewaanku terhadap
diriku sendiri lebih besar dibanding kekecewaan mereka padaku.
Sesal tanpa akhir
Beberapa hari berlalu, bunda
telah kembali pulang ke kota untuk menjaga adikku. Namun ayah tetap disini
menemaniku yang kini tinggal sendiri selepas kepergian almarhumah. Kuberanikan
diri untuk berbincang dengan beberapa tetangga di samping rumahku. Nampaknya
rasa kecewa mereka padaku sudah mulai reda. Merekapun bercerita akan kenangan
mereka tentang almarhumah. Namun cerita merekalah yang mempertegas dan
menyadarkanku akan kenyataan yang mau tidak mau harus ku terima.
Dari
para tetangga, aku tahu bahwa alasan tanteku yang selalu duduk di serambi rumah
dan menunggu hingga kedatanganku adalah karena beliau merasa takut berada
sendirian didalam rumah itu. Astaghfirullah, hampir tiga tahun aku membiarkan
beliau dalam keadaan seperti itu. Dan dari para tetangga pula, aku tahu bahwa
beliau tak pernah memintaku melakukan sesuatu adalah karena memang beliau tak
memerlukan bantuan apapun. Beliau hanya ingin memiliki teman bicara untuk
melepaskan rasa sepi dan menghilangkan kesendirian. Namun aku tak mampu
memenuhi keinginan beliau. Hatikupun terasa sesak mendengar semua itu.
Tapi penyesalan
terbesarku bukan karena apa yang mereka sampaikan. Melainkan penyesalan yang muncul dari tanda-tanda yang
ditujukan padaku. Petanda awal yang muncul dimalam ketika pertama kalinya
tanteku jatuh sakit, mengapa aku bisa tertidur selelap itu. Atau petanda ketika
tanteku hanya mengucap kata “tidak”
akan kesannya padaku. Dan petanda ketika ban sepeda yang kunaiki tiba-tiba
kempes, seolah mengisyaratkan bahwa beliau tidak menginginkan keberadaanku
didekatnya saat beliau menghembuskan nafas yang terakhir. Semua petanda itu
semakin meyakinkanku, bahwa sesungguhnya memang karena akulah beliau meninggal
dunia. Akulah yang bertanggungjawab atas wafatnya beliau….
Semua beban
penyesalan itu kini ada dipundakku, menyesakkan hatiku, dan mengacaukan
pikiranku. Andai saja aku bisa lebih peka melihat keadaan disekitarku. Andai
saja aku bisa terbuka untuk dapat mencurahkan perhatianku. Andai saja..
andai..andai..andai..
Senja di Stasiun Kereta
Telah kuterima surat kelulusanku.
Sudah tiba waktunya bagiku untuk pergi dari kota ini. Kembali, kan kutinggal
semua kisah dan kenangan dikota ini. Namun tak sanggup bagiku untuk
meninggalkan jutaan rasa sesal yang kupunya.
Senja
ini di stasiun kereta, aku akan kembali ke kota kelahiranku untuk mencoba
menatap masa depan. Senja ini, kan kutinggalkan kota dengan membawa jutaan
sesal dan kecewa yang berselimut di dada.
Forgive me what can’t I forgiven..
Tahun demi tahun telah berlalu. Jutaan
lembaran kisah baru pun telah kutulis hingga saat ini. Mungkin kekecewaan
mereka terhadapku telah sirna seiring berjalannya waktu. Namun, rasa sesal dan
kekecewaanku terhadap diriku sendiri tak berkurang sedikitpun, dan mungkin
takkan pernah bisa hilang disepanjang sisa perjalanan hidupku….!!!
Baca juga : Suatu senja dipulau itu..
Description: Forgive me what can’t I forgiven…
Rating: 4.5
Reviewer: Unknown -
ItemReviewed: Forgive me what can’t I forgiven…
0 komentar:
NO SPAM, SPAMER'S AKAN SECARA OTOMATIS TERHAPUS DARI FORM KOMENTAR, TERIMAKASIH !